15.4.10

CP : PSA - 07 ESENSI PERANG

Bagi seorang petinggi militer, para top manager di lingkungan militer yang mempunyai kewenangan penuh dàlam hal merencanakan suatu peperangan
Esensi perang adalah :

" Kami tidak meragukan bahwa kami akan berhasil.
Kami memiliki pasukan, persenjataan, serta perencanaan.
Apa yang tidak kami ketahui adalah berapa lama perang akan berlangsung,
dan berapa banyak prajurit yang tidak akan kembali pulang ke rumah...."
CP PSA - 651.

Salam,
halimun85

10.4.10

INKONSISTENSI PEMBERANTASAN KORUPSI


Pemberantasan korupsi yang didengung-dengungkan SBY selama ini telah mendapat apresiasi positif dan sangat tinggi dari masyarakat, bahkan banyak kalangan yang menyatakan (khusus) dalam hal pemberantasan korupsi raport pemerintahan SBY biru adanya.


Tentunya hal tersebut adalah sesuatu hal yang membanggakan dan patut dihargai sebagai prestasi tersendiri bagi SBY sebagai kepala pemerintahan, bahkan slogan pemerintahan yang baik dan bersih atau good and clean government merupakan modal dasar yang dipakai SBY dalam kampanye pemilihan Presiden yang lalu, yang berbuah SBY terpilih kembali sebagai Presiden RI untuk periode 2009 s.d 2014.

Tapi benarkah untuk periode ke dua pemerintahannya SBY masih serius menangani masalah korupsi yang bisa dikatakan penyakit kronis yang dapat menyerang dari dalam dan menghancurkan bangsa secara pelan tapi pasti. Sepertinya keseriusan SBY sudah mulai melemah, tidak sekuat pada waktu masa pemerintahannya yang pertama. Kenapa bisa dikatakan demikian, mari kita lihat indikasi real yang bakal terjadi kedepan yang berkaitan dengan kebijakan pemberantasan korupsi.


PENGERTIAN KORUPSI

Sebelum lebih lanjut membahas tentang inkonsistensi pemberantasan korupsi oleh SBY, ada baiknya kita ketahui lebih dahulu apa dan bagaimana korupsi itu sendiri adanya. Ditinjau dari segi tata bahasa, kata, "korupsi" berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok yang kemudian menjadi kata “corrupt”, ( English, Merriam-Webster : to change from good to bad in morals, manners, or actions ). Dalam bahasa Indonesia kata korupsi berarti tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum . Yang dalam konsep modern didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara, yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan . Namun dalam kenyataannya seperti yang kita ketahui perilaku korupsi seringkali tidak harus selalu melibatkan negara, aparatur negara ataupun hubungan negara.

Korupsi dalam praktiknya dilapangan dapat berwujud dalam tiga bentuk yaitu : 1) sogokan (bribery), 2) pemerasan (estortion) dan 3) nepotisme (nepotism). Untuk dapat terlaksana ketiga bentuk korupsi tersebut, maka dibutuhkan adanya kewenangan yang melekat pada diri seseorang, dimana kewenangan tersebut adalah akibat jabatan yang diembannya waktu itu. Menjadi sangat heboh dan destruktif apabila kemudian ternyata kewenangan karena jabatan tersebut adalah kewenangan yang mengatur hajat hidup orang banyak seperti finansial (keuangan), politik (kebijakan), hukum (ketertiban masyarakat) dan sektor pertahanan. Maka tidaklah terlalu berlebihan bahkan menjadi suatu keharusan apabila korupsi dinyatakan sebagai extra ordinary crime bukan lagi tindak pidana biasa.


TITIK BALIK PEMBERANTASAN KORUPSI

Sudah lusinan koruptor yang tertangkap lalu diadili dan mendapatkan hukuman, entah itu berat atau ringan, ataukah dipandang sepadan atau tidak dihadapkan kepada jumlah nominal yang dikorupnya, ternyata tidak juga menjadikan jera para pelaku korupsi. Korupsi masih saja terjadi atau bahkan sementara orang mengatakan makin marak saja terjadi.

Dalam logika hukum dan penegakannya, memang dikenal adanya pameo yang mengatakan “makin banyak terungkap, semakin baik kinerja” mungkin pameo tersebut benar adanya apabila dihadapkan pada pemberantasan narkoba, bahwa semakin banyak bandar dan pelaku kejahatan dan penyalahgunaan narkoba, maka akan semakin terurai atau terungkap jaringan kejahatannya, sehingga akan lebih memudahkan serta fokusnya aparat keamanan memberantas dan mencegah kejahatan narkoba.

Namun berlakukah hal tersebut pada tindak pidana korupsi, karena semakin banyak pelaku korupsi yang tertangkap dan terungkap kasusnya, maka akan semakin menunjukkan betapa semakin bobroknya pelaksanaan pemerintahan yang ada, semakin bobroknya mentalitas aparatur penyelenggara negara. Ternyata korupsi itu bahaya latent, yang kadangkala diwariskan secara turun temurun entah itu sadar atau tidak sehingga menjadi semacam gunung es. Membongkar korupsi bisa saja nantinya membongkar dan menjatuhkan pemerintahan yang sedang berjalan, sungguh sangat berat tantangan aparat yang bertanggung jawab terhadap pemberantasan korupsi.

Saat ini kita sedang dihebohkan dengan kasus Gayus Tambunan seorang pegawai Dirjen Pajak dengan pangkat IIA yang dengan masa kerja tidak mencapai 10 tahun sudah mempunyai kekayaan 26 M, kemudian mencuat kasus baru Bahasyim Assifie mantan pejabat eselon II Dirjen Pajak dalam dugaan korupsi dan pencucian uang senilai 64 M. Sungguh suatu pukulan telak bagi jajaran Kementrian Keuangan, karena kebijakan remunerisasi yang menempatkan Kementrian Keuangan sebagai instansi pemerintah yang pertama kali mendapatkannya, tidak menjadikan mereka kebal terhadap godaan dan penyelewengan serta penyalahgunaan jabatan. Take home pay yang sesungguhnya sudah mencukupi ternyata bagi sebagian mereka masih juga dirasa kurang.

Lantas, bagaimana dengan sikap dan kebijakan SBY dalam pemberantasan korupsi saat ini dan nanti. Sikap dan kebijakan (pemerintahan) SBY dapat dilihat dari pernyataan pejabat yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan produk hukum yang dihasilkannya. Karena secara logis keberhasilan atau kegagalan pemerintahan adalah tanggung jawab Presiden sebagai nakhoda yang mengkomandoi kemana arah dan akan berlabuhnya kapal Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

Mari kita tengok bagaimana tanggapan dari Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar berkaitan dengan terungkapnya kasus Gayus dan menyusul Bahasyim Assifie, “Koruptor pantas dihukum mati” (Kompas, 6/4/2010). Sungguh itu adalah pernyataan yang sangat bagus dan menjadi amunisi ampuh bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya, namun apabila kemudian kita tengok dengan kenyataan yang ada, khususnya dihadapkan dengan RUU Tipikor yang sedang diajukan pemerintah untuk menggantikan UU yang lama, pernyataan tersebut menjadi semacam parodi semata. Bagai dagelan yang tak bersambut antara bunyi gong yang ditabuh dengan nyanyian lagu sinden.

Kenapa demikian, karena ternyata semangat yang diusung dalam RUU Tipikor yang baru “mengendur”, terasa adanya inkonsistensi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, bahkan cenderung membawa angin surga baik bagi koruptor maupun aparatur negara yang menyelewengkan kewenangan jabatannya.

Tengok saja, hilangnya pasal 2 dan pasal 3 dalam UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001 dari RUU Tipikor yang sekarang sedang diajukan pemerintah (yang selama ini paling ditakuti koruptor karena mampu menjerat mereka demi hukum) merupakan bentuk kemunduran atau inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Karena percuma saja, mau itu Menteri, Jaksa Agung, Kapolri bahkan Presiden sekalipun mengatakan dengan lantang, bahkan sampai berteriak : “berantas habis korupsi, berikan hukuman berat kalau perlu digantung mati”, kalau ternyata UU yang mengaturnya tidak mendukung atau mengatakan seperti itu.


Hal lain yang cukup krusial dalam RUU Tipikor baru yang sedang diajukan pemerintah ke DPR untuk mendapat persetujuan adalah tentang hilangnya ancaman hukuman minimal pada sebagian pasal, sehingga memungkinkan adanya putusan hukuman percobaan, bayangkan saja seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi masih bisa dikenakan hukuman percobaan, apa hal tersebut bisa membuat jera para koruptor dan bukannya dianggap peluang bagi sementara praktisi hukum yang sekedar mencari keuntungan semata dari kasus korupsi yang sedang dihadapi, bukannya untuk membela dan menegakkan kebenaran.

Disamping hukuman minimal, terjadi penurunan semangat pemberantasan korupsi pada RUU Tipikor yang sedang diajukan, yaitu menurunnya hukuman maksimal, terutama bagi para praktisi hukum sanksi hukuman maksimal yang akan mereka terima hanya 7 tahun ( 9 tahun untuk hakim penerima suap ), alangkah kendornya sanksi hukuman tersebut. Seorang praktisi hukum yang nyata-nyata mengerti dan faham betul tentang aturan hukum dan kemudian dengan sadar melakukan pelanggaran hukum yang berkaitan dengan korupsi, kemudian hanya dihukum maksimal 7 atau 9 tahun. Dimana letak beratnya sanksi hukuman korupsi, dimana letak efek jera yang akan diterapkan.

Terlebih lagi adanya klausul tentang penghilangan unsur luar biasa korupsi, yaitu tidak adanya sanksi yang mengatur tentang mekanisme pengembalian kerugian negara, pembekuan rekening, pidana tambahan terkait uang pengganti, dan pembatalan kontrak yang lahir dari korupsi, menjadi bertentangan dengan semangat yang diusung oleh UU sebelumnya “………Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa” . Sungguh merupakan inkonsistensi kalau tidak mau dikatakan pengenduran semangat pemberantasan korupsi oleh pemerintahan SBY yang diwakili oleh kebijakan dan perangkat UU yang mengaturnya.

PENUTUP

Menilik dari isi dan semangat RUU Tipikor yang baru, maka tidak salah kalau ada pendapat yang menyatakan telah terjadi titik balik dari pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY, yang semula seharusnya point with no return menjadi point to reduction. Kalau hal ini benar – benar sampai terjadi sungguh amat sangat disayangkan, stempel negara terkorup yang tengah kita sandang saat ini akan semakin sulit kita hapus, dan semakin kukuh kita sandang selamanya. Dan kerja keras pemberantasan korupsi yang selama ini telah dilakukan jangankan sempat kita petik hasilnya, bahkan bisa – bisa menjadi layu sebelum berkembang. Semoga saja hal tersebut tidak demikian adanya.

Salam,
halimun85@yahoo.co.id

Referensi :
1. UU RI Nomor 31 tahun 1999 jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Pemberantasan Setengah Hati, Susana Rita dan Ahmad Arif, Kompas 10 April 2010
3. Definisi Korupsi :http://thamrin.wordpress.com/2006/07/18/definisi-korupsi/

7.4.10

TIGA HAL TENTANG HIDUP

Ada 3 hal penting yang selalu terlupakan,
Hal yang menyangkut kehidupan

Dengan mengingatnya InsyaAllah, ALLAH SWT akan selalu
Memberikan berkahNYA kepada kita



3 Hal yang membuat Kita Kuat :

• IMAN

• PENGHARAPAN

• KASIH


3 Hal yang tidak akan dilupakan :

• CINTA

• KEJUJURAN

• PERSAHABATAN


3 hal yang tidak pernah kembali :

• WAKTU

• PERKATAAN

• KESEMPATAN


3 hal yg menghancurkan :

• KEMARAHAN

• KESOMBONGAN

• KESERAKAHAN


3 hal tidak boleh hilang :

• KASIH

• SUKA CITA

• DAMAI SEJAHTERA


3 Hal yang membuat Kita Dewasa :

• KESABARAN

• KETULUSAN

• RASA SYUKUR


3 hal tidak pernah Kekal :

• HARTA

• JABATAN

• CINTA MANUSIA


3 hal membuat Kita Berharga :

• KOMITMEN

• KERENDAHAN HATI

• KEJUJURAN


Salam,