2.6.09

DIBALIK PEMILU PRESIDEN, PERANG OPINI DAN PEMBENTUKAN CITRA

">

Ambalat memanas lagi,

Sabtu pekan lalu kembali TLDM KD Baung-3509

memasuki wilayah kedaulatan Indonesia di perairan Ambalat

Provokasi militer, biasanya berakhir dengan aksi militer pula, bahkan bisa menjadi Perang terbuka.

Tapi jangankan perang,

untuk terjadi pertempuran (laut) pun masing jauh.

Karenanya daripada kita membahas tentang Perang di Ambalat,

dan bukan berarti kejadian yang sedang berlangsung di Ambalat tidak penting

Lebih baik saat ini kita membahas perang dalam bentuk lain,

Yaitu Perang Opini dalam rangka pencitraan.



Sabtu, 30 Mei 2009 akhir pekan lalu KPU telah menetapkan nomor urut pasangan Capres dan Cawapres berdasarkan Surat Keputusan KPU Nomor 297 /KPTS/KPU/ 2009 tentang Penetapan Nomor Urut Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Genderang Perang pun telah ditabuh dalam rangka pencitraan diri untuk mencari simpati massa, karena dengan sistem pemilu sekarang yang one man one vote, suara satu orang pemilih sangat berharga dan pantas untuk diperebutkan.


Namun sesungguhnya perang pencitraan diri masing-masing pasangan Capres dan Cawapres jauh-jauh hari telah terjadi, bahkan saling kritik antar pejabat incumbentpun terjadi secara terbuka, dan makin dipertajam dengan pemberitaan mass media dan komentar para pakar politik serta tim sukses mereka.


Perang ternyata benar-benar terjadi kemarin, saat ini dan hari-hari besok sampai menjelang 9 Juli 2009.


Perang”, ya… kata ini sekarang makin sering kita baca dan muncul di media massa, baik media elektronik maupun media cetak. Kata-kata perang sekarang ini seolah-olah sudah menjadi santapan masyarakat sehari-hari, dari mulai perang dalam nuansa konflik bersenjata sampai dengan pengertian ekonomi, yaitu perang diskon, perang tarif, perang harga, dll.


DEFINISI PERANG


Sebelum kita melanjutkan pembahasan tentang perang, alangkah baiknya kita ketahui dulu definisi tentang perang itu sendiri. Ternyata banyak sekali pengertian tentang perang.


Berdasarkan teori ilmu seni dan asas perang , dikatakan perang mempunyai dua arti yaitu :


pertama, Perang dalam artian luas adalah suatu kontak kekerasan antara dua keseluruhan yang berlainan tetapi hakikatnya sama,


dan kedua, Perang dalam artian sempit, menyatakan, perang adalah kondisi hukum yang memungkinkan dua golongan yang bermusuhan, menjalankan pertikaian dengan kekuatan bersenjata.


Clausewitz sendiri dalam bukunya Vom Kriege, menyatakan perang adalah suatu tindakan kekerasan dengan maksud memaksa lawan melakukan kemauan kita.


Dalam The Art of War yang ditulis oleh Jomini, disebutkan Perang adalah suatu drama besar, dimana seribu sebab-sebab fisik dan moral bergerak saling mempengaruhi dan tidak dapat dinyatakan dalam perhitungan matematika.


Dari sudut pandang psikologi, perang dapat dianggap sebagai reaksi terhadap situasi tertentu, dimana terdapat suatu sikap permusuhan dengan intensitas yang besar.


Sedangkan menurut pandangan bangsa Indonesia sendiri, perang adalah tindakan yang tidak berperi kemanusiaan, karena tidak sesuai dengan martabat manusia.


Dari berbagai pengertian tersebut dapat ditarik suatu benang merah tentang perang, yaitu adanya unsur masalah dan persoalan yang mencakup berbagai aspek yang berbelit-belit dan saling berkaitan yang mengandung kekerasan dan permusuhan atau pertentangan untuk mencapai tujuan tertentu.


PERKEMBANGAN PERANG


Sekarang bagaimana dengan perkembangan perang itu sendiri dari masa ke masa. Ternyata perang mengalami perubahan yang sangat signifikan sesuai dengan jamannya. Kalau bisa di generasikan, terdapat empat generasi besar perkembangan perang, yaitu :


Pertama, Generasi I, yaitu perang yang belum mengenal taktik yang baku, perang dilaksanakan hampir sebagaian besar dengan sistem frontal, saling berhadapan ( man to man ) dengan menggunakan senjata yang sederhana, sebatas pedang, tombak, perisai dan panah. Sifat dari perang generasi pertama ini adalah mengutamakan jumlah untuk dapat memenangkan suatu pertempuran.


Kalau bisa diperiodesasikan, pada masa bangsa Yunani ( Perang Troya, jaman perunggu 1250 SM , di ilustrasikan dengan film Troy-nya Brad Pitt ), pada masa bangsa Romawi ( Perang Punic 264-241 SM, film fiksi Gladiator sebagai pembanding, terjadi pada abad ke dua setelah masehi ), pada masa perang Scotland melawan Inggris sekitar abad 13 (pertempuran Stirling Bridge ,1297 di dokumentasikan oleh Mel Gibson dalam filmnya Braveheart).



Kedua, Generasi II, pada masa ini perang tetap mengadopsi dari sistem peperangan generasi I, dimana pengerahan manusia dengan jumlah yang sangat besar dan diatur dalam barisan-barisan bersayap saling berhadapan (Phalanx Macedonia) masih digunakan, yang membedakan hanyalah dalam pertempuran sudah mengenal pistol, senapan ( jenis musket ) dan meriam sebagai senjata lintas lengkung.


Dapat diperiodesasikan pada Masa perangnya Napoleon abad 18, Masanya Tokugawa dan Restorasi Meiji di Jepang abad 18 s.d 19 ( film Last Samurai-nya Tom Cruise dapat dijadikan sebagai ilustrasi perang masa itu ) sampai dengan masa Perang Sipilnya Amerika abad 19 ( The Patriot-nya Mel Gibson ).



Ketiga, Generasi III, perang pada masa ini sudah jauh lebih modern, dimana selain penggunaan senjata yang lebih modern seperti pistol, senapan mesin otomatis, tank, pesawat terbang, kapal perang , bahkan kapal selam, penggunaan taktik, pelambungan dan penyamaran serta penipuan sudah lazim digunakan.


Pencapaian kemenangan dalam pertempuran disamping mengandalkan senjata modern juga membutuhkan kepemimpinan dan kepiawaian para perwira dalam menerapkan strategi, taktik dan tehnik pertempuran.


Perang Generasi III ini sangat menonjol terlihat pada masa Perang Dunia ke II ( banyak sekali dokumentasi resmi dan film yang dibuat tentang Perang Dunia ke II, seperti Pearl Harbour - Ben Affleck, The Wind Talkers-nya Nicholas Cage, dll ) juga pada masa Perang Vietnam tahun 1970 an ( Plaaton - Charlie Sheen, Hamburger Hill - Anthony Barrile) sampai dengan masa Perang Teluk I, 1991 ( Courage Under Fire - Denzel Washington ).



Ke empat, Generasi IV, generasi perang yang paling terbaru, dimana dalam mencapai tujuan sudah tidak lagi mengutamakan penggunaan alustsista dan persenjataan modern lainnya.


Penguasaan suatu negara kepada negara lain tidak mesti menggunakan pengerahan militer dan kekuatan bersenjata, tetapi lebih menggunakan kekuatan tehnologi informasi, pencitraan atau pembentukan opini.


Mantan Kasad Ryamizard menganalogikannya dengan sebutan Perang Modern, Amerika Serikat saat ini menyebutnya dengan Soft Power dan Smart Power, atau kalau boleh kita menyebutnya sebagai perang gaya baru atau Perang Opini.


Pendudukan suatu negara secara fisik dengan menggunakan kekuatan militer baru dilakukan apabila opini dunia sudah terbentuk, sehingga tindakan militer mendapatkan legalitasnya.


Periodesasinya dimulai dari Pasca Tragedi WTC tahun 2001. Perang Teluk II tahun 2003 diawali dengan pembentukan opini dunia oleh Amerika Serikat bahwa Irak sedang mengembangkan senjata pemusnah massal, sehingga perlu di Invasi, baik dengan ataupun tanpa resolusi PBB.




PERANG OPINI = PERANG GENERASI BARU


Perang Opini, ya betul saat ini kita sedang menghadapi perang gaya baru yang bersenjatakan tehnologi informasi, dimana kekuatan penghancurnya lebih besar dampaknya dibandingkan dengan perang konvensional Generasi III.


Mengapa dikatakan dampaknya lebih besar dan lebih mengerikan, karena untuk melaksanakan Perang Generasi IV ini, pihak yang akan melakukannya tidak harus terlibat langsung dalam pertempuran, tidak harus face to face, karena bisa menggunakan pihak ke tiga untuk mencapai maksud dan tujuan, serta tidak harus berada di lini terdepan dari pertempuran dan berada di negara yang dituju.


Kegiatan pertempuran dapat dilakukan bahkan dibelakang meja jauh dibelahan dunia lain, yang penting sistem tehnologi informasi dikuasai betul dan penguasaan penuh pada mass media, karena kedua alat tersebutlah ( tehnologi informasi dan mass media ) yang menjadi tulang punggung sekaligus ujung tombak dalam pertempuran Generasi IV.


Kekuatan pena dan kata-kata lebih tajam dibandingkan golok yang paling tajam sekalipun, bahkan kecepatan dan ketepatan pena dan kata-kata lebih cepat dan tepat daripada smart bullet.


PERANG OPINI = PEMBENTUKAN CITRA


Kembali kepada topic yang sedang hangat saat ini, yaitu Pemilu Presiden sebagai salah satu tahapan dari Pesta Demokrasi Indonesia yang digelar setiap lima tahun sekali. Ternyata kegiatan pemilu pun tidak lepas dari kata dan kegiatan perang.


Ternyata perang generasi ke empat ini juga digunakan oleh para Capres dan Cawapres serta tim sukses mereka untuk menggapai kemenangan. Saling serang, saling tuding dan pencitraan diri menjadi salah satu pemandangan dan berita sehari-hari, baik di media cetak maupun media elektronik.


Citra diri dalam rangka mencari dan merebut simpati masa adalah tujuan dari Perang Opini yang dilancarkan para Capres dan Cawapres saat ini. Pencitraan, pada hakekatnya bertujuan untuk mengangkat diri sendiri setinggi langit, dan menjatuhkan lawan untuk melemahkan posisinya.


Dalam perang opini ini yang menjadi obyek adalah citra diri dari Capres dan Cawapres, dimana integritas, personality, kebijakan, visi misi serta tindakan mereka menjadi sasaran bidik. Pertempuran dalam Perang Opini terjadi di suatu medan abstrak, dimana integritas para Capres dan Cawapres dikepung dan diserang dari segala arah berupa pemberitaan media massa guna membentuk opini masyarakat, terutama para calon pemilih baik yang ada di dalam maupun luar negeri.


Kalau bisa di gambarkan dalam suatu skema, maka gempuran dari segala arah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : ( lihat gambar visualisasi dibawah )




PERAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI


Dalam Perang Opini, yang menjadi lini utama pertempuran adalah teknologi informasi dan komunikasi. Sedangkan media massa dijadikan perwujudan dari medan abstrak pertempuran.


Kenapa disebut medan abstrak, karena tidak semua media massa dapat diwujudkan dalam suatu bentuk nyata yang mempunyai dimensi tertentu seperti halnya ilmu matematika. Dalam ilmu matematika ukuran luas didapatkan dari perkalian antara panjang dan lebar yang mempunyai satuan nyata.


Pada perang konvensional, medan pertempurannya nyata berupa suatu lahan geografi beserta seluruh benda medan yang ada diatasnya baik benda alam maupun benda buatan manusia.


Namun pada perang opini, dimana media massa dijadikan sebagai medan dan sekaligus panglima pertempuran menempatkan perasaan sebagai sasaran akhirnya. Pencitraan yang diolah adalah untuk menimbulkan suatu rasa senang dan tidak senang, rasa simpati dan antipati yang berada jauh di dalam pikiran dan hati manusia.


Perang Opini dengan menggunakan media massa dapat menciptakan dan menghilangkan suatu fakta. Apabila ingin mengangkat citra sendiri maka suatu fakta dapat dirubah menjadi entitas yang bisa diciptakan, sedangkan kekurangan atau kejelekan diri sendiri dapat dijadikan bias bahkan hilang bagai ditelan angin dengan pemberitaan yang sistematis, dari mulai pembiasan fakta sampai dengan pemutar balikan fakta. Semua hal tersebut bisa saja dilakukan dan sah-sah saja apabila penguasaan media massa berada di tangan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung.


Dalam Perang Opini ( yang dilakukan Capres dan Cawapres ) penggunaan informasi dan komunikasi menjadi sangat penting. Informasi sekecil apapun apabila dapat diolah sedemikian rupa dapat dijadikan sebagai alat dan senjata untuk menghantam lawan (politik). Sesuai dengan ilmu komunikasi politik, Informasi sebagai data awal akan dipoles dengan suatu narasi yang menarik untuk mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.


Hal tersebut selaras dengan pendapat Jean Baudrillard dalam bukunya yang berjudul Smulation, yang menjelaskan tentang simulakra politik, yaitu penggunaan segala potensi tanda, citra, dan tontonan; segala kekuatan bahasa (language power); kekuatan simbol (symbolic power) dikerahkan dalam rangka membangun citra, membentuk opini publik, mengubah persepsi, mengendalikan kesadaran massa (mass consciousness), dan mengarahkan ke preferensi politik tertentu.

Sedangkan peran komunikasi adalah bagaimana informasi yang sudah diolah tersebut dapat sampai pada tujuan melalui media yang ada. Komunikasi yang digunakan dapat bersifat formal maupun non formal bahkan sampai dengan komunikasi verbal. Untuk komunikasi yang bersifat formal dan bersifat menyebar luas, dibutuhkan suatu media yang mempunyai kecepatan tinggi dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal batas nyata suatu wilayah atau negara. Maka satu-satunya media yang bisa diharapkan dan digunakan adalah media teknologi informasi dan media massa.


Khusus untuk media massa cetak dan elektronik, dimana publisitasnya di lindungi oleh undang-undang dan peraturan tertentu maka kekuatan kata-katanya akan lebih kuat dan terasa kepada public, karena berita yang disajikan telah dikemas sedemikian rupa sehingga menarik dan mempunyai nilai jual untuk diburu dan dibaca. Disinilah (kembali) penguasaan informasi akan menjadikan seseorang atau kelompok menjadi pemimpin atau penguasa pada era informasi saat ini.



PENTINGNYA PENGUASAAN INFORMASI DAN KOMUNIKASI


Dalam perang opini, peran informasi dan komunikasi mempunyai kedudukan pada setiap masa, baik pada masa damai, masa krisis sampai dengan masa perang. Informasi dan komunikasi mempunyai kedudukan tersendiri, karena informasi dan komunikasi merupakan bagian dari suatu tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung dari masa damai sampai terjadinya perang.


Pada masa damai, masa krisis dan masa perang informasi dan komunikasi digunakan untuk memanipulasi, meniadakan, mengacaukan dan menghancurkan informasi dan system informasi lawan yang bersentuhan dengan bidang Ipoleksosbudhankam, yang pada akhirnya ditujukan pada pencitraan lawan. Semakin cepat pencitraan terbentuk maka akan semakin cepat penguasaan dan tujuan tercapai.


Karenanya dalam rangka pembentukan opini dan pencitraan, penguasaan akan ilmu informasi dan komunikasi menjadi sangat penting. Dalam kehidupan global saat ini, informasi dan komunikasilah satu-satunya yang tidak bisa dibendung dan dicegah untuk masuk dan berinfiltrasi kemana saja. Kekuatan informasi dan komunikasi bahkan sudah menggeser kekuatan emas hitam ( minyak bumi dan bahan bakar lainnya ) untuk dapat menguasai dunia.


Bahkan Bill Gates pun sang penguasa Microsoft mengatakan informasi itu seperti layaknya darah manusia. Tanpa darah maka manusia tidak akan hidup, tanpa adanya hidup maka tidak ada tindakan. Tanpa ada tindakan maka tidak akan ada penguasaan. Untuk dapat menjadi salah satu pemimpin dunia ( dibidangnya ) maka Bill Gates pun menguasai Microsoft sebagai salah satu nyawa dari dunia teknologi informasi. Bahkan sudah dapat dipastikan hampir lebih 90 % pengguna komputer di dunia menggunakan Microsoft sebagai salah satu peranti lunak penggerak komputer mereka.


Cara paling bijak untuk menyikapi hidup di era informasi saat ini adalah turut serta dan mengambil bagian dalam tata kehidupan era informasi dan komunikasi saat ini. Perang Opini dan Pencitraan diri hanya dapat dilawan dengan pertempuran yang sama di medan pertempuran yang sama yaitu penguasaan media massa. Untuk dapat berperan dan terlibat aktif penguasaan media massa tidak ada jalan lain, selain menguasai teknologi informasi dan komunikasi.


Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi ditujukan bagaimana cara kita untuk dapat menguasai, mengelola, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk kepentingan diri sendiri baik dalam rangka perang opini maupun untuk pencitraan diri.


Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi bukan hanya berlaku pada institusi militer saja, tetapi juga berlaku pada seluruh institusi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, hingga sampai tingkat personalpun dibutuhan kemampuan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi.


Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan sehari hari ataupun kepentingan politik dan keamanan dapat di aplikasikan dengan :



Publik Relations dan Komunikasi, pada tingkat perorangan yang dibutuhkan adalah mengerti dan memahami ilmu dan kegiatan yang berkaitan dengan public relation, sedangkan pada tingkat suatu perusahaan dan institusi adalah pembentukan suatu badan resmi Publik Relation, sebagai garda terdepan untuk melakukan pencitraan diri.


Manajemen Issu, yaitu suatu rangkaian kegiatan untuk memberi tanggapan dan respon positif terhadap issu yang beredar secara cepat dan tepat. Dalam manajemen issu ini terdapat suatu kegiatan penting yaitu pengelolaan issu, karena setiap issu yang timbul harus dapat dikelola dengan baik dan diarahkan untuk kepentingan perusahaan atau institusi, atau bahkan digunakan sebagai serangan balik kepada si pembuat issu. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah penguatan system awareness, konsistensi penerimaan dan pengiriman informasi, menjaga hubungan baik dengan media massa dan adanya juru bicara sebagai perwakilan resmi suatu badan / perusahaan / institusi.


Penguatan Citra, dalam penguasaan informasi dan komunikasi harus ada tindakan nyata, yaitu suatu pernyataan atau tindakan yang bersifat penguatan citra. Citra adalah suatu pandangan mengenai satu badan / perusahaan / instansi / perorangan yang bersifat penilaian obyektif dari masyarakat. Karenanya untuk mendapatkan pencitraan yang diinginkan harus dilakukan penguatan – penguatan dari pencitraan yang sudah dilakukan sebelumnya. Penguatan citra pun juga ditujukan untuk mengcounter citra negatif yang disampaikan lawan.


Aparat / personel Humas yang professional, sebagai pelaku utama perang opini dan pencitraan diri, bisa dilakukan oleh obyek itu sendiri ataupun melalui orang lain yang memang diberi tugas dan tanggung jawab untuk pembentukan citra. Dalam kehidupan perusahaan atau badan, tugas ini diserahkan kepada personel humas, sedangkan pada kehidupan dunia militer tugas ini diemban oleh aparat intelijen yang dibekali ilmu kehumasan dan personel penerangan yang dibekali ilmu-ilmu intelijen. Tugas dari aparat / personel humas adalah membangun reputasi badan / perusahaan / institusi untuk mendapatkan kredibilitas, pemahaman dan dukungan dari pola pikir, persepsi, sikap dan tindakan masyarakat atau publik.



Demikian pula halnya dengan masa tahapan kampanye Pilpres dan cawapres saat ini, para kontestan capres dan cawapres untuk dapat bertahan, mendapat dukungan massa dan merebut simpati massa lawan, mereka sangat membutuhkan adanya pencitraan diri yang positif.


Pencitraan positif dilakukan dengan cara perang opini baik yang dilakukan secara langsung para capres dan cawapres dalam kampanye politiknya ataupun melalui tim sukses masing-masing yang merancang bentuk- bentuk kegiatan dan media iklan yang akan ditampilkan untuk lebih mengenalkan dan membangun citra para jago mereka.


Genderang perang sudah ditabuh secara resmi mulai tanggal 2 Juni 2009, segala bentuk perang opini dan pencitraan diri akan ditampilkan untuk membentuk dan membangun citra positif dan juga akan ada saling serang / saling tuding / saling kritik untuk menjatuhkan dan memposisikan lawan pada opini dan citra negatif di mata publik.


Perang itu memang ada, telah, sedang dan masih akan berlangsung sampai nanti 9 Juli 2009 mendatang.


Salam,

S 78514 H


1 komentar:

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda