7.6.09

PERNAK PERNIK HUKUM DIBALIK KASUS PRITA



ignorantio iuris non excusat .. ketidaktahuan hukum bukan jadi alasan pemaaf


Mata sang dewi keadilan memang tertutup

tapi bukan berarti hukum itu buta




Siapa yang salah sampai Prita dapat ditahan selama 3 minggu di Lapas Wanita Tanggerang hanya karena menulis pengalaman pribadinya di dunia maya.


Jaksa…..?

DPR dan Pemerintah (pembuat UU) ….?


Kasus Prita Mulyasari berawal dari pengalaman pribadinya berobat di RS Omni Internasional. Semula ia divonis terjangkit demam berdarah sehingga mesti rawat inap. Belakangan dokter menyatakan Prita terkena virus udara. Merasa dirugikan dan komplainnya tidak ditanggapi secara profesional, Prita menuliskan pengalamannya melalui e-mail pada 15 Agustus 2008 di milist pribadi kepada teman-teman dekat, namun entah bagaimana email tersebut dapat tersebar luas di dunia maya.


Pihak rumah sakit menjawab keluhan lewat mailing list dan dua koran nasional. RS Omni Internasional merasa dicemarkan nama baiknya… Prita dilaporkan ke pihak polisi … proses hukum..dan buntutnya Prita di tahan selama 22 hari di Lapas Wanita Tanggerang oleh Kejaksaan Negeri Tanggerang. Penahanan Prita ibu dari 2 (dua) anak balita inilah yang mengundang kontroversial publik. Salahkah Prita Mulyasari yang berkeluh kesah tentang pengalaman pribadinya di dunia maya sehingga harus dijerat dengan tuntutan hukum paling lama 6 tahun.


Apa keunikan dari kasus ini ?


Betul, kasus ini mempunyai keunikan tersendiri, yaitu, adanya persepsi yang berbeda dari dua instansi penegak hukum di republik ini dalam memandang suatu kasus.


Pihak Mabes Polri sebagai pihak yang menerima pengaduan RS Omni Internasional, melakukan penyidikan awal dan menetapkan Prita bersalah melanggar pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik. Dalam hal ini pihak Polisi tidak menahan Prita dengan alasan kemanusiaan bahwa Prita adalah ibu dari 2 (dua) balita yang masih membutuhkan kehadirannya.


Pihak Kejaksaan, dalam hal ini Kejaksaan Tinggi Banten dan Kejaksaan Negeri Tanggerang mendapat pelimpahan berkas dari Mabes Polri dan memproses lanjut kasus untuk dapat di sidangkan di pengadilan. Dalam proses lanjut inilah pihak Kejaksaan menambahkan tuntutan dengan pasal 27 ayat 3 UU no 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang ancaman maksimalnya 6 tahun penjara. Karena ancaman 6 tahun tersebut maka Jaksa Penuntut Umum merasa bisa menahan Prita dan menjebloskannya ke dalam Lapas sambil menunggu proses pengadilan.


Inilah keunikan sekaligus kontrovesial kasus Prita Mulyasari.


Penahanan oleh JPU inilah kemudian yang menimbulkan gelombang simpati terhadap Prita, bukan hanya dari kalangan masyarakat jelata, bahkan kasus ini menarik perhatian para Capres dan Cawapres kontestan pemilu mendatang.


Simpati bertebaran bukan hanya di media massa, bahkan dukungan penuh terhadap Prita didapat dari kalangan praktisi dunia maya dari mulai para pengguna FB, Milist sampai dengan Blogger. Dari gelombang simpati inilah kemudian menghasilkan perubahan status tahanan Prita dari semula tahanan penjara menjadi tahanan kota sambil menjalani proses pengadilan.


Kenapa perbedaan persepsi sampai terjadi ?


Sebelum membahas hal ini alangkah baiknya kita mengetahui pernak pernik sekitar hukum di Indonesia.


Hukum sebagai aturan positif yang mengikat dibuat oleh aparatur negara dalam rangka mengatur dan membatasi sikap dan perilaku warga negara (dan juga aparatur pelaksananya) dalam menjalankan aktivitas sehari-hari agar tidak merugikan pihak lain, baik pribadi, instansi maupun negara. Karenanya dalam masalah yang berkaitan dengan hukum perlu dipahami sebagai satu kesatuan sistem.


Dalam kasus Prita terdapat juga adanya satu kesatuan sistem hukum, yaitu dimulai dari DPR dan Pemeritah selaku pembuat hukum, Polisi sebagai instansi yang berwenang melakukan penyidikan pelanggaran hukum, Kejaksaan sebagai instansi yang berwenang memproses apakah kasus layak untuk disidangkan atau tidak dan terakhir adalah Pengadilan dalam hal ini Hakim, Jaksa dan Pengacara yang berperan sampai keluarnya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.


Sebagai fakta dalam kasus ini adalah

1. Adanya terdakwa, yaitu Prita Mulyasari
2. Adanya pihak yang dirugikan (pelapor), yaitu RS Omni Internasional
3. Adanya perangkat penegakan hukum, yaitu polisi dan jaksa
4. Adanya peradilan, yaitu PN Tanggerang
5. Ada perbuatan yang menjadi objek proses pengadilan, yaitu pencemaran nama baik dan pelanggaran terhadap UU ITE.

Kembang atau bumbu dari kasus terkait adalah
1. Pernyataan atau tanggapan para Capres dan Cawapres
2. Rasa keadilan masyarakat yang tercermin dalam sitiran media massa, FB, Blogger, dll.


Karena adanya bumbu (politis) dalam kasus ini, maka membahas kasus ini harus terbebas dari segala prasangka (buruk), sentimen pribadi, perasaan emosional dan kecenderungan pilihan politik yang bukan pada tempatnya.


Hukum yang kita kenal selalu dilambangkan dengan Dewi Keadilan yang matanya ditutup. Dan adanya "equality before the law" atau semua warga sama kedudukannya di depan hukum, apakah dia ketua KPK atau seorang ibu yang menyusui, jika ia melanggar maka tuntutan hukum yang akan dikenakan akan sama, yang membedakan hanyalah perlakuan tersangka atas kasus hukum yang sedang dihadapinya.


Disamping itu dalam dunia hukum dikenal adanya istilah Teori Fiksi Hukum, yaitu semua orang dianggap sudah mengerti dan mengetahui hukum. Hal inilah yang dikenakan oleh JPU terhadap Prita, yaitu adanya penambahan tuntutan selain pencemaran nama baik juga dikenakan tuntutan pelanggaran UU ITE, walaupun UU tersebut umurnya juga baru seumur jagung (disahkan akhir Maret 2008, kasus Prita pada bulan Agustus 2008), dalam artian belum semua orang baik kalangan terdidik maupun kalangan awam, mengerti dan memahami tentang UU tersebut.


Terkait dengan Teori Fiksi Hukum, adalah benar adanya apabila ada pihak tertentu yang berkelit tentang bagaimana mungkin masyarakat awam (seperti Prita) memahami hukum (aturan) yang bahasanya notobene njlimet dan memusingkan tersebut.


Inilah yang dimaksud dengan satu kesatuan hukum yang telah dibahas sebelumnya. Bahwa fiksi hukum tersebut bagian dari proses penegakan hukum, makanya ada yang disebut BAP (hasil penyelidikan dan penyidikan), penuntutan, pengadilan dst.


Jika tidak diketemukan adanya kesalahan maka terjadi pembebasan, gugatan balik, tuntutan balik, rehabilitasi dsb. Karena Hukum itu sebagai suatu sistem maka hukum harus dilengkapi dengan infrastruktur yang mendukungnya.


Kemudian bagaimana dengan khalayak yang awam tentang hukum. Disinilah perlu adanya kesadaran pelaku kegiatan akan resiko dari pekerjaan atau kegiatan yang dilakukannya. Ketika seseorang melakukan kegiatan yang bersentuhan dengan dunia elektronika (internet, dsb) adalah menjadi kewajiban yang bersangkutan untuk harus mau mempelajari, menguasai dan mematuhi aturan yang terkait dengan kegiatan yang ia lakukan.


Hal ini sama kaitannya ketika seseorang akan menggunakan jalan raya dengan menggunakan kendaraan bermotor. Sebagai konsekuensinya orang tersebut harus mengerti dan paham aturan berlalulintas.


Hukum dalam penegakannya terkesan kaku, tidak pandang bulu dan berorientasi hanya pada 2 (dua) hal, yaitu kepastian dan keadilan. Kaum positivist akan mengutamakan kepastian (biasa dianut oleh polisi dan jaksa). Sedangkan tugas hakim menimbang untuk memutuskan yang seadil-adilnya.


Di sisi lain, juga sudah menjadi tugas pembentuk hukum dan penegak hukum untuk memahamkan dan menerapkan hukum secara tepat. Disinilah peran sosialiasi menjadi hal yang paling penting dan dominan. Keberadaan suatu produk hukum setelah disahkan harus diyakini betul dapat dimengerti dan dipahami oleh semua khalayak. Namun di negeri kita sosialisasi produk hukum belum ditempatkan pada porsi yang dominan, alasan dana dan anggaranlah yang berkali-kali menjadi kendala dan penghambatnya.

Alangkah klasiknya.


Jadi soal fiksi hukum sendiri, memang sudah pastinya menjadi pegangan aparat dalam melaksanakan proses hukum. Tanpa itu, semua kriminal akan mengaku khilaf dan awam. Memang tidak semua orang akan mampu menguasai semua produk hukum yang berlaku, biasanya orang (mulai) mengerti akan (produk) hukum pada saat bermasalah atau terkena kasus, mengatasi kekurangan tersebut, itulah gunanya proses peradilan.


Inilah realita hukum yang harus kita hadapi. Kita sudah berkomitmen bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka sebagai konsekuensi logisnya kita harus menerima bahwa hukumlah yang dianut dan dijadikan penjuru dalam penyelesaian suatu masalah.


Demikian halnya dengan Teori Fiksi hukum yang berkenaan dengan UU ITE, apakah kita atau Prita mengetahui hal ini. Wallahualam.


Namun keberadaan UU ITE sendiri bukannya tidak mengundang perdebatan hukum, ternyata banyak sekali praktisi hukum dan kalangan pengguna media elektronik yang tidak sepaham dengan UU ITE.


Kenyataannya UU ITE sendiri begitu di undangkan sudah mendapat tanggpan untuk dilaksanakan Uji Materiil. UU ITE memberi ketidakpastian hukum karena dibahas terlalu singkat oleh DPR. Bagaimana bisa menjadi payung hukum ? demikian pendapat Rudi Rusdiah di Majelis Konstitusi (12/2/2009).


Lebih lanjut Rudi yang adalah salah satu personel yang terlibat dalam Pokja tim draft UU ITE menjelaskan, dalam pasal 27 ayat 3, yang merupakan pasal yang diuji materiil, cakupan penghinaan dan nama baik yang disebutkan di pasal itu subtansinya tidak jelas dan tidak detail. (berita lengkapnya lihat di http://www.detikinet.com/read/2009/02/12/144444/1083936/399/saksi-ahli-batalkan-uu-ite).

Ternyata kekhawatiran Rudi betul, bulan Februari 2009 digugat, bulan Mei 2009 UU ITE dijadikan JPU untuk menahan Prita kedalam penjara.


BISAKAH JAKSA MENAMBAH TUNTUTAN DAN MENAHAN TERSANGKA


Dalam kasusnya Prita, oleh pihak penyidik Polisi dikenakan pasal 310 dan 311 KUHP. Oleh Jaksa dikenakan tambahan pasal 27 ayat 3 UU Nomer 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi sebagai berikut Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan / atau pencemaran nama baik, dapat dikenakan sanksi hukum

Ancaman hukumannya terdapat dalam pasal 42 ayat (1) sebagai berikut : Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat ( 1), ayat (2) , ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan / atau denda paling
banyak Rp1.000. 000.000,00 (satu miliar rupiah)
.


Kembali kepada perbedaan persepsi tentang perlu tidaknya Prita ditahan dan penambahan tuntutan oleh Jaksa.


Pada dasarnya Jaksa dapat mengubah atau menambah tuntutan pasal yang diajukan penyidik Polri. Hal tersebut selaras dengan Buku Hukum Acara Pidana Indonesia (DR. Andi Hamzah, SH Penerbit CV. Sapta Arta Jaya, Jakarta halaman 163 dan halaman 173) yang menyebutkan


- Pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dengan mencantumkan pasal undang-undang pidana yang menjadi dasarnya, tidak mengikat Penuntut Umum untuk mengikutinya. Mengacu pada pendapat tersebut maka Penuntut Umum dapat mengubah pasal Undang-undang yang disebut oleh polisi itu untuk menyesuaikan dakwaan dengan fakta- fakta dan data serta menyusun dakwaan baru berdasarkan rumusan delik tersebut.


- Penuntut Umum berwenang mengubah pasal dengan pasal yang lebih sesuai karena dialah yang bertanggung- jawab atas kebijakan penuntutan. Maka Penuntut Umum Dominus Litis dalam hal penuntutan, bebas untuk menetapkan peraturan pidana mana yang akan didakwakan dan mana yang tidak.


Dari pendapat ahli tersebut Jaksa mempunyai kewenangan untuk menentukan penerapan pasal yang tepat dalam suatu dakwaan sesuai dengan fakta yang ada dalam berkas perkara.

Kemudian yang berkaitan dengan penahanan tersangka. Didalam KUHAP, dijelaskan bahwa penahanan bukan merupakan suatu keharusan (bunyinya "...tersangka DAPAT dilakukan penahanan", jadi bukan HARUS)


Jadi dalam hal tersangka dikenakan penahanan dalam proses pengadilan adalah murni menjadi keputusan penyidik/jaksa/ hakim dengan berdasarkan alasan obyektif dan subyektif.


Yang dimaksud dengan alasan obyektif disini adalah penahanan dilakukan terhadap tersangka tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun keatas atau yang tercantum secara limitatif .


Sedangkan yang dimaksud alasan subyektif sesuai dengan pasal 21KUHAP, adalah bila ada kekhawatiran tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.


Kita ketahui bersama bahwa dalam produk hukum banyak mengandung celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh praktisi hukum, baik oleh Jaksa untuk menjerat tersangka ataupun Pengacara dalam rangka membebaskan clientnya. Maka produk hukum yang sebaik apapun akan kembali pada manusianya.


Dalam kasus Prita, alasan subyektif dipertanyakan sehingga merebak kecurigaan bahwa ada latar "belakang lain" dalam keputusan penahanan Jaksa.


Namun secara hukum ancaman hukuman Prita ( 6 tahun ) memenuhi persyaratan penahanan, karenanya tidak boleh dipersalahkan pejabat yang menahannya.


Namun adanya kata "dapat" dalam rumusan pasal ditambah alasan hukumnya yang demikian menjadi rentan "diselewengkan" manakala ada kasus yang memenuhi persyaratan obyektif sehingga persyaratan subyektifnya tergantung kepada "subyektifitas" penyidik/jaksa/ hakim. ( dalam kasus ini 5 orang Jaksa sedang menjalani pemeriksaan dari Kejagung )


Lain pendapat hukum, lain lagi pendapat masyarakat umum, khalayak melihat adanya ketidak adilan dan perbedaan perlakuan antara Kepolisian dan Kejaksaan. Bagi masyarakat umum tindakan Jaksa dianggap berlebihan, sedangkan kalau mengacu kepada hukum yang berlaku, tindakan jaksa melakukan penahanan tidak bisa disalahkan, karena UU memang memungkinkan hal itu dilakukan. Rasa keadilan dengan pertimbangan kemanusiaan itulah yang dituntut khalayak.


Semoga saja, sambil kasus ini bergulir, akan segera terungkap apakah ada motif lain dari keputusan Jaksa memenjarakan Prita.


LEGALITAS PRODUK HUKUM


Persoalan lain yang perlu di tinjau dan dikaji dalam kasus Prita ini adalah produk hukum itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan peran DPR dan Pemerintah sebagai penyusun dan pengesah UU. Suatu produk hukum akan mempunyai legalitas yang kuat apabila proses penyusunannya melibatkan praktisi yang netral, mengerti betul dan membidangi masalah tersebut serta mempunyai visi kedepan yang membangun.


Dan yang paling penting dalam proses penyusunan suatu UU bukan karena adanya pesanan tertentu dari suatu pribadi atau badan tertentu.


Hal lain yang perlu diperhatikan : apakah dalam penyusunan UU ITE sudah memenuhi ketentuan UU 10/2004 tentang pembentukan UU, yaitu dari mulai penyusunan naskah akademik, pembahasan interdepartemen, masukan masyarakat, pembahasan komprehensif di DPR , pengesahan oleh DPR sampai dengan sosialisasinya.


Sosialisasi menjadi penting karena harus dapat menjawab sejauh mana para aparat penegak hukum memahami UU ITE dan sudahkah mereka mendapat training (khusus) yang cukup berkaitan dengan pemahaman UU ITE.


Hal inilah yang perlu ditelusuri kembali lebih lanjut, agar masyarakat awam mengetahui kelayakan dan legalitas UU ITE untuk dipergunakan menjerat seseorang ( seperti layaknya Prita, apakah kasusnya sudah pantas untuk dikenakan UU ITE ).


Inilah persoalan sekaligus dilema dalam penegakan hukum. Disatu sisi kita percaya bahwa UU yang disahkan melalui DPR sudah melalui pertimbangan dan kajian yang komprehensif, namun disisi lain begitu UU tersebut diberlakukan dan menjerat seseorang atas nama hukum, sebagian masyarakat tidak bisa / belum bisa menerima konsekuensi dari produk hukum tersebut. Pola pikir masyarakat belum bisa mengimbangi pola pikir pembuat UU. Apabila hal ini terjadi, dapat dikatakan telah terjadi kesalahan sistemik.


HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN, DOKTER DAN RUMAH SAKIT


Hal lain yang perlu mendapat pembenahan di negeri ini berkaitan dengan kasus Prita adalah kejelasan antara hak dan kewajiban antara pasien, dokter dan rumah sakit. Mencuatnya kasus Prita ini perlu mendapat perhatian lebih dari para praktisi kedokteran, karena antara pembelaan dan dukungan terhadap Prita jauh lebih besar daripada dukungan kepada RS Omni Internasional, hal ini menimbulkan tanda tanya besar, ada apa dengan praktik kedokteran di negeri ini, dan sejauhmana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit serta sudahkah para dokter menempatkan pasiennya ke dalam hubungan kesetaraan.


Selama ini terlihat adanya pola hubungan tidak seimbang antara pasien dan dokter, pola tersebut menempatkan dokter pada posisi yang lebih kuat dan dominan daripada pasiennya. Seolah sudah menjadi paradigma bagi para dokter bahwa pasien harus tunduk, menurut kata dokter, dan tidak boleh mengajukan banyak pertanyaan.


Hal ini kemungkinan terjadi karena pemahaman bahwa pasien sebenarnya mempunyai hak, tidak diperoleh para dokter ketika dalam masa pendidikannya, sehingga dokter akan merasa aneh jika dalam praktiknya ada pasien yang menanyakan berbagai macam hal yang berkenaan dengan penyakitnya.


Namun, kini ketentuan bahwa pasien punya hak sudah dikukuhkan dalam UU, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam Pasal 52 disebutkan ada lima hak pasien, yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis. (Kartono Mohamad, Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter)


Hal ini yang perlu disadari dan dilaksanakan oleh para dokter dan Rumah Sakit agar kedepan tidak terjadi lagi komplain pasien yang tidak ditanggapi secara profesional karena ternyata pasien juga mempunyai hak terhadap dokter dan rumah sakit terlepas dari apakah si pasien berobat secara gratis / dengan jaminan ansuransi / tanggungan perusahaan apalagi kalau berobat dengan biaya pribadi.


Kasus Prita masih bergulir, dan besar harapan kita semua bahwa kasus ini akan mendapatkan putusan yang seadil-adilnya dengan tetap memperhatikan rasa keadilan yang bernormakan hukum diatas segalanya, bukan hanya karena adanya unsur tekanan (politis) dari pihak manapun. Dan apabila ada unsur penyalah gunaan wewenang jabatan, agar pejabat terkait mendapat hukuman yang setimpal.


Belajar dari kasus Prita, maka sudah selayaknya kalau kita harus mulai memperhatikan pendidikan dan pengetahuan hukum yang memadai di mulai sejak dini, seiring dengan pendidikan agama. Karena pengetahuan tentang hukum bukan lagi menjadi urusan Polisi, Jaksa dan Pengacara saja, tetapi sejatinya dengan pengetahuan hukum-lah yang akan senantiasa mengingatkan kita dimana batas antara hak dan kewajiban kita sebagai manusia, individu maupun warga suatu kelompok masyarakat, bangsa dan negara.



salam,

disarikan dan dirangkum dari diskusi anggota milist 90

akabri_90@yahoogroups.com


2 komentar:

  1. memang harus jadi perhatian semua pihak
    jangan sampai nantinya masih terjadi PRITA PRITA yang lain

    BalasHapus
  2. Pemberitaan memang harus obyektif.. sisi hukum harus di kedepankan jangan hanya perasaan saja, tetapi jangan juga hukum dipermaikan

    BalasHapus

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda