Peningkatan
Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia
Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan
melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap
bangsa dari segala ancaman. Pertahanan negara diselenggarakan dan
dipersiapkan secara dini oleh pemerintah melalui usaha membangun dan membina
kemampuan nasional, salah satunya dengan memberdayakan industri pertahanan
nasional.
Industri Pertahanan
adalah industri nasional yang terdiri atas badan usaha milik negara dan badan
usaha milik swasta baik secara sendiri maupun berkelompok yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan
pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis
di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia[1].
Idealnya industri pertahanan
suatu negara mandiri, karena kemandirian merupakan manifestasi kokohnya
pertahanan dan keamanan negara dan kemandirian
industri pertahanan akan mendorong suatu bangsa tidak bersandar pada negara
lain dalam rangka meningkatkan peralatan pertahanan dan keamanan. Hal ini sejalan dari tujuan didirikannya Industri Pertahanan Indonesia,
yaitu mewujudkan kemandirian pemenuhan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan[2].
Menurut laporan Stockholm International Peace Research
Institute (SIPRI) 2017, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara
pengimpor barang pertahanan terbesar dunia, yakni di peringkat 10. Impor senjata Indonesia meroket sebesar 193%
antara periode 2008-2012 dan 2013-2017[3]. Padahal kemampuan industri dalam negeri kita sekarang ini
sudah pada tingkat teknologi menengah. Artinya industri pertahanan kita sudah
dapat membuat sendiri dan sudah digunakan oleh TNI[4]. Alutsista darat beberapa sudah bisa
dipenuhi oleh PT. Pindad,
PT. PAL dapat diandalkan untuk pembuatan kapal
perang skala besar seperti class korvet dan kapal selam dan PT. Dirgantara Indonesia kini sedang
mengembangkan joint production dengan Airbus Military untuk
membangun pesawat angkut sedang CN 295. Dengan demikian sudah pada tempatnya
pemerintah untuk mendukung peningkatan kemandirian industri pertahanan
nasional.
Anggaran memang menjadi
salah satu faktor dominan dalam mendukung kemandirian industri pertahanan. Jika
dilihat dari sisi APBN, jumlah anggaran pertahanan Indonesia beberapa tahun
belakangan ini sesungguhnya mengalami kenaikan,
sejalan dengan proyeksi yang pernah dibuat Jane’s
Defence Budget bahwa anggaran pertahanan Indonesia akan naik dua kali lipat
dari sekitar Rp50 triliun pada 2010 menjadi sekitar Rp100 triliun pada 2017[5]. Namun dihadapkan dengan PDB anggaran pertahanan yang masih dibawah 1 %
atau tepatnya 0,9 % dari PDB, tentunya keterbatasan ini berdampak pada
pemenuhan kebutuhan dan pengembangan industri pertahanan. Pengalaman embargo
alutsista dari negara asing harus dapat dijadikan pelajaran sebagai realitas
yang harus dihadapi dan disikapi dalam membangun kemandirian industri pertahanan
ditengah masih terbatasnya dukungan anggaran dari negara.
Mengantisipasi Keterbatasan Anggaran
Undang-Undang Industri
Pertahanan pasal 59 menyatakan “Pemerintah
menetapkan kerangka pembiayaan jangka panjang untuk Industri Pertahanan milik
negara melalui APBN dan/atau instrumen pembiayaan lain”. Berdasarkan
Undang-Undang tersebut jelas bahwa pembangunan pertahanan negara yang
didalamnya termaksud Industri Pertahanan sangat bergantung pada besarnya
anggaran pertahanan yang dialokasikan pemerintah.
Idealnya
anggaran pertahanan suatu negara sebesar 2% produk domestik bruto (PDB) untuk membangun dan mengembangkan postur pertahanan yang kuat dan
disegani oleh negara lain. Keterbatasan
anggaran saat ini menempatkan anggaran pertahanan Indonesia 0,9 dari PDB jauh
dibawah negara tetangga seperti: Singapura (3,2%),
Brunei Darussalam (3,7%), Myanmar (3,9%), Vietnam (2,3%), Thailand (1,6%),
Malaysia (1,5%), dan Filipina (1,3%). Atau
diibanding rasio APBN, anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,82%. Berdasarkan
persentase terhadap PDB, maka idealnya anggaran pertahanan Indonesia minimum
berkisar antara Rp. 150 200 triliun (1,5 2% dari PDB)[6].
Dengan demikian membangun
Industri Pertahanan yang mandiri merupakan perjuangan yang berat dan penuh
tantangan, namun demikian kita tidak boleh pesimis karena sudah ada komitmen
dari pemerintah untuk terus meningkatkan anggaran pertahanan.
Pemerintah akan mencari sumber-sumber pendapatan negara baru agar hal itu
terlaksana. Paling lambat pada 2019, anggaran pertahanan ditargetkan mencapai
1,5 persen dari PDB[7].
Kemandirian industri
pertahanan nasional dapat diukur dari beberapa sektor, yaitu:
pertama, kapasitas
negara untuk menguasai teknologi militer yang dibutuhkan untuk membuat sistern
senjata. Industri pertahanan nasional diharapkan mampu
mengikuti, mengembangkan dan menerapkan teknologi militer sesuai dengan trend
perkembangan zaman, agar Indonesia tidak tertinggal dibandingkan negara lain,
dalam hal ini dapat dilakukan dengan kerjasama dan transfer teknologi dengan
negara mitra.
Kedua, kapasitas finansial nasional
untuk membiayai produksi sistem senjata. Pembangunan postur
pertahanan negara yang didukung industri pertahanan sejalan dengan kemampuan
anggaran yang tersedia. Saat ini anggaran Kementerian Pertahanan sekitar
20 persennya dialokasikan untuk industri strategis dalam negeri. Diharapkan
anggaran tersebut dapat dinaikkan hingga 40 persen untuk mendukung kemandirian
industri pertahanan.
Ketiga, kapasitas industri nasional untuk
memproduksi sistem senjata di dalam negeri. Kapasitas produksi nasional
saat ini belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan alat peralatan pertahanan
keamanan. Contoh 165 juta butir munisi
pertahun yang diproduksi PT. Pindad belum mampu memenuhi sepertiga dari kebutuhan untuk militer dan non-militer. Idealnya PT. Pindad harus bisa memproduksi 600 juta munisi pertahun
atau tiga sampai dengan empat kali produksi saat ini.
Model kemandirian industri pertahanan ini akan tercapai jika
suatu negara mampu memiliki minimal 70 persen: kapasitas teknologi, finansial,
dan produksi sistem senjata[8].
Peningkatan kemandirian
industri pertahanan dilakukan dengan strategi
pertama, merumuskan rencana strategis
pertahanan jangka panjang, yang memuat target pemenuhan, cetak biru dan
rencana pengadaan. Strategi
kedua, membentuk komitmen politik anggaran jangka panjang untuk menjamin
kesinambungan program pengembangan industri pertahanan. Strategi ketiga, melakukan konsolidasi industri pertahanan nasional
dengan cara menetapkan dua konsorsium strategis: konsorsium industri
penerbangan nasional serta konsorsium industri pertahanan dan maritim nasional yang keduanya merupakan rantai produksi persenjataan
militer nasional yang melibatkan industri nasional lain, termasuk industri
menengah-kecil[9].
[3]
http://kabar24.bisnis.com/read/20180315/15/750240/pemerintah-berupaya-bangun-kemandirian-industri-pertahanan-nasional.
[4]
https://sjafriesjamsoeddin.id/industri-pertahanan-penopang-sistem-pertahanan-negara-part-2/
[6]
https://www.merdeka.com/peristiwa/indonesia-dinilai-perlu-anggaran-lebih-besar-untuk-pertahanan.html.
[7] Komitmen disampaikan Menteri Keuangan
Sri Mulyani saat rapat dengar pendapat membahas anggaran pertahanan di
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017, 13 Oktober 2016