2.6.10

PROFESIONALISME PRAJURIT TNI AD MENGHADAPI GLOBALISASI


ditulis untuk Majalah Seskoad Viyata Vira Jati edisi 113/2010



Tugas TNI dengan jajarannya,

harus terus menerus meningkatkan postur,

Military Posture harus semakin handal, semakin modern, semakin tangguh,

kredibel, sekaligus peningkatan kemampuan dan kesiagaan.

(Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI)

PENDAHULUAN

Pernyataan diatas dikutip dari sambutan Presiden RI pada Acara Rapim TNI di Aula Gatot Subroto Mabes TNI Cilangkap pada tanggal 25 Januari 2010. Pada kesempatan tersebut pada intinya Presiden RI menyampaikan tentang bagaimana misi dan tantangan TNI dihadapkan pada ancaman global dalam rangka mewujudkan grand strategy untuk kepentingan 10, 20, 30 tahun mendatang. Pembahasan grand strategy ini menjadi penting karena kesiagaan yang dimaksud diatas adalah “readyness” yang merupakan bagian dari strategi penangkalan dari kekuatan pertahanan negara. Dimana pembangunan kekuatan Pertahanan Negara dilakukan melalui modernisasi dan pembangunan yang terarah, terencana, sesuai dengan hakekat ancaman, kondisi geografi dan kemampuan negara serta berlandaskan Revolution in Military Affairs (RMA).


Pertahanan Negara diperlukan dalam rangka mempertahankan kedaulatan, keutuhan wilayah suatu negara dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan baik yang muncul di dalam negeri maupun luar negeri. Bagi Indonesia Pertahanan Negara merupakan upaya nasional yang melibatkan seluruh potensi dan kekuatan nasional yang diselenggarakan secara terpadu, terarah, efektif dan efesien berdasarkan pada sistem pertahanan negara yaitu Sistem Pertahanan Rakyat Semesta.[1]


Dalam aplikasinya, Pertahanan Negara diselenggarakan oleh seluruh komponen bangsa secara terpadu dan komprehenif, khusus dalam menghadapi ancaman militer menempatkan TNI sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam konteks TNI AD, pertahanan negara dengan konsep pertahanan kewilayahan, dimana kemampuan pertahanan wilayah yang dikembangkan adalah yang bertumpu pada pertahanan pulau besar dan rangkaian pulau kecil atau biasa dikenal dengan Land Base Oriented, hal tersebut mensyaratkan adanya kemampuan prajuritnya yang profesional dan handal serta didukung alutsista yang memadai. Menyadari hal tersebut maka sudah sewajarnya apabila pembentukan prajurit yang profesional dalam rangka menghadapi tuntutan perkembangan tugas, adalah hal yang menjadi prioritas bagi TNI AD.


Dihadapkan pada perkembangan global dunia yang makin dinamis dan komplek, dimana saat ini muncul enam sumber dan jenis ancaman global yang meliputi : 1) dunia yang multi polar, 2) benturan peradaban, 3) persaingan memperebutkan akses terhadap pangan, energi dan air, 4) ketimpangan ekonomi global, 5) penyakit menular, dan 6 ) perubahan iklim[2] menjadikan tuntutan tugas TNI semakin kompleks pula. Maka pembangunan kekuatan TNI AD yang berlandaskan pembentukan prajurit yang profesional menjadi tidak mudah dan membutuhkan suatu strategi yang jitu, dinamis sesuai dengan tuntutan jamannya saat ini.


Kebijakan pembangunan nasional pada periode kedua pemerintahan SBY adalah melanjutkan dan meningkatkan pembangunan disegala bidang secara terus menerus dengan koreksi dan perbaikan, dalam artian lain “development for all” atau pembangunan untuk semua. Mengacu kepada kebijakan tersebut, maka pembangunan bidang pertahanan yang dilakukan oleh TNI, khususnya TNI AD juga harus meliputi segala bidang dan kemampuan yang dimiliki oleh TNI AD sebagai sebuah organisasi militer untuk diarahkan dapat menjawab tantangan tugas dalam dimensi yang lebih luas, yaitu bukan saja menjawab tugas pokok TNI AD, tetapi juga bagaimana dapat berkontribusi aktif memberikan solusi terbaik bagi permasalahan-permasalahan bangsa.


Namun, dihadapkan dengan kemampuan dukungan anggaran negara yang masih terbatas, TNI AD akan menghadapai berbagai kendala dalam mewujudkan kebijakan pembangunan bidang pertahanan, sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan mendasar disekitar pembangunan kekuatan pertahanan negara dalam menghadapi ancaman global, yaitu Apa trend ancaman global saat ini yang mempengaruhi pelaksanaan tugas pokok dibidang pertahanan ?, Bagaimana strategi membentuk prajurit yang profesional yang sesuai dengan tuntutan tugas ? dan Bagaimana konsep TNI AD dalam menyikapi perubahan ancaman global ?.


Mengapa pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab, tiada lain dalam rangka kontinuitas reformasi internal TNI, yang mana selama satu dasa warsa reformasi, TNI AD secara perlahan tapi pasti melakukan berbagai perubahan, baik dalam tataran kebijakan, operasional dan kultur. Satu hal yang paling sulit dan membutuhkan waktu untuk perubahan adalah dibidang kultur, karena hal tersebut berhubungan dengan sumber daya manusia, sehingga menjadi relevan apabila pembenahan kultur dikaitkan dengan strategi pembentukan prajurit yang profesional dan pada akhirnya mengarah pada konsep TNI AD sebagai sebuah institusi atau organsasi militer menghadapi ancaman global menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini.


SUMBER ANCAMAN GLOBAL

Berdasarkan tinjauan geopolitik dan strategic environment, trend sumber dan jenis ancaman global telah berubah pada awal abad ke-21. Isu-isu global yang semula didominasi oleh demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup, saat ini sudah mulai muncul isu-isu baru yang diprediksi dapat menjadi sumber ancaman global, yang meliputi :

Pertama, dunia yang multi polar, bahwasanya, Amerika dewasa ini bukan lagi menjadi pemain tunggal dalam percaturan dunia internasional. Telah lahir kekuatan-kekuatan baru yang mampu mempengaruhi pengambilan kebijakan baik politik, ekonomi, pertahanan keamanan. Bangkitnya ekonomi China yang pada tahun 2009 telah mampu menggeser Amerika sebagai eksportir terbesar kedua di dunia, dan diprediksi pada 2010 akan merebut tempat pertama dari Jerman[3] merupakan kekuatan baru yang dominan mempengaruhi kawasan, khususnya Asia, dipihak lain bersatunya negara-negara Eropa dalam bentuk Uni Eropa merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan oleh Amerika dalam bermain di kawasan Eropa. Sehingga dewasa ini ada 3 (tiga) interaksi kekuatan besar yang mempengaruhi tatanan dunia di abad 21, yaitu Amerika, China dan Uni Eropa.

Kedua, Benturan Peradaban, Clash of Civilization antara dunia Islam dan dunia Barat terus saja terjadi sampai memasuki abad 21 ini, terutama yang berkaitan dengan isu terorisme, dimana dunia Barat memposisikan terorisme merupakan produk dari peradaban dunia Islam. Judgement yang tendensius semacam inilah yang pada dasarnya menjadikan makin suburnya terorisme di dunia, terutama terhadap Amerika dan berbagai kepentingannya di berbagai belahan dunia. Karena sikap resmi suatu pemerintahan kepada dunia Islam pada umumnya, akhirnya membentuk opini publik yang melihat dunia Islam dari sisi negatifnya saja, yang tentu saja menimbulkan perlawanan tersendiri dari dunia Islam, terutama golongan Islam garis keras yang lebih mengutamakan jalan kekerasan daripada syiar agama yang mengutamakan perdamaian dan kasih sayang. Pertentangan kedua peradaban yang sudah berumur ratusan tahun ini merupakan sumber ancaman tersendiri yang patut diperhitungkam dalam percaturan kehidupan dunia internasional.

Ketiga, Persaingan memperebutkan akses terhadap pangan, energi dan air merupakan sumber konflik baru yang akan segera mengemuka dewasa ini. Hal tersebut terjadi karena melonjaknya jumlah penduduk dunia dari tahun ke tahun yang tentunya berdampak pada kebutuhan akan pangan, energi dan airpun semakin bertambah, sedangkan sumber daya alam sudah semakin menipis karena eksploitasi manusia yang cenderung berlebihan. Pada abad 20 saja, kebutuhan akan minyak menjadikan Amerika menyerbu Irak, walaupun alasan penyerbuannya dikemas dengan isu demokrasi dan adanya pembuatan senjata pemusnah massal oleh Irak, yang ternyata sampai dengan saat ini tidak terbukti adanya. Sehingga krisis akan pangan, energi dan air apabila tidak ditangani dengan arif dan bijaksana dapat menjadi pemicu konflik di abad 21 ini.

Keempat, Ketimpangan ekonomi global. Adanya ketimpangan antara supply dan demand pada percaturan ekonomi global merupakan bom waktu tersendiri, hal tersebut sudah terbukti dua kali yaitu, tahun 1998 yang melanda Asia dan tahun 2008 yang bahkan melanda seluruh dunia, dikarenakan krisis keuangan di Amerika. Kepentingan antara negara pengimpor dan negara pengekspor harus benar-benar dapat diwadahi dan disikapi dengan kebijakan ekonomi yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif dan berkesinambungan agar mampu menghadapi sumber dan jenis ancaman global masa kini.

Kelima, Penyakit menular. Dampak dari penyebaran penyakit-penyakit baru seperti flu burung, flu babi ternyata tidak hanya meresahkan satu kawasan saja, tetapi sudah menjadi perhatian dunia, bahkan telah menimbulkan travel warning bagi satu negara kepada negara lain, yang mau tidak mau mempengaruhi hubungan kedua negara. Dan tidak menutup kemungkinan masih ada varian-varian baru yang akan muncul yang akan dapat menjadi wabah global.

Keenam, Perubahan Iklim merupakan sumber ancaman baru yang perlu diwaspadai oleh semua negara dalam lingkup global. Efek rumah kaca telah menyebabkan kenaikan suhu yang drastis, kenaikan air laut, rusaknya lahan pertanian yang berdampak pada kelaparan, masalah sosial dan pada akhirnya masalah keamanan dunia. Belum lagi dengan peristiwa alam yang tak dapat terelakan seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dewasa ini sudah menjadi masalah global, masalah seluruh masyarakat dunia bukan lagi semata-mata negara yang sedang ditimpa bencana.


Keenam sumber dan jenis ancaman global inilah yang perlu diperhatikan secara seksama oleh bangsa Indonesia dalam membangun dan menyongsong abad 21, segenap daya dan upaya serta kemampuan yang ada harus dikonsolidasikan dan diarahkan untuk mampu menjawab segala tantangan global yang tak mungkin terelakkan. Demikian pulanya dengan TNI AD yang merupakan bagian integral dari NKRI harus pula menyikapi tantangan tersebut agar tidak terdadak dan pada saatnya mampu memberikan solusi bagi permasalahan bangsa sesuai dengan tugas pokok yang diembannya.


STRATEGI MEMBENTUK PRAJURIT YANG PROFESIONAL

Menyikapi bahwa abad 21 sudah didepan mata bahkan sedang dijalani dan adanya sumber ancaman baru yang semakin kompleks adalah tantangan yang harus dijawab, maka TNI AD sebagai komponen bangsa menyikapinya dengan berpikir dan bertindak realistis sesuai dengan kemampuan dan batas kemampuan serta dukungan anggaran yang tersedia dari negara. Bahwa kemampuan dukungan anggaran TNI walaupun mengalami kenaikan sebesar Rp. 10 triliun pada APBN 2010[4], namun dukungan tersebut lebih diarahkan kepada lima hal yaitu : dukungan operasional nyata, kesiapan dan kesiapsiagaan operasional, pemeliharaan alutsista, pendidikan dan latihan, serta kesejahteraan prajurit.


Dari penekanan tersebut terlihat bahwa pemenuhan dan pembelian alutsista baru bukan menjadi prioritas utama TNI guna memodernkan alutsistanya dalam rangka menciptakan daya tangkal yang kuat melalui persenjataan yang handal, modern yang berlandaskan sistek sesuai jamannya. Dihadapkan dengan berbagai realita tersebut, bagi TNI AD diperlukan strategi lain dalam rangka membangun organisasinya, karena pada dasarnya TNI AD adalah berbasiskan orang yang mengawaki persenjataan, bukannya orang yang dipersenjatai atau dilengkapi dengan sistem persenjataan seperti matra lain. Maka salah satu strategi yang tepat saat ini dihadapkan dengan kondisi nyata adalah mempersiapkan, memelihara dan meningkatkan SDMnya agar mampu menjalankan setiap tugas yang diberikan, dalam arti kata lain yaitu membentuk prajurit yang profesional.


Sebelum lebih jauh membahas tentang strategi apa yang tepat digunakan TNI AD dalam membentuk prajuritnya yang profesional, ada baiknya kita ditinjau dulu apa yang dimaksud dengan profesional itu sendiri dalam pengertian atau lingkup militer sebagai sebuah profesi.


Dalam kamus Webster Dictionary, kata “profesional” berasal dari bahasa Yunani “profess” (ikrar) yang kemudian menjadi kata bentukan Professionalism yang mempunyai arti tingkah laku, tujuan, sifat-sifat, karakteristik mengenai keistimewaan suatu profesi, atau manusia profesional dan karakteristik standar atau metode profesional”.


Yang kemudian dapat disimpulkan Profesional adalah standar yang dikenakan terhadap suatu pekerjaan yang dilakukan dengan lebih dilandasi oleh keyakinan akan adanya nilai-nilai kebenaran, kehormatan, kecintaan dan keterpanggilan di dalam pekerjaan itu, baik dalam hal menguasai keahlian yang diperlukan maupun pelayanan atas nama pekerjaan itu kepada orang lain, dari pada sekedar, atau semata-mata untuk memperoleh bayaran.[5]


Sedangkan menurut Samuel Huntington, untuk membentuk suatu profesionalisme khususnya dalam dunia militer dibutuhkan adanya tiga prasyarat profesionalisme yaitu : adanya keahlian (expertise), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan adanya organisasi kesejawatan yang mengikat (corporateness)[6]. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Morris Janowitz bahwa profesionalisme dapat terbentuk karena adanya : 1) suatu keahlian yang sangat spesifik yang diperoleh melalui latihan yang intensif, 2) standar etika dan kinerja, 3) rasa identitas kelompok, dan 4) sistem administrasi internal.[7]


Dari pendapat para ahli militer tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Profesionalisme Militer adalah militer yang mempunyai pengetahuan, pendidikan, kemampuan, ketrampilan serta tanggung jawab di bidang pertahanan dan keamanan negara dari ancaman luar dan dalam negeri.


Untuk dapat mewujudkan profesionalisme seperti yang dimaksud maka dibutuhkan seorang prajurit yang memiliki daya tempur yang handal, menguasai peranti keras dan lunak sesuai dengan keahlian yang disandangnya serta ditunjang dengan daya nalar / pikir yang baik sehingga mampu menjalankan setiap tugas yang diberikan dengan baik dan benar. Ini adalah konsep profesionalisme prajurit yang diusung oleh negara barat secara konvensional.


Dari sudut pandang TNI sendiri yang dimaksud dengan profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.[8]


Dari sini terlihat bahwa pada dasarnya pengertian profesional secara konvensional menurut pandangan negara Barat dengan pengertian yang dimiliki oleh TNI tidak jauh berbeda, yang membedakan adalah adanya penekanan tentang jaminan kesejahteraan dan mengikuti kebijakan politik negara. Untuk permasalahan mengikuti politik negara, sampai saat ini TNI mampu melaksanakan hal tersebut, bahkan dapat dikatakan TNI melakukan setiap tugas dan perintah yang diberikan oleh pemerintah / negara tanpa adanya “reserve” sama sekali. Tetapi lain halnya dengan jaminan kesejahteraan, negara sampai saat ini belum mampu sepenuhnya untuk memenuhi kewajibannya seperti telah diatur dan diamanatkan oleh Undang Undang.


Berdasarkan konsep pengertian profesional secara konvensional dan pengertian TNI, untuk mewujudkan profesionalisme dalam tubuh TNI AD dibutuhkan dua hal yang saling berkaitan yaitu profesionalisme prajurit dan profesionalisme institusi. Pada profesionalisme prajurit lebih diarahkan kepada pembentukan keahlian, tanggung jawab , kecintaan kepada pekerjaan dan kesetiaan kepada satuan serta disiplin yang tinggi dalam menjalankan setiap tugas yang diemban, sedangkan profesionalisme institusi diarahkan kepada kejelasan tugas, misi dan visi yang ditunjang oleh dukungan publik dan otoritas sipil lainnya agar pelaksanaan tugas organisasi sesuai dengan ketentuan hukum dan undang – undang yang berlaku.


Seperti disampaikan diatas, antara profesionalisem prajurit dengan profesionalisme satuan adalah dua hal yang saling mengisi dan berkaitan namun demikian pembenahan TNI AD akan lebih mudah apabila dimulai dari pembenahan personelnya, karena pada dasarnya personel-lah yang menggerakkan organisasi. Berkaitan dengan hal tersebut maka strategi yang perlu diterapkan dalam membentuk prajurit yang profesional adalah sebagai berikut :


Pertama, Penentuan Keahlian. Seperti telah disampaikan sebelumnya salah satu ciri dari profesionalisme adalah adanya keahlian (expertise), karena nilai atau value seorang prajurit dilihat dari bagaimana ia menguasai dan mengerjakan pekerjaan atau tugas pokoknya. Dihubungkan dengan organisasi TNI AD sebagai sebuah sistem, maka personel dengan lingkup tugas dibawahnya adalah sub sistem dan sub-sub sistem yang saling mengisi dan bekerja sama agar sistem tersebut dapat bekerja dengan baik dan berdaya guna. Dengan melihat komposisi dan jumlah prajurit TNI AD yang begitu besar, dan agar tidak terjadi tumpang tindih pekerjaan yang pada akhirnya hanya akan menghasilkan pemborosan saja, maka prajurit TNI AD harus sedini mungkin memilih dan menentukan dibidang apa ia bekerja, untuk kemudian ditekuni dan dikuasai.

Penentuan keahlian dalam hal jenis pekerjaan atau spesialisasi dapat dilakukan sendiri ataupun berdasarkan pengamatan dan perintah satuan, dalam rangka pengoptimalan kinerja satuan dan kesesuaian TOP/DSPP satuan tersebut. Dengan lebih dini menentukan spesialisasinya, maka prajurit akan lebih mudah diarahkan dan dikembangkan sesuai dengan keahliannya secara bertahap, bertingkat dan berlanjut untuk kemajuan diri pribadi maupun satuannya.


Kedua, Pengembangan Keahlian. Pembentukan prajurit profesional tidak cukup hanya lewat pendidikan formal semacam Dikbangum saja, tetapi juga diperlukan pengembangan keahlian melalui pendidikan spesialisasi. Pendidikan spesialisasi dilingkungan TNI AD memang sudah ada, yang perlu dikembangkan lagi dalam penyelenggaraan pendidikan spesialisasi tersebut adalah adanya penekanan proses pembelajaran dan pengembangan diri yang terus menerus.

Karena keahlian pada dasarnya terbentuk dari penggalian potensi dan kemampuan prajurit untuk seterusnya diasah dan terus dikembangkan sampai benar-benar dikuasai dan menjadi ahli. Peran Lembaga Pendidikan dan para atasan di Satuan adalah bagaimana mereka dapat membantu prajuritnya agar bisa fokus pada kekuatan yang mereka miliki dan kemudian dieksploitasi dengan cara memberi kesempatan dan penugasan yang bervariasi sesuai dengan keahlian si prajurit.

Dengan cara ini diharapkan prajurit akan menyadari bakat dan kemampuannya dan terpacu untuk lebih giat mengembangkan keahlian tersebut karena ia merasa ada manfaat bagi diri dan satuannya.


Ketiga, Peningkatan Koordinasi. Menyadari bahwa TNI AD sebagai organisasi diawaki oleh berbagai keahlian dan spesialiasi, maka berbagai keahlian dan spesialisasi tersebut tidak akan berdaya guna yang maksimal apabila tidak ada kesatuan, keterpaduan dan saling mengisi satu sama lain. Ibarat sebuah mobil balap, mobil tersebut akan mempunyai performa yang handal dan berpotensi menjadi juara apabila setiap bagiannya, entah itu mesin, body aerodinamis, sistem akselerasinya, dll ditangani oleh ahlinya masing-masing.

Demikian pula halnya dengan TNI AD, maka keahlian dan spesialisasi yang dimiliki oleh personel TNI AD harus bisa dikoordinasikan dengan baik dan sinegis, agar setiap unit-unit kerja dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan dan sasaran dapat saling mengisi dan mengarah pada dukungan pencapaian tugas pokok, visi dan misi TNI AD.


Keempat, Prinsip berbuat dan berpenampilan terbaik. Satu hal penting yang perlu disadari baik oleh prajurit maupun institusi, bahwa membangun profesionalisme tidak lepas dari pencitraan, karena profesionalisme juga mengandung spirit, jiwa, karakter, semangat dan nilai kejuangan.

Profesionalisme ada karena adanya penilaian dan pengakuan dari orang lain, dan karena profesionalisme pula-lah suatu organisasi bisa bertahan menghadapi segala tantangan jaman.

Demikian pula dengan TNI AD, profesionalismenya dapat dilihat dari profesionalisme prajuritnya. Karenanya perlu adanya kebijakan dari Komando Atas, penekanan dari level menengah dan kesadaran dari level bawah untuk selalu berbuat yang terbaik dalam setiap penugasan yang disertai dengan penampilan yang terbaik pula dalam rangka pencitraan. Apabila dari mulai level bawah, yaitu para prajurit mampu melakukan hal ini, maka makin keatas akan terbentuk profesionalisme satuan yang baik dan handal dan citra baik TNI AD akan terbentuk dan diakui oleh publik.


Kelima, Peningkatan Kesejahteraan. Kesejahteraan adalah mutlak bagi pembentukan profesionalisme prajurit, selain memang hal tersebut sudah diamanatkan dalam undang-undang, dalam artian nyata memang demikianlah adanya. Prajurit untuk dapat fokus pada pekerjaannya haruslah sudah yakin dengan terpenuhinya kebutuhan dasar pribadi dan keluarganya sesuai dengan strata pangkat dan jabatannya. Dengan telah terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka prajurit tidak akan berpikir dan berbuat yang macam-macam, apalagi sampai berbuat yang melanggar aturan.

rajurit akan malu apabila melanggar dan tidak bisa melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Para unsur pimpinan akan lebih mudah memberikan perintah, arahan, petunjuk dan bimbingan dalam rangka pengekploitasian bakat dan kemampuan prajurit serta sistem reward and punishment pun akan lebih mudah diterapkan dalam hal ini, karena tuntutan tugas sudah sesuai dengan pemenuhan hak prajurit.


Keenam, Peningkatan Moral, Peningkatan moral prajurit adalah hal yang paling utama dalam pembentukan profesionalisme militer, karena segala bentuk keahlian dan spesialisasi menjadi tidak ada harganya dan bahkan merugikan diri pribadi atau satuan apabila disalahgunakan untuk hal-hal yang melanggar aturan. Apalagi spesialisasi dan keahlian di lingkungan militer yang tentunya bersinggungan dengan senjata, alutsista dan kepentingan strategis lainnya sangat riskan dan berbahaya apabila disalahgunakan peruntukannya. Karenanya peningkatan moral prajurit dalam bentuk kesadaran dan kepatuhan akan disiplin dan aturan yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan kepada agama adalah hal mendasar yang perlu mendapat perhatian utama.

Peningkatan moral ini bisa dilakukan melalui ceramah, Jam Komandan, canti aji, bintal fungsi komando dan yang paling penting adalah pemberian contoh suri tauladan secara langsung dari unsur pimpinan kepada prajuritnya. Karena prajurit sekarang adalah prajurit yang lebih kritis, mereka tidak hanya mampu menilai sikap kepribadian atasannya, bahkan mereka apabila dirasa mungkin mampu menyuarakan hal-hal tertentu yang mereka anggap tidak sesuai dan sudah melampaui dari batas-batas norma yang ada.


Keenam strategi tersebut haruslah dikemas dalam bentuk sebuah kebijakan dari Komando Atas yang berlaku sama bagi semua prajurit, yang dalam pengimplementasian dilapangan disesuaikan dengan strata pangkat dan jabatan. Dan yang paling penting adalah penjabaran dari para unsur pimpinan kepada bawahannya terutama terhadap levelitas prajurit pelaksana harus dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, sehingga kebijakan tersebut benar-benar dapat dimengerti dan dilaksanakan oleh setiap prajurit, dan bukan hanya sekedar slogan belaka.


KONSEP TNI AD MENGHADAPI PERUBAHAN ANCAMAN GLOBAL

Globalisasi telah membawa sumber dan jenis ancaman baru bagi bangsa-bangsa di dunia. Perubahan sumber ancaman juga sekaligus menghasilkan paradigma perang masa kini yang meliputi perang otak, perang selisih keunggulan (brand power), perang informasi, perang daya cipta dalam percaturan ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan dan bidang budaya[9]. Menyadari bahwa sumber ancaman telah berubah, maka TNI AD harus pula segera menyesuaikan dan mempersiapkan diri menghadapinya dengan cara memiliki daya antisipasi, membuat perkiraan-perkiraan strategis, dan merubah cara pandang atau mindset.


Dalam kaitannya dengan perubahan cara pandang, maka sudah waktunya TNI AD dalam menghadapi sumber ancaman yang baru menggunakan Smart Power, disamping penggunaan Hard Power dan Soft Power. Smart Power yang dimaksud disini adalah strategi kemenangan menangani masalah dengan mengkombinasikan antara Hard Power (penggunaan kekuatan militer) dengan Soft Power (penggunaan penggalangan).


Konsep Smart Power pertama kali dikemukakan pada tahun 2006 oleh Joseph Nye, Profesor Hubungan Internasional yang merupakan varian dari dari konsep Soft Power yang terlebih dahulu ia perkenalkan pada tahun 1970.[10] Menurut Josep Nye, definisi dari Smart Power adalah the ability to combine hard and soft power into a winning strategy, yang kemudian diterjemahkan oleh pemerintah AS menjadi "belajar untuk bekerjasama dan mendengarkan". Smart Power merupakan konsep baru, yaitu lebih mengedepankan cara-cara persuasi dan negoisasi daripada penggunaan kekuatan bersenjata.


Hard Power lazim digunakan melalui operasi militer, sedangkan Soft Power kebanyakan digunakan dalam operasi atau kegiatan intelijen. Lalu bagaimana dengan penggunaan Smart Power ? Konsep Smart Power yang mungkin digunakan adalah bagaimana menggunakan kekuatan pihak ketiga atau pengaruh pihak lain untuk menekan atau memaksa sasaran berlaku atau bertindak sesuai dengan tujuan operasi yang dilaksanakan. Tekanan atau pengaruh terhadap sasaran dapat menggunakan kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya, dll melalui jalan diplomasi dan negoisasi.


Konsep Smart Power digunakan oleh suatu negara kepada negara lain, dalam hal ini AS kepada negara Islam, apakah konsep tersebut juga bisa diterapkan dalam lingkup dunia militer, khususnya TNI AD. Sebuah pertanyaan menarik dan jawabannya tentu saja bisa. Kenapa bisa, karena memang sudah waktunya TNI AD dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, terutama dalam penggunaan OMSP menggunakan pendekatan Smart Power tanpa meniadakan penggunaan Hard Power dan Soft Power.


Namun demikian penggunaan konsep Smart Power, tentunya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta ciri khas atau kharakteristik permasalahan bangsa Indonesia itu sendiri, karenanya diperlukan landasan yang tepat agar penggunaan konsep Smart Power dapat berhasil dan tepat guna. Landasan yang dapat dipertimbangkan dalam penggunaan konsep Smart Power bagi TNI AD adalah penggunaan pendekatan dari segi operasional, hukum dan fungsi utama TNI AD.

Pendekatan Operasional, bahwa penggunaan kekuatan militer dalam situasi damai adalah upaya terakhir atau last resort. Hal ini harus benar-benar dipahami baik oleh prajurit itu sendiri, publik, maupun elit pemerintah. TNI khususnya TNI AD tidak bisa bersikap selayaknya tukang cukur seperti dahulu, bahwa TNI AD harus selalu berada pada posisi terdepan dalam menghadapi permasalahan bangsa. Sudah waktunya menempatkan persoalan dengan solusi pemecahannya sesuai porsi, tugas dan tanggung jawab masing-masing institusi sesuai tugas pokoknya yang telah diatur dalam undang-undang. Namun demikian bukan berarti TNI AD hanya diam dan melihat serta menunggu saja pelibatannya dalam menghadapi permasalahan bangsa. Karenanya penggunaan konsep Smart Power menjadi salah satu solusi untuk digunakan dalam masa damai. Dalam konteks ini porsi penggunaan antara Hard Power dan Soft Power dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan, salah satu kekuatan dapat lebih dominan atau bahkan berjalan bersamaan. Sejalan dengan penggunaan konsep Smart Power, maka TNI AD dalam masa damai sesuai dengan tugas pokoknya harus mempersiapkan diri untuk siap setiap saat dilibatkan. Agar sekali diminta untuk terlibat, setiap tugas yang dibebankan dapat diselesaikan dengan tuntas dan berhasil. Untuk itu maka tiada lain upaya TNI AD adalah berlatih dan berlatih. Kegiatan berlatih inipun adalah bagian dari pembentukan profesionalisme prajurit.


Pendekatan Hukum, bahwa penggunaan Konsep Smart Power dalam turut sertanya TNI AD membantu memecahkan permasalahan bangsa, aspek legal hukum tetap tidak boleh ditinggalkan. Disinilah perlunya keputusan politik dalam setiap pelibatan TNI AD, terutama apabila porsi penggunaan kekuatan TNI AD yang menggunakan kekuatan militer lebih dominan saat itu. Hal ini perlu disadari, karena pada dasarnya penggunaan kekuatan militer berarti instrumen kekerasanlah yang digunakan, dimana dalam instrumen kekerasan tersebut sudah pasti akan timbul korban, atau paling tidak ekses hukum baik pada saat berlangsungnya operasi maupun sesudah operasi. Menyadari pentingnya payung hukum dalam setiap operasi militer atau penggunaan kekuatan militer baik dalam rangka Hard Power, Soft Power maupun Smart Power, maka perlunya kesadaran dari setiap bagian pengambil keputusan untuk tetap satu suara pada saat keputusan penggunaan porsi kekuatan militer lebih dominan, jangan sampai ditengah jalan justru dari kalangan elit pemerintah atau politisi sendiri yang mengecam tindakan penggunaan militer dalam pemecahan masalah bangsa. Karenanya dalam Smart Power aspek diplomasi dan penguasaan legal hukum perlu ditingkatkan bagi personel TNI AD sendiri, hal ini bertujuan agar personel yang menangani masalah diplomasi dan hukum ini mampu mempengaruhi dan meyakinkan kalangan elit politk untuk tetap mendukung operasi militer dan mampu menjawab dengan baik dan benar setiap pertanyaan-pertanyaan yang muncul disekitar operasi baik dari kalangan oposan maupun publik.


Pendekatan Fungsi Utama TNI AD, bahwa pada dasarnya penggunaan atau pelibatan TNI AD adalah dalam rangka terlaksananya kesinambungan pembangunan didalam negeri. Kesejahteraan yang menjadi tujuan bangsa, hanya bisa dicapai apabila situasi dan kondisi dalam keadaan kondusif, damai dan terkendali. Karenanya penggunaan kekuatan TNI AD baik itu dalam bentuk peran, sumbang pikir dan kegiatannya seyogyanya dapat diarahkan kepada dukungan program kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks konsep Smart Power, TNI AD mempunyai konsep yang tepat untuk mengimplementasikan penggunaan Smart Power, yaitu dengan menggunakan Pembinaan Teritorial sebagai salah satu fungsi utamanya. Pembinaan Teritorial merupakan salah satu jawaban yang jitu dalam menghadapi sumber ancaman baru globalisasi, karena salah satu sasaran Pembinaan Teritorial adalah mewujudkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi ancaman baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. Yang menjadi perhatian dalam penggunaan Pembinaan Teritorial adalah bahwa program Pembinaan Teritorial harus benar-benar dikoordinasikan dan pelaksanaannya agar dapat disinergiskan dengan program pembangunan daerah mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Program-program Pembinaan Teritorial apabila benar-benar dilaksanakan dan dapat mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan akan berdampak positif baik bagi pemerintah, masyarakat maupun TNI AD sendiri. Itulah kenapa Pembinaan Teritorial dapat dikatakan sebagai salah satu implementasi dari konsep Smart Power.


PENUTUP

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan dalam konteks global, saat ini bangsa-bangsa di dunia menghadapi sumber dan jenis ancaman baru yang perlu segera disikapi dengan arif dan bijaksana agar tidak terdadak menghadapinya. Berkaitan dengan sumber ancaman baru tersebut, TNI AD dihadapkan dengan masih terbatasnya dukungan anggaran dari negara menyikapinya dengan pembenahan personel melalui pembentukan prajurit yang profesional dan perubahan mindset dengan lebih mengedepankan penggunaan Konsep Smart Power dalam membantu memecahkan permasalahan bangsa.

salam,
halimun 85

[1] UU RI No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

[2] Sambutan Presiden RI dalam Acara Rapim TNI, 25 Januari 2010

[3] Rahasia Sukses Ekonomi China, James Kynge, 2007.

[4] Berita Sore, 9 Juni 2009, DPR Sepakat Anggaran TNI Naik 10 Triliun

[5] Studi Fenomenologi Tentang Pola Pembentukan Profesionalisme TNI, Dr. Muhadjir Effendi, M.Si.

[6] Prajurit dan Negara : Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil, Samuel P. Huntington.

[7] Professional Autonomy of Military in the United States and the Soviet Union, www.airpower.maxwell.af.mi

[8] UU RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI

[9] Buletin DMC : Kompleksitas Ancaman dan Tantangan dalam Era Globalisasi, Yuwono Sudarsono

[10] Viva News : RI tunggu pendekatan Smart Power AS, 18 Pebruari 2009


MEMBANGUN KARAKTER PEMIMPIN MILITER









MEMBANGUN KARAKTER PEMIMPIN MILITER,
Herdardji Soepandji
Penerbit LPKN, 2009
122 hal, soft cover

Inti dari buku ini adalah membahas tentang Kepemimpinan, ditinjau dari perspektif kepemimpinan militer yang dilandaskan kepada teori, study kepustakaan dan pengalaman pribadi penulis sebagai seorang PA Pom TNI AD, yang pensiun dg pangkat Mayjen TNI dg jabatan terakhir Aspam Kasad.

Penulisan dibagi dalam 5 Bab, dimana Empat Bab berisi tentang analisa deskriptif tentang apa dan bagaimana seharusnya kepemimpinan militer dan satu bab yang sifatnya penutup saja, yaitu Bab 5.


Bab I. Kepemimpinan sebagai sebuah perspektif.

Membahas lebih dalam fungsi fungsi melekat yang di miliki oleh seorang Perwira sebagai pemimpin dan komandan, karena pada dasarnya Perwira dapat menjadi seorang pemimpin dan sekaligus komandan apabila ia mempunyai otoritas formal karena jabatan yang sedang diembannya.

Pada hakekatnya Perwira adalah pemimpin bagi anak buahnya, sehingga harus mempunyai kedudukan sebagai : komandan, pemimpin, guru, pembina, bapak dan teman.

Catatan menarik dalam bab ini adalah ;
(1) Kepemimpinan merupakan satu sistem, sehingga dalam memimpin organisasi atau satuan / unit harus ada aspek kerjasama, soliditas dan keterpaduan yang seimbang.


(2) Sikap sebagai seorang Komandan tidak harus setiap saat ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi pada saat saat tertentu dimana ybs harus dpt mengambil keputusan dalam memilih lebih dari satu alternatif pilihan.

(3) Kepemimpinan Militer dituntut untuk lebih menonjolkan keteladanan, soliditas, solidaritas dan kemampuan utk melakukan komunikasi dua arah dg anggota maupun masyarakat luas.

Karenanya dibutuhkan adanya karakter kepemimpinan yang kuat dan handal.



Bab 2. Pemimpin dilahirkan dan dicetak untuk mengatasi krisis serta memberikan kemaslahatan.

Menyadari bahwa Pemimpin yang baik dan maslahat adalah pemimpin yang mampu mengendalikan dan mengatasi krisis, maka diperlukan integritas dan kepekaan (sense of crisis) dalam rangka mengambil keputusan yang arif, cepat dan tepat.

Karenanya wajib bagi seorang pemimpin untuk menguasai manajemen krisis sebagai bekal dalam menghadapi konflik dan krisis yang makin kompleks dan multidimensional yang meliputi ;

(1) karakter kepemimpinan yang tangguh, hal ini mengingat bahwa sekecil apapun konflik apabila dibiarkan akan semakin besar dan menjadi krisis yang berdampak sesuatu yang tidak konstruktif, bahkan destruktif,

(2) wawasan kebangsaan yang tinggi, mengingat bahwa pemahaman akan kebangsaan mengikat dan menyatukan kerentanan yang diakibatkan oleh kebhinekaan kita,

(3) mampu melaksanakan musyawarah untuk mufakat,

(4) Konsiliator yang baik, dan

(5) berani mengambil keputusan dan tindakan yang tegas tapi terukur dalam situasi mendesak dan kritis.


Catatan menarik dalam bab ini adalah ;
(1) Pemimpin yang baik adalah yang dilahirkan (dalam artian sudah mempunyai bakat memimpin) dan kemudian dicetak (dalam artian dipersiapkan dengan dididik, dilatih dan diberi penugasan).


(2) Salah satu kompetensi pemimpin adalah seorang yg dpt menyelaraskan perilaku pribadinya dengan tujuan satuan dan lingkungan sekitar sehingga dapat menimbulkan manfaat.



Bab. 3 Kepemimpinan yang efektif.

Adalah adanya timbul rasa ketulusan bawahan untuk melaksanakan tugas yang diberikan dan tingginya iklim partisipasi dan inovasi. Kepemimpinan efektif membutuhkan kecerdasan, talenta dan karakter, tapi yang paling utama adalah karakter yang kuat, karena kecerdasan dan talenta tinggi dapat menimbulkan arogansi dan kesombongan yang dapat berbuah kejatuhan.

Kepemimpinan Militer yang efektif adalah kepemimpinan yang mempunyai karakter, yang syarat utamanya ;

(1) Visioner, pemimpin yg memiliki cita cita tinggi dan berwawasan jauh kedepan,

(2) Komitmen Moral, yaitu keteguhan hati dan pikiran dalam menjaga amanat yang diemannya,

(3) Motivator Handal, yaitu semangat tinggi yang disertai dengan kemampuan inovasi dan intuisi tinggi,

(4) Fokus menghadapi Masalah, yaitu mampu memberikan waktu yg cukup untuk satuan dan mendahulukan yang penting, dan

(5) Konsisten, yaitu taat azas, teguh dalam pendirian dan keyakinan (yg benar).



Adapun yang menjadi indikator Kepemimpinan Efektif ;
(1) Rasa Percaya Bawahan kepada Pimpinan,
(2) Suasana Nyaman dan Kondusif,
(3) Disiplin Tinggi,
(4) Moralitas Mulia,
(5) Moril Militan,
(6) Profesionalisme Keprajuritan, dan
(7) Solid.


Catatan menarik dalam bab ini adalah ;
(1) Kepemimpinan Efektif memerlukan "self leadership" yaitu kemampuan diri dalam mengendalikan hawa nafsu.

(2) Ditabukannya bagi seorang pemimpin untuk memaksakan diri mencari-cari jabatan dan harta (karena akan datang dengan sendirinya sesuai strata dan kedudukan nantinya).



Bab. 4. Pengembangan Karakter Pemimpin Militer.

Karakter adalah struktur ideal pada jiwa dan raga yang membedakan seseorang dengan yang lain, dengan demikian maka Pemimpin yang berkarakter adalah seorang pemimpin yang memiliki jiwa dan raga yang sehat dan kuat sehingga memiliki keunggulan dalam segala hal. Dalam hal ini dibutuhkan kompetensi berupa etika dan akhlak yang tinggi.

Dalam membentuk Karakter Kepemimpinan terdapat adanya "proses membangun karakter" yaitu suatu mekanisme yang berkesinambungan dan transparan melalui pendidikan, latihan dan penugasan yang sistematis dan berkelanjutan, yang dimulai dari pencarian gagasan, dilanjutkan dengan Pembentukan dan pembinaan kejiwaan.

Karakter Kepemimpinan Handal mempunyai sifat ;
(1) Jujur,

(2) berani dan bertanggung jawab,

(3) tidak mementingkan diri sendiri,

(4) Adil,

(5) Ramah tamah dan kasih sayang,

(6) Setia,

(7) Berinisiatif,

(8) Bijaksana dan mampu mengendalikan diri,

(9) Cerdas,

(10) Tegas,

(11) Dapat Dipercaya,

(12) Antusias,

(13) Ulet, dan

(14) Rendah Hati.



Mengingat Pembangunan Karakter Kepemimpinan Militer membutuhkan waktu yang lama, proses berjenjang, sistematis dan berkelanjutan, maka diperlukan adanya ;


1. KEBIJAKAN, bahwa Pembangunan Karakter Kepemimpinan merupakan tanggung jawab bersama sekaligus fungsi komando di seluruh strata jajaran TNI maupun TNI AD.

2. STRATEGI :

a. Jangka Pendek : sistem perekrutan yang baik dan berkesinambungan dan adakan pendidikan - latihan.

b. Jangka Sedang : kembangkan pola ToD dan ToA serta pembentukan Karakter Kepemimpinan Militer dijadikan Prioritas Utama.

c. Jangka Panjang : pemimpin di lingkungan militer yang berhasil dapat diarahkan untuk ditempatkan pada level nasional.

3. SASARAN :
a. Terciptanya kader pemimpin TNI AD yang mumpuni.

b. Kontibusi penyediaan kepemimpinan Nasional.


Catatan menarik dalam bab ini adalah ;
(1) Karakter yang kuat mengutamakan munculnya kesadaran pribadi untuk menjadi pemimpin yang TIDAK HANYA memiliki kesadaran pribadi tetapi juga untuk terus mengembangkan diri.

(2) Pemimpin yang dilahirkan tidak mempunyai konsepsi membangun, sedangkan Pemimpin yang HANYA dicetak punya konsep tapi tidak mampu menjalankan, karenanya perlu adanya kombinasi disamping dilahirkan, pemimpin JUGA HARUS dicetak.

(3) Pemimpin yang baik harus mampu menyiapkan pemimpin yang baik pula.



Bab. 5. Penutup. Harapan penulis agar bukunya dapat dijadikan penambah pengetahuan dan wawasan dalam menjalankan tugas.


Pendapat Pribadi Pembaca :

1. Buku ini bagus untuk dibaca, karena pembahasannya simpel dan aplikatif, walaupun sebagian besar yang dibahas bukan ide murni dari penuis, tapi merupakan tulisan atau teori kepemimpinan yang sudah ada sebelumnya, namun dengan adanya penjelasan yang lebih simpel dan aplikatif dari point point atau teori tersebut menjadikannya menarik dan berguna.


2. Banyak sekali kata-kata bijak didalamnya yang dapat kita "cite" dan terapkan untuk kehidupan pribadi pembaca.

Kesimpulan ; patut direkomendasikan kepada pembaca lain untuk membacanya, terutama kalangan militer.


Demikian
Salam,
halimun 85