20.8.18

POLITIK PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA




di Indonesia,
penyelenggaraan negara
harus berdasarkan hukum (rechtsstaat)
dan bukan berdasarkan
kekuasaan (machtstaat)


Politik Pembangunan Hukum di Indonesia

Negara Indonesia adalah negara hukum[1]. Dari pernyataan tersebut maka konsekuensinya adalah segala aspek penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat) dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-undangan. Hukum mempunyai banyak definisi, salah satunya menurut Mr. J.C.T. Simorangkir & Mr. Woerjono Sastropranoto mendefinisikan bahwa hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu[2].  Dengan demikian maka hukum diperlukan dalam rangka mewujudkan suatu keteraturan dan ketertiban dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hukum mempunyai kaitan erat dengan politik, karena didalam politik terkandung adanya kekuasaan, sedangkan hukum itu sendiri merupakan produk dari kekuasaan. Idealnya antara kekuasaan dan hukum berimbang dan berjalan pada dua sisi secara berdampingan, namun pada realitanya tidak demikian adanya, karena ditemukan masih adanya penegakan hukum tercemar dan dikooptasi oleh kepentingan politik. Sebagai contoh kasus pemilihan Ketua DPD RI pasca tertangkapnya Irman Gusman oleh KPK dalam kasus suap gula impor yang dianggap cacat menurut hukum,  kasus penegakan hukum Mahkamah Konstitusi atas uji materiil hak angket DPR terhadap KPK ke Mahkamah Konstitusi, terkait dengan apakah KPK merupakan objek dari angket DPR ? dan apakah juga KPK merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman atau kekuasaan eksekutif sehingga bisa diangket ?. Serta kasus penegakan hukum atas uji materiil Perppu Ormas No. 2 tahun 2017 ke MK merupakan bukti nyata konfigurasi hukum dan politik mewarnai dalam sistem penegakan hukum saat ini, sehingga menjadi pertaruhan apakah marwah Indonesia sebagai negara hukum atau negara kekuasaan[3]. Untuk itu diperlukan politik hukum, yang menempatkan hukum diatas kekuasaan.

Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri[4]. Fungsi hukum sebagai alat politik menjadikan sistem hukum di Indonesia menempatkan peraturan perundang-undangan merupakan produk bersama antara DPR dengan Pemerintah, sehingga antara hukum dan politik menjadi sulit dipisahkan. Namun demikian agar konstitusi dapat tetap tegak dan dipedomani, maka pembangunan politik hukum Indonesia diarahkan kepada tiga hal. Pertama, pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis diarahkan untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif dan terus berlanjut, dan ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.

Dengan politik hukum yang benar sesuai marwahnya maka konsep negara hukum (rechtsstaat/the rule of law) dapat terwujud dengan ditopang 3 pilar utamanya, yaitu substansi (substance), struktur (structure), dan budaya/kultur (culture).


Meningkatkan Efektivitas Sistem Nasional

Negara Hukum yang ideal adalah negara hukum yang berdasarkan pengakuan kedaulatan ditangan rakyat yang mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokrasi berdasarkan hukum.  Untuk mewujudkan cita-cita tersebut perlu didukung dengan adanya kesadaran hukum yang tinggi oleh masyarakat dan terutama para penyelenggara negara. Aturan-aturan dasar dalam konstitusi harus bisa dipraktekan dan dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam artian setiap tindakan penyelenggara negara serta warga negara harus dilakukan berdasarkan dan di dalam koridor hukum sesuai wewenang, hak dan kewajiban konstitusionalnya. Apabila setiap pejabat dan aparat penyelenggara negara telah memahami Pancasila dan UUD NRI 1945 serta melaksanakan wewenangnya berdasarkan hukum, maka kebijakan dan tindakan yang dihasilkan adalah bentuk pelaksanaan Pancasila sebagai  sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-undangan.

Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Dengan perkataan lain, kesadaran hukum menyangkut apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat . Kesadaran hukum masyarakat dan penyelenggara negara yang masih rendah dapat menjadi salah satu sebab belum tegaknya prinsip-prinsip negara hukum Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain: 1) kurang mengetahui adanya ketentuan hukum dan kurang memahami hukum; 2) cenderung kurang menghargai dan mempercayai proses penegakan hukum yang sedang berlangsung; 3) faktor integritas dan moral yang rendah; dan 4) faktor sarana dan prasarana yang masih belum memadai[5].

Menyadari akan kondisi rendahnya kesadaran ini, maka diperlukan upaya meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat dan penyelenggara negara agar terwujudnya sistem nasional yang efektif.  Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan pemerintah dapat dilakukan melalui: 1) melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat secara menyeluruh dan berkesinambungan; 2) melakukan pembaharuan hukum; 3) proses hukum tidak boleh didasarkan pada motivasi politik; 4) menjunjung tinggi hak asasi manusia serta tidak diskriminatif; dan 5) melakukan pembenahan dalam rangka memperkuat institusi pemerintahan yang menghadirkan lembaga-lembaga penegak hukum[6].


[1] UUD NRI Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (3)
[2] Mr. J.C.T. Simorangkir & Mr. Woerjono Sastropranoto. Pelajaran Hukum Indonesia. 1957. Penerbit: Gunung Agung. Jakarta
[3] Wahyu Nugroho, SH. MH. Refleksi 3 (tiga) tahun Penegakan Hukum Era Presiden JokowiJK. 2017. The 2nd National Conference of Post Graduate Student of Law 2017 (NCoPSLaw-2017). Seminar Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. 
[4] Padmo Wahyono. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. 1986. Ghalia Indonesia. Jakarta: hal.160
[5] Atang Hermawan Usman. Kesadaran Hukum Masyarakat dan Pemerintah Sebagai Faktor Tegaknya Hukum di Indonesia. 2014. Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014:hal.52
[6] Ibid

1.8.18

PENGELOLAAN SUMBER DAYA PANGAN YANG BERDAULAT DAN MANDIRI GUNA PEMBANGUNAN KOMPETITIF PEREKONOMIAN



Sumber Daya Pangan yang Berdaulat dan Mandiri

Pangan merupakan suatu kebutuhan dasar dan utama bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup, oleh karena itu kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap waktu merupakan hak azazi yang harus dipenuhi.[1] Kebutuhan pangan peduduk dunia terus meningkat seiring dengan makin bertambahnya penduduk dunia. Penduduk dunia berjumlah sekitar 7 milyar orang dan pada 2045 diprediksi akan mencapai 9 miliar atau hampir 10 miliar orang. Sementara itu penduduk Indonesia kini sudah berjumlah 265 juta orang, pada urutan ke 4 setelah Amerika, India dan China, dan diperkirakan pada tahun 2035 akan menembus angka 300 juta jiwa.[2]  Kondisi demikian membutuhkan kesadaran bagi kita untuk dapat mengelola sumber daya pangan, agar dapat memenuhi kebutuhan pangan secara berdaulat dan mandiri.

Kedaulatan pangan (food sovereignty) didefinisikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk menentukan kebijakan pangan sendiri dengan memprioritaskan produk pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, serta melarang praktik perdagangan pangan dengan cara dumping.[3]  Berdasarkan pengertian tersebut maka menjadi hak berdaulat suatu negara untuk menentukan dan mengendalikan sistem produksi, distribusi, dan konsumsi pangan sendiri, sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya lokal, serta bebas dari campur tangan negara lain.

Kedaulatan pangan Indonesia erat kaitannya dengan potensi pangan dan ketahanan pangan nasional. Potensi pangan kita sangat besar, berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrsat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu.[4] 

Data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2017 Indonesia mengimpor gandum 11,4 juta ton. Volumenya meningkat 9% dibandingkan dengan realisasi 2016 yang sebesar 10,53 juta ton, sedangkan impor beras 257 ribu ton, turun 80 persen dibanding tahun sebelumnya mencapai 1,28 juta ton. World Food Program (WFP) tahun 2015 mencatat 15 persen dari 398 kabupaten di Indonesia dinilai rentan akan kerawanan pangan, sebagian besar kecamatan yang dikategorikan rawan pangan berada di Papua.[5]

Berdasarkan data-data diatas, dilihat dari besarnya ketergantungan pada impor gandum dan beras, serta adanya indentifikasi beberapa daerah rentan akan pangan, dapat dikatakan potensi pangan yang besar belum dikelola dengan baik, bahkan terkesan diabaikan yang mengakibatkan Indonesia belum berdaulat dan mandiri.  Kondisi demikian akan berpengaruh terhadap upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan di segala bidang dengan struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif, yang merupakan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian sesuai dengan RPJM IV(2020-2024).


Pembangunan Kompetitif Perekonomian

Era global menghadirkan berbagai tantangan dalam pembangunan nasional, sehingga dibutuhkan kreativitas,   inovasi   dan penguasaan teknologi dalam memanfaatkan peluang yang ada. Demikian pula halnya dalam pembangunan ekonomi, agar pembangunan perekonomian mempunyai daya saing, maka dibutuhkan nilai kompetitif, yang diwujudkan dalam bentuk kesatuan antara kreativitas dan inovasi serta ditunjang Iptek agar dapat mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi nasional

Pembangunan ekonomi erat hubungannya dengan sektor pangan. Undang-Undang tentang Pangan mengamanatkan bahwa “penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional”.[6] Dari amanat tersebut jelas sekali bahwa pangan mempunyai posisi penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai pilar utama yang berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik.  Maka menjadi penting pembangunan perekonomian Indonesia diarahkan untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan. Dengan demikian mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan merupakan hal mendasar yang sangat besar arti dan manfaatnya dalam mendukung pembangunan kompetitif perekonomian.

Pengelolaan sumber daya pangan agar terwujud ketahanan pangan harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu lahan, infrastruktur dan teknologi dan SDM. Pengelolaan lahan yang benar akan berdampak pada produksi, persoalannya adalah lahan pertanian sebagai salah satu penghasil pangan makin berkurang, sehingga sangat diperlukan penambahan lahan. Untuk itu diperlukan langkah konkrit berupa penegakan aturan sesuai Undang-Undang Agraria secara konsisten, percepatan proses sertifikasi lahan pertanian, rencana tata ruang yang melindungi lahan pertanian produktif dan subur.

Infrastruktur berperan penting dalam memperkokoh sektor pangan, karena infrastruktur akan menjamin kelancaran distribusi produk pangan. Pada sektor pertanian irigasi dan waduk merupakan hal yang patut menjadi perhatian, karenanya pemerintah melakukan realokasi subsidi BBM untuk membiayai infrastruktur berupa pembangunan 25 waduk baru dan irigasi untuk 1 juta hektar sawah.[7]  Disamping pembangunan waduk dan irigasi pemerintah juga patut memperhatikan aksesbilitas jalan yang akan memudahkan perolehan sarana produksi.

Teknologi dan dan kualitas SDM juga harus dikelola dengan baik agar dapat mendukung pencapaian ketahanan pangan.  Penguasaan teknologi pertanian, pemasaran dan standar kualitas yang rendah merupakan cerminan kualitas petani saat ini. Karenanya pemberdayaan petani menjadi sangat penting melalui pelatihan, penyuluhan dan bantuan teknis.  Langkah ini perlu juga didukung oleh kalangan akademis dalam bentuk penelitian dan pengembangan agar tercipta teknologi unggulan disektor pangan.

Dengan tercapainya ketahanan pangan melalui pengelolaan sumber daya pangan dapat menggerakkan roda perekonomian baik ditingkat pusat maupun daerah, namun yang tetap perlu diperhatikan adalah produk-produk pangan harus mempunyai keunggulan kompetitif agar mampu bersaing.


[1] M. Ismet, Tantangan Mewujudkan Kebijakan Pangan Nasional yang Kuat, Majalah Pangan Nomor Vol. 16 No.48 Januari 2007
[2] Materi Pokok Bidang Studi Sumber Kekayaan Alam, Lemhannas RI, 2018, hal.113
[3] Deklarasi Organisasi Buruh Tani dan Petani Kecil Dunia, La Via Compasina, tahun 1996
[4] https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20180227/281505046709087
[5] Icha Rastika, “WFP: 15 Persen dari 398 Kabupaten Masih Rawan Pangan”, Kompas, 08/07/2015
[6] Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

[7] http://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2016/03/2-TAHUN-JOKOWI-JK-UPDATE-17-OKT-2016-KSP.pdf.