21.9.18

KEMANDIRIAN INDUSTRI PERTAHANAN INDONESIA



Peningkatan Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia

Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Pertahanan negara diselenggarakan dan dipersiapkan secara dini oleh pemerintah melalui usaha membangun dan membina kemampuan nasional, salah satunya dengan memberdayakan industri pertahanan nasional.

Industri Pertahanan adalah industri nasional yang terdiri atas badan usaha milik negara dan badan usaha milik swasta baik secara sendiri maupun berkelompok yang ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia[1].

Idealnya industri pertahanan suatu negara mandiri, karena kemandirian merupakan manifestasi  kokohnya pertahanan dan keamanan negara  dan kemandirian industri pertahanan akan mendorong suatu bangsa tidak bersandar pada negara lain dalam rangka meningkatkan peralatan pertahanan dan keamanan. Hal ini sejalan dari tujuan didirikannya Industri Pertahanan Indonesia, yaitu mewujudkan kemandirian pemenuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan[2].

Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) 2017, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara pengimpor barang pertahanan terbesar dunia, yakni di peringkat 10. Impor senjata Indonesia meroket sebesar 193% antara periode 2008-2012 dan 2013-2017[3]. Padahal kemampuan industri dalam negeri kita sekarang ini sudah pada tingkat teknologi menengah. Artinya industri pertahanan kita sudah dapat membuat sendiri dan sudah digunakan oleh TNI[4]. Alutsista darat beberapa sudah bisa dipenuhi oleh PT. Pindad, PT. PAL dapat diandalkan untuk pembuatan kapal perang skala besar seperti class korvet dan kapal selam dan PT. Dirgantara Indonesia kini sedang mengembangkan joint production dengan Airbus Military untuk membangun pesawat angkut sedang CN 295.  Dengan demikian sudah pada tempatnya pemerintah untuk mendukung peningkatan kemandirian industri pertahanan nasional.

Anggaran memang menjadi salah satu faktor dominan dalam mendukung kemandirian industri pertahanan. Jika dilihat dari sisi APBN, jumlah anggaran pertahanan Indonesia beberapa tahun belakangan ini sesungguhnya mengalami kenaikan, sejalan dengan proyeksi yang pernah dibuat Jane’s Defence Budget bahwa anggaran pertahanan Indonesia akan naik dua kali lipat dari sekitar Rp50 triliun pada 2010 menjadi sekitar Rp100 triliun pada 2017[5] Namun dihadapkan dengan PDB anggaran pertahanan yang masih dibawah 1 % atau tepatnya 0,9 % dari PDB, tentunya keterbatasan ini berdampak pada pemenuhan kebutuhan dan pengembangan industri pertahanan. Pengalaman embargo alutsista dari negara asing harus dapat dijadikan pelajaran sebagai realitas yang harus dihadapi dan disikapi dalam membangun kemandirian industri pertahanan ditengah masih terbatasnya dukungan anggaran dari negara.

Mengantisipasi Keterbatasan Anggaran

Undang-Undang Industri Pertahanan pasal 59 menyatakan “Pemerintah menetapkan kerangka pembiayaan jangka panjang untuk Industri Pertahanan milik negara melalui APBN dan/atau instrumen pembiayaan lain”. Berdasarkan Undang-Undang tersebut jelas bahwa pembangunan pertahanan negara yang didalamnya termaksud Industri Pertahanan sangat bergantung pada besarnya anggaran pertahanan yang dialokasikan pemerintah.

Idealnya anggaran pertahanan suatu negara sebesar 2% produk domestik bruto (PDB) untuk membangun dan mengembangkan postur pertahanan yang kuat dan disegani oleh negara lain.  Keterbatasan anggaran saat ini menempatkan anggaran pertahanan Indonesia 0,9 dari PDB jauh dibawah negara tetangga seperti: Singapura (3,2%), Brunei Darussalam (3,7%), Myanmar (3,9%), Vietnam (2,3%), Thailand (1,6%), Malaysia (1,5%), dan Filipina (1,3%). Atau diibanding rasio APBN, anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,82%. Berdasarkan persentase terhadap PDB, maka idealnya anggaran pertahanan Indonesia minimum berkisar antara Rp. 150 200 triliun (1,5 2% dari PDB)[6].

Dengan demikian membangun Industri Pertahanan yang mandiri merupakan perjuangan yang berat dan penuh tantangan, namun demikian kita tidak boleh pesimis karena sudah ada komitmen dari pemerintah untuk terus meningkatkan anggaran pertahanan. Pemerintah akan mencari sumber-sumber pendapatan negara baru agar hal itu terlaksana. Paling lambat pada 2019, anggaran pertahanan ditargetkan mencapai 1,5 persen dari PDB[7].

Kemandirian industri pertahanan nasional dapat diukur dari beberapa sektor, yaitu: pertama, kapasitas negara untuk menguasai teknologi militer yang dibutuhkan untuk membuat sistern senjata. Industri pertahanan nasional diharapkan mampu mengikuti, mengembangkan dan menerapkan teknologi militer sesuai dengan trend perkembangan zaman, agar Indonesia tidak tertinggal dibandingkan negara lain, dalam hal ini dapat dilakukan dengan kerjasama dan transfer teknologi dengan negara mitra.

Kedua, kapasitas finansial nasional untuk membiayai produksi sistem senjata. Pembangunan postur pertahanan negara yang didukung industri pertahanan sejalan dengan kemampuan anggaran yang tersedia. Saat ini anggaran Kementerian Pertahanan sekitar 20 persennya dialokasikan untuk industri strategis dalam negeri. Diharapkan anggaran tersebut dapat dinaikkan hingga 40 persen untuk mendukung kemandirian industri pertahanan.

Ketiga, kapasitas industri nasional untuk memproduksi sistem senjata di dalam negeri. Kapasitas produksi nasional saat ini belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan alat peralatan pertahanan keamanan. Contoh 165 juta butir munisi pertahun yang diproduksi PT. Pindad belum mampu memenuhi sepertiga dari kebutuhan untuk militer dan non-militer. Idealnya PT. Pindad harus bisa memproduksi 600 juta munisi pertahun atau tiga sampai dengan empat kali produksi saat ini.

Model kemandirian industri pertahanan ini akan tercapai jika suatu negara mampu memiliki minimal 70 persen: kapasitas teknologi, finansial, dan produksi sistem senjata[8].

Peningkatan kemandirian industri pertahanan dilakukan dengan strategi pertama, merumuskan rencana strategis pertahanan jangka panjang, yang memuat target pemenuhan, cetak biru dan rencana pengadaan. Strategi kedua, membentuk komitmen politik anggaran jangka panjang untuk menjamin kesinambungan program pengembangan industri pertahanan. Strategi ketiga, melakukan konsolidasi industri pertahanan nasional dengan cara menetapkan dua konsorsium strategis: konsorsium industri penerbangan nasional serta konsorsium industri pertahanan dan maritim nasional yang keduanya merupakan rantai produksi persenjataan militer nasional yang melibatkan industri nasional lain, termasuk industri menengah-kecil[9].


[1] Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan, Pasal 1
[2] Materi Pokok Bidang Studi Pertahanan Keamanan, Lemhannas RI, 2018, hal. 56
[3] http://kabar24.bisnis.com/read/20180315/15/750240/pemerintah-berupaya-bangun-kemandirian-industri-pertahanan-nasional.  
[4] https://sjafriesjamsoeddin.id/industri-pertahanan-penopang-sistem-pertahanan-negara-part-2/
[5] Simly Karim, Masa Depan Industri Pertahanan Nasional, Harian Sindo, 28 Juni 2016
[6] https://www.merdeka.com/peristiwa/indonesia-dinilai-perlu-anggaran-lebih-besar-untuk-pertahanan.html
[7] Komitmen disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat dengar pendapat membahas anggaran pertahanan di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017, 13 Oktober 2016
[8] Andi Widjajanto, Kemandirian Industri Pertahanan, Harian Kompas, 26 April 2012
[9] Ibid