30.12.09

MENERAWANG DI BALIK BUKU MEMBONGKAR GURITA CIKEAS

Sensasi di akhir tahun 2009

Pernyataan Umum tentang hak hak asasi manusia
Pasal 19

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).





Membongkar Gurita Cikeas
Dibalik Kasus Bank Century
George Junus Aditjondro



Belum ada sepekan Soft Launching buku MEMBONGKAR GURITA CIKEAS, dibalik Kasus Bank Century yang ditulis oleh GJA, kontrovesi tentang buku tersebut sudah merebak dimana-mana.

Kontroversi makin menjadi jadi ibarat Api disiram bensin, ketika sebuah toko buku di Yogyakarta atas permintaan “seseorang” melalui telepon, buku MGC telah ditarik dari pasaran, buku MGC tidak lagi ditemukan, walaupun sempat terjual beberapa copy.

Pernyataan SBY yang tidak menginstruksikan penarikan buku MGC yang dilansir oleh berbagai media massa pun makin menjadikan seru pembahasan tentang MGC.

Benarkah SBY dan kalangan disekitarnya gerah dengan tingkah polah GJA ?
Apa sebenarnya yang dibahas oleh GJA sehingga bukunya menimbulkan kontroversi sedemikian rupa ?
Masih banyak lagi pertanyaan yang muncul seputar peluncuran buku MGC, namun kali ini tulisan ini tidak membahas pertanyaan – pertanyaan seperti itu, biarlah orang lain, entah itu para pakar ilmu komunikasi sosial, para politikus yang menjawabnya.

Lebih baik kita melangkah sedikit lebih kebelakang, berspekulasi sendiri, berandai-andai membayangkan ada apa dibelakang penulisan MGC.

Karena sifat tulisan ini, berandai-andai maka, dasar analisanyapun tidak perlu mendalam sekali, yang biasa saja, sedikit lebih santai tetapi cukup mempunyai kaitan dengan modus penulisan dan penerbitan buku tersebut. Semoga saja.

Hak asasi manusia telah mengatur dan melindungi tentang hak-hak dasar manusia, termasuk didalamnya adalah hak mengeluarkan pendapat seperti yang tercuplik pada bagian awal tulisan ini, yaitu pasal 19 dari Pernyataan Umum tentang hak hak asasi manusia, yang diratifikasi oleh berbagai negara di dunia termasuk oleh Indonesia sendiri.

Mengacu kepada pasal 19 tersebut, maka sebenarnya GJA mempunyai hak yang sepenuhnya untuk berpendapat dan menyampaikan pikirannya yang diimplementasikan dalam bentuk sebuah tulisan atau buku, namun kenapa kemudian haknya tersebut menimbulkan kontroversi, bahkan oleh sebagian kalangan yang disasar oleh tulisan tersebut, GJA sengaja menebarkan fitnah.

Terlepas dari hak asasi seseorang mengimplementasikan pendapat dan pikirannya dalam bentuk tulisan atau buku, maka buku yang ditulis oleh GJA tentunya mempunyai maksud-maksud tertentu, yang tentu saja hanya ia seorang dan Tuhan YME lah yang tahu.

Maksud-maksud tertentu itulah yang perlu dicermati, agar kita lebih waspada dan tidak ikut terjebak dalam polemik dan kontroversi yang timbul tanpa mengetahui benang merah apa yang merangkainya.

Dalam menghadapi suatu permasalahan, sering sekali orang bijak memberikan saran kepada agar, tidak terburu-buru berburuk sangka, berpikir positiflah agar persoalan atau masalah tidak bertambah menjadi keruh karenanya.

Bertolak dari saran orang bijak tersebut, maka mari kita tengok kenapa atau ada apa GJA menulis dan (sengaja) mempublikasikan bukunya, dengan melalui tahapan Soft Launching terlebih dahulu, bukannya langsung saja : tulis, cetak dan terbitkan saja.

Tinjauan dari segi berpikir secara positif :
bahwa GJA menulis bukut tersebut (MGC) pasti dengan maksud memberikan informasi tentang suatu "kebenaran". Keberanian menulis buku seperti itu pasti dilandasi dengan data dan fakta yang dianggap akurat, dapat dipercaya dan diyakini kebenarannya baik dari sisi norma maupun hukum formal yg berlaku. Dengan meyakini bahwa Ia “benar” atau berada dalam jalan yang benar, maka GJApun berani untuk berbantah bantahan disegala media, dari mulai diskusi, bedah buku, wawancara live di TV, debat publik terbuka dengan siapa saja termasuk langsung dengan SBY sampai dengan sidang pengadilan-pun siap dihadapi. Apapun sanggahan dari “penguasa” dan para pembelanya tidak akan mengendurkan dan mengundurkan niatnya untuk segera mempublikasikan secara luas buku MGC akhir desember ini. Ibarat kata pepatah "anjing menggonggong, the show must go on"


Tinjauan dari berpikir secara negatif :
bahwa GJA menulis buku tersebut (pasti) dengan maksud dan agenda tertentu, terlepas apakah ia menulis buku MGC berdasarkan keinginan sendiri atau atas "pesanan" orang lain, maka GJA sangat sadar dan siap dengan segala resiko yang akan dihadapi dan terima. GJA (seolah-olah) sudah siap pasang badan untuk berhadapan dan berperkara langsung maupun tidak langsung dengan "penguasa" yang sedang berkuasa saat ini.

Hal tersebut bisa jadi karena GJA sudah mempunyai jaminan atau penjamin yang akan menanggung yang bersangkutan dan keluarganya secara finansial untuk ongkos berperkara atau bahkan apabila sampai kalah berperkara. Bisa jadi GJA sudah mendapat masukan tentang resiko hukuman terberat yg akan ia terima (kalau tidak salah di republik ini, orang yang membuat buku yang bukan bersifat makar atau bersifat menghasut untuk makar, tidak pernah ada vonis hukuman sampai di vonis mati atau seumur hidup), jadi dengan adanya jaminan dan keyakinan tersebut, maka ya kenapa tidak, lanjutkan saja acara release bukunya.


Tinjauan dari segi nalar dan keberanian :
GJA tentu saja seseorang yang mempunyai nalar dan keberanian. Ia adalah seorang akedimisi lulusan sebuah Universitas luar negeri (walaupun bukan jaminan, namun paling tidak cara pikirnya seharusnya berdasarkan analisisa, bukannya pre-asumsi belaka).

Maka pada saat menulis buku MGC, tentunya nalarnya-pun dipakai untuk mempertimbangkan segala dampak dan resiko yang akan dihadapi. Nalarnyapun dipakai untuk menganalisa tentang benar tidaknya data-data yang dipakai untuk menulis sebuah buku, sudah cukupkah data-dat yang dipakai baik dari segi jumlah dan validitasnya yang akan saling mengait dan membenarkan, apalagi buku tersebut mengarah kepada seseorang.

Tentang keberanian, tidak usah diragukan lagi tentang kadar keberanian yang dimiliki oleh GJA, karena bukan kali pertama ini saja ia menulis, mengkritisi dan berhadapan langsung dengan pihak penguasa. Jaman Orde Baru yang begitu otoriterpun ia berani menulis Yayasan Yayasan yang dimiliki oleh keluarga Cendana, demikian pula dengan penguasa-penguasa berikutnya, jadi bisa dikatakan nalar dan keberaniannya sudah cukup untuk menjadi amunisi dan bahan tersendiri bagi GJA untuk berani menuangkan ide dan pikiran yang ada dikepalanya dalam bentuk tulisan yang sengaja dipublikasikan.


Tinjauan dari Filosofi Recycling :
Sebagian orang mengatakan tulisan GJA tidak lebih dari sekedar sampah belaka. Sampah sebagai sesuatu yang terbuang, bau dan menjijikan, ternyata masih ada gunanya juga setelah DIPILAH dan DIDAUR ULANG. Maka demikian pula halnya dengan tulisan GJA, tinggal kemana kita akan menempatkannya, apakah hanya sekedar sampah bau yang tidak berguna sama sekali, atau ada sesuatu yang bisa kita “pelajari dan gunakan”. Karenanya perlu sekali tulisan tersebut dipilah pilah dulu dengan pintar dan benar untuk kemudian digunakan sebagaimana keperluan atau sebagaimana mestinya.

Namun paling tidak dari dari buku tersebut kita bisa belajar bagaimana GJA menganalisa suatu data untuk kemudian bisa sampai menjadi suatu kesimpulan. Atau(kah) bisa jadi data yang disampaikan dapat dijadikan bahan pembanding dengan data yang lain.

Kalau ternyata ngawur dan tidak bersandar pada fakta, serta tulisan tersebut lebih bersifat (kumpulan) hipotesa daripada analisa data, maka dari tulisan tersebut akan menempatkan si penulis pada derajat dan kualitasnya yang sebenarnya.

Tinjauan segi jurus bisnis penjualan :
suatu barang dalam hal ini buku akan makin dicari dan dibeli apabila mampu menimbulkan kontroversi, entah itu kontroversi dari mulai proses penulisan, rencana publikasinya (soft launching) sampai dengan reaksi setelahnya. Inilah kemungkinan yang sekarang sedang dipakai oleh GJA dan Penerbitnya untuk dapat menempatkan bukunya sebagai Best Seller, yang artinya Cetak Ulang = Uang Mengalir.... ......... .

yang perlu dicermati dari strategi atau jurus penjualan ini adalah, setelah timbulnya kontroversi buku MGC, buku mulai sulit didapat dan hilang dari pasaran, siapa sebenarnya yang mengakibatkan buku tersebut hilang. Apakah pihak penguasa yang disasar oleh si penulis, atau bisa jadi memang sudah permainan dari sipenulis, penerbit dan toko buku, dengan membuat skenario tertentu dalam rangka meraup untung yang berlebih dari kontroversi yang (sengaja) ditimbulkan.

Kenapa dikatakan bisa jadi kesengajaan dari kolusi sipenulis, penerbit dan toko buku, hal tersebut kemungkinan besar tidak lepas dari uang lebih yang akan didapat oleh ketiga pihak tersebut. Bagi penerbit, dengan buku susah dicari atau menjadi Best Seller, maka menjadi alasan logis untuk mencetak ulang lagi lebih banyak buku tersebut, yang berarti adanya pemasukan lagi, bagi toko buku ada kesempatan untuk menjual dengan harga yang lebih tinggi buku tersebut dari harga resmi pasaran, terlebih-lebih bagi si penulis, ia akan mendapat keuntungan triple yaitu, ketenaran, iklan buku secara gratis dan yang terakhir pundi pundi yang semakin banyak saja.


Tinjauan dari segi Opini dan Kontra Opini :
bisa saja buku MGC sengaja ditulis dan direalese dalam rangka cipta kondisi tertentu di masyarakat, dengan harapan setelah buku ini diterbitkan akan muncul tulisan lain ( yang inilah yang sebenarnya yang paling dinanti dan diharapkan ). Tulisan yang bersifat bantahan atau pelurusan atau versi lain dari topik yang sedang dibahas tersebut. Si pencipta kondisi, berdalih bahwa bantahan harus bersifat buku pula, karena tulisan yang dibantah adalah dalam bentuk buku ilmiah yang berdasarkan data dan analisa.

Inilah kelemahan yang akan dibidik sebenarnya, karena tulisan tanggapan yang ditulis secara emosi akan memunculkan celah dan kesalahan (data-data) yang diinginkan si pencipta kondisi untuk kemudian di ekploitir menghantam balik sasaran yang dituju.

Mengapa dikatakan demikian, hal ini tidak terlepas dari sulitnya si penulis / si pencipta kondisi / si dalang untuk mendapatkan (dan mengakses) data-data tentang yayasan-yayasan yang dimaksud. Dengan adanya tulisan bantahan, maka data-data tersebut akan muncul dengan sendirinya, dan apabila data tersebut hanya disampaikan sebagian atau ada yang sengaja disembunyikan, inilah yang diminta untuk dibuka kepada publik dan diaudit.

Data yang disampaikan salah, akan dihantamkan kepada sasaran, dan apabila datanya benar namun ternyata dana yang dikelola cukup besar akan dijadikan pertanyaan darimana dan untuk apa dana tersebut ?, dan masih banyak lagi celah-celah lain yang akan digunakan untuk dijadikan sasaran bidik selanjutnya.

Ternyata cukup njlimet juga, kemungkinan latarbelakang penulisan dan penerbitan buku MGC ini, semoga ini bukannya pengalih perhatian dari hal besar lain yang sedang bergulir dimasyarakat.
Semoga saja.


Karenanya Yoo wis, tunggu lihat dan tunggu dengar sajalah kelanjutan dari epilog sensasi akhir tahun 2009 ini.

Ibarat sebuah buku, sensasi ini baru taraf Kata pengantar atau pendahuluan atau prolog dari si penulis dan tanggapan dari pihak lain yang diminta untuk mengomentari tulisan di buku, belum masuk pada bagian Bab Bab Isi dari buku itu sendiri.

salam,

28.12.09

PERSOALAN

Hidup di dunia tidak lepas dari persoalan
Selama nafas masih di badan, persoalan ta’kan pernah hilang

Berat ringan nya persoalan
tergantung dari
cara kita memandang
cara kita menjalaninya

Namun yang pasti persoalan itu pasti ada
Ia akan datang dan pergi bersama berlalunya waktu

Kadang kita berpikir,
persoalan itu datang mendera kita terus menerus
Persoalan itu tak kunjung henti
Tak kunjung selesai

Benarkah itu ?
Tidak juga ,

Karena sebenarnya,
Persoalan itu tak kunjung selesai
Tak kunjung jua tuntas,
karena kita tak bijak menyikapinya

Menghindar dari persoalan tidak akan pernah memecahkan permasalahan
Karena Ia hanya pergi sementara
Hilang sementara dari pikiran
Namun, ia tetap ada di hati
Mengendap dalam jiwa

Yang akan datang kembali
Mengganggu kala kita tenang
Atau, bahkan menambah kerisauan
Pada saat galau sedang melanda

Karenanya, hadapi persoalan
Beratnya persoalan
Belum tentu kita kalah karenanya
Walaupun belum tentu juga serta merta persoalan akan selesai

Namun, dengan berani menghadapi persoalan
Kita akan tahu dimana inti permasalahan yang kita hadapi
Dimana letak ketidak mampuan kita
Sehingga nantinya solusi dan pemecahan akan mudah dicari

Karena
Tidak mesti semua persoalan dapat kita pecahkan sendiri
Sudah tentu akan ada pertolongan dari orang lain

Berat bagi kita
Belum tentu berat bagi orang lain

Sulit bagi kita
Bisa jadi hal yang mudah dan sepele bagi orang lain

Karenanya bijaklah dalam menghadapi persoalan
Bijaklah dalam memandang persoalan
Yaitu, dengan menempatkan persoalan pada tempatnya

Dan kemudian
Pecahkan persoalan dengan menjadi orang yang kuat
Karena orang yang kuat paling tidak akan mampu menolong dirinya sendiri
Dan pada saatnya nanti akan mampu juga menolong orang lain

Bagaimana mungkin kita menjadi orang yang kuat
Kalau kita tidak pernah tahu menjadi orang yang lemah
Kalau kita tidak pernah menghadapi persoalan
Kalau kita tidak pernah memecahkan persoalan

Jadi hadapi persoalan
Dan jangan pernah menghindar darinya
Karena pada dasarnya
Persoalan adalah bagian dari hidup

26.12.09

JOURNEY TO EAST, part five (the end)


berakhir di
KENJERAN - SURABAYA



Penatnya perjalanan dari mulai Sumenep untuk kembali ke Surabaya sebelum kembali lagi ke Bandung, membawa langkah kaki ke Pantai Ria Kenjeran.

Pantai Ria Kenjeran saat ini sudah berkembang sangat pesat, salah satu penambahan yang mencolok mata adalah adanya Sanggar Agung, yaitu bangunan kelenteng sebagai tempat ibadah kaum Tionghoa.

Bangunan khas Cina ini berdiri megah ditepi pantai kenjeran, dengan warna khas-nya yaitu merah dan kuning ke-emasan yang dihiasi dengan tulisan Cina serta dilengkapi dengan nyala lilin raksasa serta bebauan hio yang terbakar.




















Dibelakang Kelenteng, berdiri membelakangi laut sebuah patung raksasa Dewi Kwan Im yang didampingi 2 muridnya, dikawal oleh 4 pengawal langit, yang berdiri diatas gerbang dua ekor naga, Dewi Kwan Im sendiri dipercaya oleh masyarakat Cina sebagai Dewi Kasih Sayang Pembawa Kemakmuran.


















Berada di seberang jalan Kelenteng Sanggar Agung, terdapat juga tempat persembahyangan penganut Kong Hu Cu, yaitu patung Budha Raksasa Berwajah Empat.



Four Faces Budha’s Statue adalah patung setinggi 9 meter berwarna emas yang dinaungi sebuah kubah setinggi 36 meter, dengan alas persegi, dengan panjang masing masing sisi 9 meter. Angka 9 merupakan angka yang memiliki makna di ajaran agama Budha.


Empat wajah Budha ini memiliki 4 makna, yaitu kesabaran, kebebasan, keadilan, dan ketenangan.

Empat pasang tangan kanan masing-masing memegang dada, cawan air suci, tongkat, piringan, kitab suci, senjata, dan tasbih.





















Di setiap sisi wajah Budha, berdiri 4 patung gajah berwarna putih yang berdiri pada bunga lotus, patung Ganesha, tempat meditasi, dan 3 kolam air bermotif bunga lotus.




















Sungguh tempat ibadah yang megah, sekaligus dapat dijadikan tempat kunjungan wisata pula.


Tamat.


JOURNEY TO EAST, part four

PANTAI LOMBANG

Jalan jalan ke
Sumenep, jangan pernah melewatkan Pantai Lombang, karena pantai inilah yang menjadi obyek wisata paling terkenal di Sumenep.



Kenapa disebut Pantai Lombang, karena Pantai Lombang terletak di Desa Lombang, Kecamatan Batang-batang, sekitar 30 kilometer arah selatan Kota Sumenep.



Dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari Kota Sumenep, perjalanan ke Pantai Lombang lumayan lancar melintasi jalanan beraspal yang bisa dilintasi dua kendaraan secara berselisihan. Di sepanjang perjalanan dari Sumenep menuju Lombang, mata kita akan dimanjakan oleh pemandangan gugusan gunung kapur dan tanah merah yang ditumbuhi pohon kelapa dan pohon siwalan.


Menjelang memasuki kawasan pantai, pemandangan berubah, sepanjang kiri dan kanan jalan mulai dipadati dengan tumbuhan Cemara Udang, yaitu tumbuhan khas Pantai Lombang. Cemara Udang dipercaya hanya tumbuh di dua tempat saja, yaitu di Indonesia dan China.


Bagi penduduk sekitar Pantai Lombang, Cemara Udang saat ini sudah menjadi komoditas tersendiri, karena dengan sentuhan dan rangkaian seni keterampilan tangan mereka, Pohon Cemara Udang dirangkai menjadi bentuk-bentuk mini yang indah dan menawan yang mempunyai nilai seni tinggi.


Pantai Lombang sendiri sebagai salah satu tujuan wisata memiliki hamparan pasir putih sepanjang 12 kilometer. Pantainya masih bersih dari sampah dan ditutupi oleh pasir putih yang tidak lengket, menjadikan pantai datar dengan ombak yang tidak terlalu besar ini cocok sekali digunakan berbagai kegiatan air, seperti : berenang, snorkling, ataupun sekedar bermain main dipinggir pantai.


Cemara Udang yang tumbuh subur sepanjang pantai, memberikan kesan teduh dan nyaman yang membuat semakin enak menikmati pemandangan pantai sambil berleha-leha diterpa tiupan angin pantai yang tidak begitu kencang.




Sebagai wisata pantai, sebenarnya Lombang tidak kalah dibandingkan dengan tempat wisata pantai lainnya yang ada di Pulau Jawa, karena Pantai Lombang masih alami dan mengandung potensi besar untuk dikembangkan menjadi salah satu tempat favorit wisata bagi turis lokal maupun mancanegara.



Namun, dengan masih adanya sengketa lahan seluas satu hektare antara penduduk dan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) setempat menjadikan obyek wisata ini terkesan terbengkalai tidak terurus dengan baik, hal ini terlihat dari ditutupnya jalan masuk ke Pantai Lombang dengan bambu dan duri.


Sungguh sayang, seharusnya dengan dibukanya Jembatan Suramadu jarak tempuh yang 3 jam dari Surabaya ke Sumenep akan terobati bila semua keindahan Lombang benar benar dapat dinikmati, dieksploitasi secara maksimal oleh Pemda.


bersambung..............

JOURNEY TO EAST, part three

SUMENEP

Selepas dari Kamal, kendaraan kembali melaju untuk melanjutkan perjalanan menuju Sumenep. Madura sebagai salah satu pulau terbesar di Propinsi Jawa Timur semenjak dibukanya Jembatan Suramadu yang menghubungkan kedua buah pulau tersebut mulai berbenah, hal ini nampak terlihat dari ramainya arus lalulintas yang kami temui sepanjang perjalanan menuju ujung timur Pulau Madura.

Dengan tujuan akhir kami adalah Kabupaten Sumenep, atau orang Madura lebih suka menyebutnya sebagai Sumenep saja, maka perjalanan sepanjang kurang lebih 170 km yang kami tempuh hampir dapat dikatakan perjalanan mengelilingi Pulau Madura.

Kenapa demikian ?, Ya Tentu saja, karena Sumenep berada paling ujung timur dari Madura, sehingga untuk dapat mencapai Sumenep, maka ke-3 kabupaten yang lainnya, yaitu Bangkalan, Sampang dan Pamekasan harus dilewati terlebih dahulu.



TAMAN ADIPURA SUMENEP

Setelah kurang lebih 3 jam perjalanan dari Kamal-Bangkalan, akhirnya menjelang siang sekitar pukul 12.00 tibalah kami di Sumenep. Sebagai sebuah kota kecil dengan luas wilayah 2.000 km2 ( dengan luas daratan 1.147 km2 dan kepulauan seluas 853 km2 ), Sumenep dapat dikatakan cukup asri dan bersih, hal ini terbukti pada tahun 2008 untuk ke-tiga kalinya Sumenep mendapat penghargaan Adipura dengan kategori Kota Terbersih dan Rindang, setelah sebelumnya pada tahun 1995 dan 2006 juga mendapatkan penghargaan yang sama.















Sebagai wujud penghargaan atas prestasi Penghargaan Adipura yang kedua, maka pada tahun 2006 Pemda Sumenep membangun Taman Adipura atau masyarakat Sumenep lebih sering menyebutnya Taman Bunga yang berada tepat ditengah-tengah kota. Yang lebih uniknya lagi, karena Sumenep merupakan sentra tanaman Cemara Udang, maka disetiap 30 m sepanjang jalan utama dihiasi dengan tanaman cemara udang di trotoarnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan Sumenep kota yang bersih dan asri.
























MASJID AGUNG SUMENEP

Tepat didepan Taman Adipura yaitu di sebelah barat, menjulang sebuah bangunan tua bercat putih dipadu warna kuning ke-emasan. Bangunan kokoh yang menghadap ke arah matahari terbit yang dihiasi gerbang besar dengan pintu kayunya yang kuno, adalah Masjid Agung Sumenep, yang dulu lebih dikenal dengan nama Masjid Jami’.


Masjid Agung Sumenep dibangun atas perintah Adipati Sumenep, Pangeran Aria Asirudin Natakusuma I alias Panembahan Somala (1762-1811 M) pada tahun 1198 H (1779 M).


Masjid Agung Sumenep memiliki ciri arsitektur yang menarik yaitu perpaduan antara budaya Arab, Persia, Eropa,Jawa, India, dan Cina. Dengan ornamen dan warna menyala kuning ke-emasan, makin menunjukkan kuatnya pengaruh Gujarat-Cina, hal ini tidak terlepas dari arsitek pembangunnya, yaitu Lauw Piango.



Sentuhan budaya Arab-Persia terlihat pada kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid, sedangkan sentuhan budaya Jawa terlihat pada corak bangunan bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi yang mengingatkan kita pada bentuk-bentuk khas candi Jawa.


Sedangkan adanya sentuhan kebudayaan Portugis, dipercaya sebagian orang dengan adanya pintu gerbang yang menyerupai gapura besar.


Masjid Agung Sumenep dengan usianya yang hampir mencapai 800 tahun tersebut dapat digolongkan sebagai salah satu dari sepuluh masjid tertua di Indonesia.

bersambung .................

LONTONG KUPANG

Jalan-jalan sambil berwisata ke daerah daerah di Indonesia, akan lebih lengkap kalau kita juga sekalian mencicipi kuliner khas daerah tersebut.

Demikian pula halnya dengan Surabaya, sebagai kota kedua terbesar di Indonesia yang terletak di bagian utara P. Jawa, Surabaya yang memiliki daerah pantai, juga memiliki kuliner khas daerah pantai, yaitu makanan khas yang berasal dari laut.

Salah satu kuliner khas daerah pesisir pantai Surabaya, yaitu Kupang atau biasa di sebut Lontong Kupang.

Bahan utama kuliner ini adalah Kupang yaitu sejenis hewan laut semacam kerang, yang bentuknya kecil sekitar 3-5 milimeter, dengan warna tubuh coklat agak pucat. Kupang apabila sudah dimasak terjadi perubahan pada bagian kepalanya yang akan berubah berwarna hitam.

Kupang sendiri sebagai hewan laut kerang sering disebut kerang putih atau Corbula Faba (Latin), dimana habitatnya di lumpur air asin.

Memakan Kupang akan lebih lengkap bila disertai dengan sate kerang, dimana sate kerangnya tidak dibakar, melainkan direbus terlebih dahulu.

Lontong Kupang yang disajikan dengan sate kerang kerap disantap dengan sambel yang terbuat dari petis udang yang dicampur dengan gula merah.

Bagi sebagian orang yang alergi terhadap makanan laut, khususnya kepada sejenis kerang-kerangan, jangan takut untuk tidak dapat mengkonsumsi kupang, karena ada obat penawarnya yang murah meriah dan gampang didapat, yaitu Es Kelapa Muda, maka jangan heran kalau kita makan lontong kupang, pasti akan ditawari Es Kelapa Muda sebagai penawar gatal-gatal, mual-mual, dan murus-murus alias sakit perut.

25.12.09

JOURNEY TO EAST, part two

Jembatan Suramadu

Suramadu,…. Wow akhirnya tercapai juga keinginan untuk dapat melihat langsung dan mengabadikan Jembatan Fenomenal yang menjadi Icon terbaru dari Surabaya dan Madura.



Setelah secara resmi dibuka oleh Presiden SBY pada 10 Juni 2009, keinginan untuk dapat melihat sendiri secara langsung Jembatan Suramadu sudah ada dihati, namun selama ini keinginan tersebut baru sebatas angan-angan semata, tentang bagaimana, seberapa jauh, berapa ongkos melintasi serta ketegangan kegiatan mencuri-curi untuk sekedar berpose dengan Suramadu sebagai background selama ini hanya kami dapat dari cerita orang lain yang pernah kesana.


Jum’at 18 Desember 2009, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharam 1431 H, sekitar jam 09.00 mobil yang kami tumpangi mulai memasuki jembatan sepanjang 5.438 m, setelah sebelumnya membayar ongkos tol sebesar Rp. 30.000,-


Perjalanan dari ujung jalan Kenjeran Surabaya menuju Kamal Bangkalan Madura diseberang yang normalnya ditempuh sekitar 5 menit tersebut, sengaja kami tempuh dengan perlahan-lahan, untuk dapat benar benar menikmati pengalaman pertama melintas di atas Jembatan Suramadu.


Jembatan Suramadu merupakan jembatan terpanjang di Indonesia, yang pada dasarnya merupakan gabungan dari tiga jenis jembatan dengan panjang keseluruhan sepanjang 5.438 meter dengan lebar kurang lebih 30 meter. Jembatan Suramadu terdiri dari tiga bagian yaitu jalan layang (causeway), jembatan penghubung (approach bridge), dan jembatan utama (main bridge) yang menyediakan empat lajur dua arah selebar 3,5 meter dengan dua lajur darurat selebar 2,75 meter. Jembatan ini juga menyediakan lajur khusus bagi pengendara sepeda motor disetiap sisi luar jembatan.




Menjelang dua tiang tinggi menjulang yang menjadi tanda pertengahan jembatan Suramadu, kami menghentikan kendaraan dan merapat di jalur cadangan, untuk sekedar dapat melihat secara langsung dan merasakan menginjakkan kaki di Suramadu.





Sebelumnya kami sempat membaca dan melihat di TV, pada awal-awal pembukaan Suramadu, banyak sekali para pengendara kendaraan baik roda dua dan roda empat yang melintas di Suramadu berhenti untuk sengaja berpose mengabadikan moment mereka diatas Suramadu.


Kemungkinan karena waktu itu, Jembatan Suramadu tergolong masih baru dan banyak sekali kendaraan yang melintas maka para pengendara yang sengaja berhenti dan mengambil foto diatas Suramadu di halau dan diperintahkan untuk kembali melanjutkan perjalanannya, karena tindakan berhenti dan mengambil foto tersebut dikhawatirkan membahayakan diri mereka dan berpotensi menimbulkan kemacetan lalulintas di atas Suramadu,……. Maklum barang baru, maka peminatnya pun bejibun.


Setelah hampir setahun berlalu, kesan barang baru Suramadu mungkin sudah mulai pupus, walaupun di awal pintu masuk dari Surabaya kami melihat masih ada mobil patroli polisi, namun ternyata kegiatan kami berhenti dan berpose mengabadikan diri dengan background Suramadu berjalan dengan mulus tanpa adanya halauan dari mereka, padahal kami berhenti lumayan lama.


Akhirnya sukses dan tercapai juga keinginan untuk berpose di Suramadu




Setelah puas mejeng di atas Suramadu, kami melanjutkan kembali perjalanan yang sempat tertunda,…. he.. he .. he .. walaupun penundaan tersebut karena kesengajaan kami sendiri, segera mobil meluncur kembali dan bergerak menuruni suramadu menuju ke ujung sebelah utara tanah Bangkalan.


Kalau dilihat dari jarak tempuh yang sangat singkat, karena panjang Suramadu Cuma sekitar 5,4 Km, maka biaya yang dikenakan sebesar Rp. 30.000,- mungkin bagi orang Jakarta yang biasa menempuh Jakarta – Bandung dengan jarak 150 km yang dikenakan ongkos kurang lebih Rp. 50.000,- tidaklah sepadan.


Tapi perlu diingat bahwa investasi yang ditanam untuk mewujudkan Suramadu pastinya lebih besar daripada investasi jalan tol di darat, belum lagi faktor kesulitan lainnya bahwa Suramadu dibangun melintasi laut, yang menghubungkan dua pulau yang selama ini terpisah dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai kedua buah pulau tersebut, maka rasanya impas juga biaya tol yang dikenakan untuk melintasi Jembatan Suramadu.

Bersambung ..................

JOURNEY TO EAST, part one

KA. Turangga St. Hall Bandung to St. Gubeng Surabaya


Bulan Desember bisa dikatakan sebagai bulan liburan, apalagi bulan Desember 2009 bisa dikatakan sebagai bulan penuh liburan, karena dari 31 hari yang ada terdapat 2 kali liburan Nasional dalam rangka memperingati Hari Besar Keagamaan, yaitu Tahun Baru Islam 1431 H dan Hari Raya Natal, dimana kedua hari besar tersebut kebetulan jatuhnya di hari Jum’at, sehingga menjepit hari Sabtu, dan biasanya liburan pun bisa dimulai lebih awal dari mulai hari kamis dan baru berakhir pada hari minggu.


Demikianlah yang dihadapi saat ini, Tahun Baru Islam 1431 H jatuh pada tanggal 18 Desember 2009, yang menyebabkan liburan dimulai dari Kamis Sore pada 17 Des dan baru berakhir pada hari Minggu, 20 Des, menjadikan minggu ke 3 Desember kita mempunyai Long Week End yang cukup panjang.


Sudah cukup lama tidak menikmati liburan dengan bepergian yang cukup jauh, sebenarnya untuk liburan kali ini, rencananya mau berlibur ke Aceh, namun setelah dipikir-pikir ongkos yang akan dikeluarkan akan cukup besar, mengingat waktu liburan yang sudah mendekati liburan Natal dan Tahun Baru, dimana hampir semua sarana angkutan memanfaatkan moment ini untuk menaikkan tarif, cukup wajar, karena hal tersebut sesuai dengan hukum Ekonomi, dimana pada saat demand meningkat, maka cost suatu barang/jasa akan ikut naik pula.


Akhirnya, diputuskan liburan kali ini, kita tetap liburan di tanah Jawa saja, dan mengarah ke arah timur. Kebetulan sekali bahwa ada teman satu angkatan yang berdinas di P. Madura, tepatnya di Kabupaten paling timur Pulau penghasil garam tersebut yaitu di Kabupaten Sumenep.


Setelah kontak ke teman yang berdinas di Sumenep dan yang bersangkutan bisa untuk dikunjungi, maka keputusan untuk berlibur ke Sumenep pun semakin mantap, sehingga rancangan liburan pun dimatangkan dengan browsing internet di dunia maya untuk mengetahui tempat wisata apa yang bisa dikunjungi di Sumenep.


Hari Kamis, 17 Desember 2009, dengan berbekal tiket Kereta Api Turangga jurusan Bandung – Surabaya yang seharga Rp. 270.000,- berangkatlah kami berdua dengan istri untuk mulai liburan ke Madura dan Surabaya, terutama mau melihat langsung Jembatan Suramadu, yang menjadi kebanggaan Provinsi Jawa Timur, khususnya penduduk Surabaya dan Madura, Jembatan yang diresmikan oleh Presiden SBY pada tahun 2008 ini sekarang telah menjadi ikon tersendiri bagi Surabaya dan Madura.


Liburan kali ini, sengaja hanya berdua saja dengan istri, tanpa membawa serta anak-anak, dengan pertimbangan bahwa, pertama hampir sebagian besar waktu liburan akan ditempuh dengan perjalanan darat yang cukup jauh, yang tentunya akan melelahkan bagi anak-anak dan yang kedua, faktor ongkos juga yang harus diperhitungkan apabila anak-anak semua harus ikut serta.


Sekitar jam 19.00 kereta Turangga mulai meninggalkan Stasiun Kota Bandung, dan perlahan bergerak ke arah timur membelah kegelapan malam menelusuri rel yang tersusun panjang sejauh 699 km, dengan rute Cipeundeuy, Tasikmalaya, Banjar, Kroya, Kutoarjo, Yogyakarta, Solo, Madiun, Jombang – Gubeng.




Gerbong Turangga yang saat ini kami naiki, sudah berubah jauh dengan gerbong Turangga yang pernah ku-naiki pada sekitar April 2008 yang lalu. Sekarang ini gerbong eksekutif Turangga jauh lebih baik, jauh lebih bersih dan lebih dingin dibandingkan yang lalu. Hal ini terlihat dari tempat duduk yang dilapisi dengan jok kulit, kaca jendela yang sudah mati, tidak dapat dibuka tutup lagi, dan yang paling menyolok perubahannya adalah adanya stop kontak tempat untuk men-charge perangkat lisrik dan lampu baca pada setiap tempat duduk yang diatur dua-dua bersebelahan kiri kanan dengan gang yang lumayan lebar.




Sebenarnya, sebelumnya kita sudah persiapan menghadapi dinginnya AC selama perjalanan dari Bandung ke Surabaya dengan membawa kaos kaki, agar kaki lebih hangat, namun ternyata AC di gerbong 6 KA Turangga entah kenapa terasa sangat dingin. Selidik punya selidik ternyata temperature yang terpampang di depan menunjukkan 19 derajat Celcius, pantas saja dingin yang ada di dalam gerbong terasa sangat menusuk, padahal kita sudah mengenakan jaket, kaos kaki dan ditambah balutan selimut yang dibagikan petugas kereta, ternyata semua perlengkapan tersebut belum cukup untuk menahan dinginnya suhu yang ada.




Untung sebelum berangkat, kita sudah makan terlebih dahulu di Hoka Hoka Bento yang ada di Stasiun Kota Bandung, karena ternyata sejak Agustus 2009, pihak Perumka tidak lagi menyediakan makan bagi penumpangnya, walaupun jarak yang ditempuh sangat jauh, menempuh waktu hampir 12 jam lebih dan harga tiket yang cukup mahal, sehingga temperatur yang dingin dan perjalanan yang panjang tidak membuat kita kelaparan.


Sebagai pengganti tidak disediakannya makan dan minum, pihak perumka memang menyediakan layanan makan dan minum bagi penumpangnya, yang sistimnya sudah siap saji, dan para pramuniaga KA bergerak menawarkan makanan dan minuman tersebut dari satu gerbong ke gerbong yang lain. Makanan yang ditawarkanpun cukup bervariasi, tapi berhubung dari awal memang sudah makan dan kitapun membawa bekal snack yang cukup, maka tawaran makanan dan minuman tersebut kami lewatkan saja.


Selama perjalanan, monitor flat TV yang ada di depan, menyajikan hiburan berupa lagu-lagu sebagai penghibur bagi para penumpang yang masih terjaga atau tidak bisa tidur selama perjalanan, menjelang jam 22.00 sajian lagu-lagu diganti dengan sajian film, namun berhubung kantuk sudah mulai datang, maka keinginan untuk menonton film pun memudar, kami lebih memilih untuk istirahat tidur, karena besok pagi, setelah sampai di Stasiun Gubeng, terbayang perjalanan panjang lagi dari Surabaya ke Sumenep, yang katanya menempuh waktu kira-kira 3 jam perjalanan darat.


Menjelang pagi sekitar jam 05.00 saat kereta mulai memasuki Madiun, kami terbangun, karena sentakan kereta yang cukup keras dan kereta berhenti cukup lama yang disertai adanya teriakan para penjaja makanan yang mengambil kesempatan untuk menjajakan makanannya.


Akhirnya mau tidak mau rasa kantukpun hilang berganti dengan rasa lapar yang mulai datang, melihat bahwa Surabaya sebagai tujuan akhir masih cukup jauh, maka sebagai pengganjal sementara rasa lapar, nasi pecel dan peyek lah yang menjadi pilihan sebagai sarapan pagi.


Nasi pecel yang ditawarkan masih hangat dan harganyapun cukup murah meriah, satu bungkusnya dihargai Rp. 6000,- dan peyek sebungkusnya Rp. 2000,-. Tapi kalau soal rasa jangan diharap, manalah mungkin dengan harga segitu dan jajanan yang disajikan secara keliling tersebut memenuhi kategori nikmat, tapi tak apalah, yang penting perut terganjal sementara dan jangan sampai masuk angin sebelum sampai tujuan.


Ternyata KA Turangga tidak bisa menepati jadwal waktu yang tertera di ticket kereta, sesuai dengan buku panduan yang ada di majalah kereta api dan tikcket kereta, bahwa KA Turangga akan sampai di Gubeng Surabaya pada jam 07.18, namun pada saat memasuki Mojokerto jam sudah menunjukkan pukul 07.00.


Sekitar jam 08.00 lewat KA Turangga mulai perlahan memasuki kota Surabaya, kesibukan kota Surabaya walaupun masih pagi sudah terlihat dari lalulalang kendaraan yang terlihat sepanjang jalan yang dilintasi oleh KA Turangga, rupanya benar adanya bahwa Surabaya adalah kota terbesar ke dua di Indonesia setelah Jakarta, kesibukan kota Surabaya walaupun hari Jum’at masih sangat pagi, namun denyut perekonomiannya sudah nyata terlihat, hampir disetiap palang pelintasan KA, terlihat tumpukan kendaraan yang sudah mulai memadat.


KA Turangga jurusan Bandung-Surabaya memasuki Stasiun Gubeng Surabaya sekitar jam 08.15, telat sekitar satu jam dari waktu yang tertera di ticket kereta. Namun hal ini tak mengapa, yang penting bagi kami bahwa, perjalanan darat kami lancar, tidak mengalami gangguan dan kami bisa sampai selamat di Gubeng tanpa kekurangan suatu apapun.


Stasiun Gubeng sebagai pemberhentian terakhir KA Turangga pagi itupun sudah mulai ramai,…….. lanjutkan kalo ada cerita tentang Gubeng. Stasiun Gubeng Surabaya adalah Stasiun KA yang terletak di daerah Gubeng - Surabaya, Jawa Timur dan berada dibawah naungan PT Kereta Api Persero Daerah Operasi VIII. Stasiun KA Gubeng merupakan Stasiun KA terbesar di Surabaya.



Mobil jemputan kami, rupanya sudah sekitar satu jam yang lalu menunggu di stasiun, namun kami tidak segera keluar dari stasiun, terlebih dahulu kami mencari toilet untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi, untuk mandi, sepertinya bisa kami tunda dulu, nanti saja sekalian setelah sampai di Sumenep.


Setelah memasukkan semua barang bawaan kami, yang sebenarnya sangat ringkas, yaitu hanya 2 buah ransel backpack dan satu buah tas jinjing ke dalam mobil Toyota Avanza yang sudah menunggu diluar stasiun, kami menyempatkan diri dulu untuk mengambil foto di depan Stasiun Gubeng, yah…. Paling tidak sebagai bukti bahwa benar kami telah pernah menginjakkan kaki di Gubeng Surabaya.



Sekitar jam 08.40 mulailah mobil meninggalkan Stasiun Gubeng dan bergerak menuju ke arah Jembatan Suramadu untuk melanjutkan perjalanan panjang kami yang belum juga sampai di tujuan akhir yaitu Sumenep, kabupaten paling ujung timur dari Pulau Madura, pulau penghasil garam yang terkenal dengan Karapan Sapi dan satenya.


Bersambung……………………..