23.7.18

PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA MENGHADAPI ERA REVOLUSI INDUSTRI KE-4




            Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia

Sumber Daya Manusia merupakan penentu yang sangat penting bagi keefektifan berjalannya kegiatan di dalam organisasi, sedemikian pentingnya peran SDM maka kualitas SDM harus senantiasa dijaga, dipelihara, bahkan ditingkatkan demi tercapainya tujuan dari organisasi. Menurut Sonny Sumarsono “SDM adalah menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja dalam suatu proses produksi[1]. Dengan demikian mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai kegiatan ekonomis, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan atau masyarakat.

SDM sangat erat hubungannya dengan tenaga kerja, dimana tenaga kerja adalah seluruh penduduk yang dianggap mempunyai potensi untuk bekerja secara produktif[2]. Kualitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan. Berkaitan dengan latihan, peningkatan kualitas tenaga kerja dilakukan melalui Balai Latihan Ketenagakerjaan (BLK).  Berdasarkan data tahun 2017 ada 301 BLK yang tersebar di seluruh Indonesi. Sebanyak 17 BLK merupakan milik pemerintah pusat atau disebut BLK Unit Pelaksanaan Teknis Pusat (UPTP). Selebihnya adalah milik Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota atau dikenal sebagai BLK Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)[3]. Namun kondisi BLK banyak yang terkesan tidak terurus, hal tersebut dapat dilihat dari peralatan seperti mesin-mesin pelatihan sudah out of date dan tidak lengkap[4]. Hal ini terjadi karena BLK belum menjadi prioritas pembangunan pemerintah daerah dan kondisi internal BLK sendiri yang diisi oleh personel yang tidak memiliki latarbelakang mengenai BLK.  Kondisi demikian menyebabkan peran BLK tidak optimal, padahal peran BLK sangat penting dalam menyiapkan tenaga kerja yang kompeten dan berdaya saing tinggi serta tersertifikasi sehingga cepat diserap industri.

Dibidang pendidikan, peningkatan kualitas tenaga kerja dilakukan melalui pendidikan vokasi yang bertujuan mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana[5]. Kondisi saat ini Pendidikan vokasi di Indonesia hanya sekitar 16% serta jumlah guru/tenaga pendidik vokasi belum cukup karena lembaga pendidik dan tenaga kependidikan (LPTK) belum banyak menyiapkan tenaga guru vokasi[6]. Padahal kebutuhan pasar tenaga kerja yang membutuhkan keterampilan sangat banyak dan tidak bisa diisi secara baik oleh lulusan SMK atau Politeknik.

Saat ini dunia tengah memasuki era Revolusi Industri ke-4. Ini merupakan tantangan bagi tenaga kerja Indonesia. Revolusi Industri ke-4 adalah era teknologi digital, semua serba digital dan otomatisasi.  Pengaruhnya adalah terhadap karakter dunia kerja, dimana teknologi banyak menghilangkan jenis pekerjaan, namun pada saat yang sama teknologi digital juga menghadirkan jenis pekerjaan baru. Disinilah letak pentingnya peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan keterampilan (skill) dalam menghadapi era Revolusi Industri ke-4.


            Era Revolusi Industri ke-4

Era Revolusi Industri ke-4 atau Revolusi Industri 4.0, menjadikan teknologi informasi sebagai basis dalam kehidupan manusia. Segala hal menjadi tanpa batas (borderless) dengan penggunaan daya komputasi dan data yang tidak terbatas (unlimited), karena dipengaruhi oleh perkembangan internet dan teknologi digital yang masif sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin. Era ini juga akan mendisrupsi berbagai aktivitas manusia, termasuk di dalamnya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta pendidikan tinggi[7]. 

Revolusi Industri ke-4 menimbulkan tantangan dalam hal menyiapkan dan memetakan SDM yang berkualitas dalam bentuk tenaga kerja. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat[8]. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah angkatan kerja Indonesia pada Februari 2017 sebanyak 131,55 juta[9]. Dari jumlah tersebut, 60% dari total tenaga kerja hanya lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, hal ini menunjukkan masih sangat rendahnya kualitas tenaga kerja kita[10].  Merujuk riset  McKinsey Global Institute, Indonesia akan menjadi negara ekonomi terbesar ke-7 di dunia pada tahun 2030 dengan kebutuhan 113 juta tenaga kerja terampil. Padahal, Badan Pusat Statistik menyebutkan, pada tahun 2015 Indonesia baru memiliki 56 juta tenaga kerja terampil. Dengan demikian, hingga tahun 2030, tiap tahun dibutuhkan 3.7 juta tenaga terampil baru[11], sedangkan karakteristik pekerjaan dari tahun ke tahun akan semakin dinamis berkembang sesuai dengan perkembangan Iptek, sehingga keterampilan (skill) yang dibutuhkan akan juga terus berkembang dan bervariasi.

Berkaca dari tantangan era Revolusi Industri ke-4 dan perkembangan Iptek, maka diperlukan peningkatan SDM yang berkualitas yang melibatkan pemerintah, swasta dan individu.

Pemerintah dibidang pelatihan keterampilan (skill) memaksimalkan peran BLK dengan konsep Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK), menjadikan BLK sebagai prioritas dalam pembangunan SDM, menyelenggarakan pelatihan keterampilan yang tidak memungut biaya dalam rangka menyiapkan secara masif tenaga kerja. Pada sektor regulasi dan kebijakan pemerintah menyusun dan melaksanakan program-program yang  mendukung tercapainya sistem ketenagakerjaan yang ideal dan menjurus sesuai kebutuhan industri. Pada bidang pendidikan memperbanyak kuantitas lulusan pendidikan vokasi melalui penambahan jumlah sekolah/lembaga pendidikan, dan meningkatkan kualitas dengan mendorong penguatan kompetensi guru/tenaga pendidik serta perbaikan kurikulum.

Pihak Swasta melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan dalam rangka memberikan kesempatan magang kepada peserta didik (calon tenaga kerja) dan mendirikan vocational training untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja yang sudah ada.

Individu melakukan peningkatan kemampuan dan kualitas dalam hal bahasa, keterampilan, serta wawasan. Hal ini dilakukan dalam rangka adaptasi terhadap karakteristik pekerjaan yang ditimbulkan oleh Revolusi Industri, seperti lingkungan pekerjaan, prosedur, fasilitas, dll.


[1] Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan, Sonny Sumarsono, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2003, hal. 4
[2] Materi Pokok Bidang Studi Demografi, Lemhannas RI, 2018, hal. 39
[3] https://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/22421521/melalui-balai-latihan-kerja-kemnaker-harap-indonesia-tak-kalah-saing.
[4] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/20/miikdo-kondisi-balai-latihan-kerja-memprihatinkan.
[5] UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 15
[6] http://mediaindonesia.com/read/detail/42777-kembangkan-pendidikan-vokasi-pemerintah-harus-siapkan-guru.
[7] https://www.ristekdikti.go.id/pengembangan-iptek-dan-pendidikan-tinggi-di-era-revolusi-industri-4-0/.
[8] UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Bab I pasal 1 ayat 2
[9] https://bisnis.tempo.co/read/872547/angkatan-kerja-februari-2017-meningkat-sebanyak-13155-juta.
[10] https://www.wartaekonomi.co.id/read128271/menaker-kualitas-tenaga-kerja-ri-masih-rendah.html.
[11] Ibid

19.7.18

MENGHADAPI ERA REVOLUSI INDUSTRI KE – 4



Saat ini dunia tengah memasuki era Revolusi Industri ke-4. Era ini menimbulkan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Revolusi Industri ke-4 adalah era teknologi digital, semua serba digital dan otomatisasi.  Pengaruhnya adalah terhadap karakter dunia kerja, dimana teknologi banyak menghilangkan jenis pekerjaan, namun pada saat yang sama teknologi digital juga menghadirkan jenis pekerjaan baru. Disinilah perlunya pemetaan angkatan kerja dan pengintegrasian antara Revolusi Industri Ke-4 dengan Lembaga Pendidikan Vokasi dalam rangka peningkatan kualitas SDM agar mampu bersaing dan mengisi kebutuhan lapangan pekerjaan yang tersedia.


Era Revolusi Industri Ke-4

Perubahan Karakter Pekerjaan
Revolusi Industri merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari oleh semua bangsa. Revolusi Industri Ke-1 dengan karakteristik mesin uap, Revolusi Industri ke-2 pada tenaga listrik dan selanjutnya perubahan teknologi analog menjadi digital yang menjadi ciri Revolusi Industri Ke-3 telah kita lalui.  Sekarang saatnya Revolusi Industri Ke-4 yang bercirikan digitalisasi, optimalisasi dan kustomisasi produksi, otomasi dan adopsi, human machine interaction, value added services and businesses, automatic data exchange and communication, serta penggunaan teknologi internet, menjadikan semuanya hampir tanpa batas (borderless) dan tanpa batas (unlimited).

Revolusi Industri selalu berdampingan dengan munculnya ekonomi baru, yang berarti juga munculnya sektor-sektor pekerjaan baru.  Namun pada Revolusi Industri Ke-4 ada kekhawatiran dengan adanya kemajuan Iptek dan penggunaan mesin yang lebih dominan pada sebagian besar bidang pekerjaan, maka dampaknya adalah hilangnya beberapa jenis pekerjaan yang semula diawaki oleh manusia tergantikan oleh mesin.

Kekhawatiran ini ada betulnya, karena digitalisasi, otomasi dan teknologi internet merupakan suatu keahlian atau keterampilan yang dibutuhkan dalam rangka efisiensi produksi, dalam artian memangkas tenaga kerja dan waktu tetapi produksi dapat lebih meningkat. Disinilah timbulnya perubahan dalam karakter pekerjaan. Jenis-jenis pekerjaan yang berbasiskan mesin, digital dan Iptek membutuhkan SDM yang mempunyai keahlian atau keterampilan sesuai kebutuhan yang di keahlian, sehingga hanya dapat diisi oleh SDM yang ahli atau terampil. Berdasarkan temuan McKinsey, perusahaan konsultan manajemen multinasional, sebanyak 52,6 juta lapangan pekerjaan terancam tergantikan otomatisasi. Jumlah 52,6 juta itu setara dengan 52% angkatan kerja Indonesia atau separuh angkatan kerja bisa digantikan otomasitisasi.[1]  Jenis-jenis pekerjaan yana akan hilang meliputi: ahli las, staf akuntan, operator mesin, supir truk dan ahli mesin. Padahal jumlah supir truk di Indonesia ada sekitar 6 juta.[2]

Namun  digitalisasi, otomasi dan teknologi internet yang merupakan karakter Revolusi Industri Ke-4 tidak hanya menghilangkan beberapa jenis pekerjaan, tapi juga dapat menumbuhkan jenis pekerjaan baru.  Diperkirakan akan ada 50% jenis pekerjaan yang ada saat ini terhapus, namun disisi lain akan menumbuhkan 65% jenis pekerjaan baru.[3]  Jenis-jenis pekerjaan baru yang muncul berkaitan dengan Internet of Things (IoT), seperti: pengkodean (coding), analisa data (artificial intelligence), statistik. Bidang e-commerce dibutuhkan  call center, customer service, dll.[4] Dalam setiap revolusi industri pasti terkait dengan SDM, karena SDM menjadi faktor pokok dalam setiap kegiatan industri dan sektor lain, dengan demikian tumbuhnya jenis pekerjaan baru juga tetap membutuhkan keahlian dan keterampilan sesuai dengan karakter pekerjaan baru tersebut.


Tantangan dalam memetakan angkatan kerja

Revolusi Industri ke-4 menimbulkan tantangan dalam hal menyiapkan dan memetakan SDM yang berkualitas dalam bentuk tenaga kerja. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat . Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah angkatan kerja Indonesia pada Februari 2017 sebanyak 131,55 juta.[5] Dari jumlah tersebut, 60% dari total tenaga kerja hanya lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, hal ini menunjukkan masih sangat rendahnya kualitas tenaga kerja kita.[6]  Merujuk riset  McKinsey Global Institute, Indonesia akan menjadi negara ekonomi terbesar ke-7 di dunia pada tahun 2030 dengan kebutuhan 113 juta tenaga kerja terampil. Padahal, Badan Pusat Statistik menyebutkan, pada tahun 2015 Indonesia baru memiliki 56 juta tenaga kerja terampil. Dengan demikian, hingga tahun 2030, tiap tahun dibutuhkan 3.7 juta tenaga terampil baru,[7] sedangkan karakteristik pekerjaan dari tahun ke tahun akan semakin dinamis berkembang sesuai dengan perkembangan Iptek, sehingga keterampilan (skill) yang dibutuhkan akan juga terus berkembang dan bervariasi.

Berkaitan dengan pemetaan ini, tentunya sangat diperlukan adanya Road Map dalam menghadapi Revolusi Industri Ke-4.  Dalam hal ini pemerintah telah mencanangkan Making Indonesia 4.0 sebagai salah satu agenda nasional yang bersifat lintas sektoral untuk mempercepat perkembangan industri manufaktur.  Terdapat 5 sektor, yaitu makanan minuman, elektronik, otomotif, tekstil dan kimia. Dari Road Map dan hasil pemetaan didapatkan hasil pekerjaan-pekerjaan seperti pemeliharaan dan instalasi, mediasi, medis, analis data, manajer sistem informasi, konselor vokasi, analis dampak lingkungan akan bertumbuh. Khususnya periode antara tahun 2021 hingga tahun 2025. Sementara periode selanjutnya, yakni antara tahun 2026 hingga tahun 2030, jenis pekerjaan perancang, pemograman kecerdasan buatan, perancang dan pengendali mesin otomasi, perancang sofware dan game online akan terus bertumbuh dan dibutuhkan.[8]

Tantangan yang muncul dalam penyiapan dan pemetaan SDM adalah antisipasi terhadap perubahan iklim bisnis dan industri, perubahan jabatan dan kebutuhan ketrampilan. Maka berkaitan dengan  SDM yang perlu dilaksanakan adalah peningkatan kualitas SDM, kuantitas SDM yang kompeten serta sesuai kebutuhan industri dan meratanya sebaran SDM yang berkualitas, terutama di daerah-daerah.[9]

Pertama, peningkatan kualitas SDM. Revolusi Industri Ke-4 membutuhkan SDM yang ahli dan terampil, maka harus bisa dipastikan kualitas dari SDM sudah sesuai kebutuhan pasar kerja serta sesuai dengan industri yang berbasis teknologi digital.

Kedua, kuantitas SDM yang kompeten serta sesuai kebutuhan industri. Kuantitas sangat diperlukan dalam menjawab kebutuhan industri.  Seperti dijelaskan sebelumnya dalam mencapai Indonesia kekuatan ekonomi ke-7 dunia pada 2030, dibutuhkan 3.7 juta tenaga terampil setiap tahunnya.  Dari sini sudah jelas yang dibutuhkan bukan hanya jumlah tapi juga kualitas sesuai kompetensi yang dibutuhkan.

Ketiga, meratanya sebaran SDM yang berkualitas, terutama di daerah-daerah. Hal ini diperlukan agar pembangunan perekonomian nasional tidak hanya terfokus di Jawa, tetapi merata di seluruh wilayah Indonesia, sehingga dibutuhkan penyebaran SDM di seluruh daerah dan wilayah Indonesia.

Dari tantangan dan pemetaan angkatan kerja, maka dibutuhkan tindak lanjut berupa kesiapan Lembaga Pendidikan dalam  menyiapkan SDM yang berkualitas sesuai tuntutan Revolusi Industri Ke-4 agar jangan sampai lulusannya menganggur tidak dapat pekerjaan karena gagal mengantisipasi revolusi industri.

Integrasi Industri 4.0 dengan Lemdik Vokasi

Lembaga Pendidikan di Indonesia harus mengantisipasi semakin pesatnya perkembangan teknologi yang terjadi dalam era Revolusi Industri Ke-4. Kurikulum dan metode pendidikan pun harus menyesuaikan dengan iklim bisnis dan industri yang semakin kompetitif dan mengikuti perkembangan teknologi dan informasi.

Dalam hal ini maka tindakan integrasi menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan. Integrasi antara Industri 4.0 dengan Lembaga Pendidikan diharapkan dapat mengembangkan strategi transformasi industri. Dengan mempertimbangkan perkembangan sektor ketenagakerjaan. Transformasi industri dikatakan berhasil jika tenaga kerja yang tersedia juga kompeten.

Pendekatan dalam integrasi ini dengan melihat pendidikan dan pelatihan kejuruan merupakan kebutuhan bagi industri sehingga peningkatan dan pengembangan individu dapat dilakukan di industri (Zaib & Harun, 2014). Berdasar teori tersebut, pendidikan kejuruan berpeluang untuk menjawab tantangan industri 4.0

Salah satu lembaga pendidikan yang berperan adalah Lembaga Pendidikan Vokasi, karena pendidikan vokasi lebih mengutamakan menyiapkan tenaga kerja terampil baik untuk lulusan jenjang pendidikan menengah (SMK) maupun pendidikan tinggi (Diploma). Sifatnya yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan di dunia kerja menyebabkan sifat pendidikan vokasi yang lebih lentur dan harus cepat beradaptasi terhadap perubahan. Sifat-sifat ini sesuai dengan kebutuhan Industri 4.0 yang membutuhkan tenaga kerja yang terampil.

Integrasi dilakukan melalui penataan kelembagaan vokasi, dimana program studi yang ada tidak perlu diganti dengan yang baru akan tetapi lebih pada menyesuaikan sesuatu yang baru kedalam program studi yang sudah ada, meningkatkan kinerja pendidikan vokasi pada level yang lebih tinggi dengan menerapkan model pembelajaran problem solving dan berpikir kesisteman, serta keterhubungan dengan pihak industri untuk lebih mengetahui macam, jenis pekerjaan, kompetensi yang dibutuhkan serta jumlah yang SDM dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.[10]

Disamping secara kelembagaan, integrasi dilakukan dengan melaksanakan gerakan literasi baru sebagai penguat bahkan menggeser gerakan literasi lama. Gerakan literasi baru yang dimaksudkan terfokus pada tiga literasi utama yaitu, pertama, literasi digital, kedua, literasi teknologi, dan ketiga, literasi manusia (Aoun:2017). Tiga keterampilan ini diprediksi menjadi keterampilan yang sangat dibutuhkan di masa depan atau di era industri 4.0[11]

Literasi digital diarahkan pada tujuan peningkatan kemampuan membaca, menganalisis, dan menggunakan informasi di dunia digital (Big Data).  Sedangkan literasi teknologi bertujuan untuk memberikan pemahaman
pada cara kerja mesin dan aplikasi teknologi, dan literasi manusia diarahkan pada peningkatan kemampuan berkomunikasi dan penguasaan ilmu desain (Aoun:2017). Literasi baru yang diberikan diharapkan menciptakan lulusan yang kompetitif dengan menyempurnakan gerakan literasi lama yang hanya fokus pada peningkatan kemampuan membaca, menulis, dan matematika.[12]

Adaptasi gerakan literasi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai langkah integrasi antara Industri 4.0 dengan lembaga pendidikan, dengan melakukan penyesuaian kurikulum dan sistem pembelajaran sebagai respon terhadap era industri 4.0.

Simpulan

Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa Revolusi Industri Ke-4 akan mempengaruhi SDM Indonesia. Industri 4.0 banyak membawa perubahan dalam kehidupan manusia. Revolusi Industri ke-4 secara fundamental akan mengubah cara beraktivitas manusia dan memberikan pengaruh yang besar terhadap SDM dan tenaga kerja Indonesia. Dampak efektifitas dan efisiensi sumber daya dan biaya produksi menjadi tidak bisa dihindari, perubahan karakter kerja disamping menghilangkan beberapa jenis pekerjaan baru, juga berpeluang menciptakan  beberapa jenis pekerjaan baru pula.

Berkaca dari perjalanan revolusi industri sebelumnya, yaitu Revolusi Industri Ke-1 s.d Ke-3, kunci pokoknya adalah kesiapan SDM, karena SDM menjadi faktor pokok dalam setiap kegiatan industri dan sektor lain. Karena kemajuan Iptek yang menghasilkan mesin dengan segala kecanggihannya tetap memerlukan personel dalam mengoperasikannya, walaupun memang personel tersebut harus mempunyai keahlian dan keterampilan sesuai dengan kompetensi dari bidang pekerjaan tersebut.

Maka menjadi hal yang penting dan utama untuk melakukan langkah-langkah antisipasi dengan memetakan angkatan kerja Indonesia, dengan melihat dan menyesuaikan kebutuhan dari Industri 4.0.  Berkaitan dengan hal tersebut maka kesiapan dari lembaga pendidikan sebagai sektor yang mendukung dalam menyiapkan dan menghasilkan tenaga ahli yang terampil perlu juga dibenahi baik secara kelembagaan dan langkah intergrasi antara Industri 4.0 dengan Lembaga Vokasi. Sehingga keluaran dari Lembaga Vokasi benar-benar tenaga ahli dan terampil sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Industri 4.0.


[1] http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2018/03/23/masuki-revolusi-industri-beberapa-pekerjaan-akan-hilang-421746.  
[2] https://radarlampung.co.id/revolusi-industri-4-0-beberapa-jenis-pekerjaan-bakal-hilang/
[3] http://mediaindonesia.com/read/detail/155389-revolusi-industri-40-ciptakan-jenis-pekerjaan-baru. 
[4] https://www.liputan6.com/bisnis/read/3459976/ini-deretan-pekerjaan-paling-dibutuhkan-pada-era-revolusi-industri-40.
[5]   https://bisnis.tempo.co/read/872547/angkatan-kerja-februari-2017-meningkat-sebanyak-13155-juta. 
[6]   https://www.wartaekonomi.co.id/read128271/menaker-kualitas-tenaga-kerja-ri-masih-rendah.html.  
[7] Ibid
[8] Ibid, Radar Lampung
[9] https://infonawacita.com/revolusi-industri-4-0-di-depan-mata-menaker-bocorkan-antisipasinya/
[10] Moch Bruri Triyono, Tantangan Revolusi Industri Ke 4(i4.0) bagi pendidikan vokasi Seminar Nasional Vokasi dan Teknologi (SEMNASVOKTEK), Denpasar-Bali, 28 Oktober 2017
[11] Prof. Dr. H. Muhammad Yahya, M.Kes., M.Eng., Era Industri 4.0: Tantangan dan Peluang Perkembangan Pendidikan Kejuruan Indonesia, Orasi Ilmiah Professor bidang Ilmu Pendidikan Kejuruan Universitas Negeri Makassar, 14 Maret 2018
[12] Ibid

16.7.18

PENINGKATAN KESADARAN GEOGRAFI GUNA MEMAHAMI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL




Kesadaran Geografi

Geografi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kenampakan fenomena geosfer di permukaan bumi.  Geografi berasal dari bahasa latin yaitu, 'Geo' berarti 'Bumi' dan 'Grafis' berarti 'menulis'. Jadi, 'Geografi' adalah gambaran tentang bumi, namun dalam pemanfaatannya geografi adalah pengetahuan tentang semua fenomena bumi dimana alam dan orang-orang terlibat bersama. Sehingga hakekatnya geografi merupakan pengkajian keruangan tentang fenomena dan masalah kehidupan manusia.[1]

Geografi penting untuk dipelajari, karena Geografi dapat mengasah kecerdasan keruangan (spatial intellegent) seseorang dalam memahami fenomena geosfer. Dalam konteks perubahan iklim global, geografi menjadi sangat penting dan mempunyai peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena perubahan dan dinamika bumi yang kita tempati sedemikian cepat, sehingga apabila salah dalam pengelolaan dan mengantisipasi perubahannya, berdampak pada keberlangsungan pembangunan nasional.  Hal ini selaras seperti yang disampaikan salah satu ahli geografi, bahwa “geografi adalah ilmu pengetahuan yang mencitra, menerangkan sifat bumi, menganalisis gejala alam dan penduduk serta mempelajari corak khas mengenai kehidupan dan berusaha mencari fungsi dari unsur bumi dalam ruang dan waktu” (Bintarto:1977), sehingga dalam memahami perubahan iklim global sangat diperlukan tentang kesadaran geografi.

Kesadaran geografi penduduk Indonesia saat ini dapat dikatakan masih rendah, hal ini dilihat dari tingkat kesadaran dan pengetahuan cara menghadapi bencana masih rendah, di mana kesiapsiagaan belum menjadi budaya di antara masyarakat Indonesia.[2]  BNPB mencatat pada tahun 2017 terjadi 2.372 bencana, dengan jumlah korban meninggal/hilang 337 jiwa dan 349 juta orang mengungsi karena bencana. Data tersebut mengindikasikan masih rentannya penduduk Indonesia akan risiko bencana karena belum sepenuhnya menyadari kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis Indonesia yang rentan terhadap bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam (gempa bumi, tsunami, gunung meletus, angin puting beliung, dsb) maupun faktor manusia (kebakaran, banjir, longsor, dsb).

Bencana dapat terjadi karena faktor alam, namun yang paling berperan menyebabkan bencana alam adalah faktor antropogenik atau pengaruh ulah manusia.  Ulah manusialah yang mengakibatkan sampah berserakan yang mengotori alam, udara yang terpolusi akibat penggunaan aerosol, laut yang tercemar akibat tumpahan minyak, udara yang terpolusi akibat 40 miliar ton karbondioksida (CO2), lahan hutan yang semakin berkurang karena penebangan liar, berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) yang pada akhirnya memicu percepatan perubahan iklim global.[3]

Perubahan iklim global inilah yang kemudian menjadikan seringnya terjadi bencana, termasuk di Indonesia. Bencana hidrometeorologi atau yang disebabkan oleh perubahan iklim menjadi bencana yang paling sering terjadi di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.[4] Bencana akibat perubahan iklim seharusnya dapat diantisipasi dan dipersiapkan penanganannya sebelum bencana terjadi, dengan mengetahui penyebab dan cara mengatasinya. Upaya ini diperlukan untuk memperkecil jumlah korban jiwa dan kerugian akibat bencana yang selalu terjadi. Dalam hal ini sangat diperlukan adanya kebijakan dari pemerintah selaku regulator dalam hal pengelolaan SDA dan lingkungan serta upaya memobilisasi Sumber Daya pada saat menangani bencana.



Memahami perubahan Iklim Global

Peningkatan kesadaran geografi yang diwujudkan dalam bentuk kesadaran akan bencana merupakan prioritas dalam memahami perubahan iklim global. Faktor utama yang paling menentukan keselamatan seseorang ketika menghadapi bencana adalah tingkat penguasaan pengetahuan tentang bencana, dimana keputusan dan tindakan apa yang diambil dalam rentang waktu yang sempit tersebut bakal menentukan hidup dan mati.

Hasil survei Great Hansin Earthquake di Jepang pada tahun 1995 menunjukkan kalau korban dapat selamat dalam durasi “golden time” (sekitar 10-30 menit setelah terjadinya bencana) karena beberapa faktor: di antaranya kesiapsiagaan diri sendiri (35%), dukungan anggota keluarga (31,9%), dukungan teman/tetangga (28,1%), dukungan orang di sekitar (2,60%), dukungan tim Search and Rescue (SAR) (1,70%), dll (0.90%).[5]

Berdasarkan Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework Action/HFA), tidak ada kemajuan berarti dalam pengurangan risiko bencana di Indonesia dengan indeks 3,16-3,3. Sementara itu, berdasarkan World Risk Index tahun 2016, Indonesia memiliki risiko bencana alam ekstrem sebesar 10,24 persen.[6] Berkaca dengan data tersebut seharusnya kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai bencana harus ditingkatkan melalui edukasi yang terprogram dan terstruktur disertai dengan pelatihan  menghadapi bencana. Pemahaman Migitasi harus ditingkatkan dan dimengerti sehingga pada akhirnya diharapkan dapat terwujud sikap, pengertian, dan pemahaman masyarakat bahwa bukan hanya bencananya yang berbahaya, tetapi sikap kita terhadap bencana yang menyebabkan berbahaya (sudah tahu daerah tersebut rawan bencana, tetapi masih bersikeras tetap tinggal disana tanpa memiliki rencana kesiapsiagaan bencana).


[1] Materi Pokok Bidang Studi Geografi, Lemhannas RI, Tahun 2018, hal. 11
[2] BNPB, Peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana Tahun 2017
[3] https://www.harianhaluan.com/news/detail/56485/bencana-alam-dan-perubahan-iklim.
[4] https://www.voaindonesia.com/a/perubahan-iklim-picu-terjadinya-bencana-alam-di-indonesia/2903889.html.
[5] https://siaga.bnpb.go.id/hkb/berita/kesiapsiagaan-keluarga-pondasi-ketangguhan-negara-terhadap-bencana.
[6] https://pinterpolitik.com/indonesia-krisis-mitigasi-bencana/