Kekuatan
UMKM dan Koperasi dalam menghadapi krisis
terbukti
saat krisis ekonomi tahun 1998,
96
persen UMKM dapat bertahan.
"Pada saat krisis tahun 1998, para
konglomerat
yang selama ini diberikan berbagai fasilitas
oleh pemerintah malah kolaps,
tapi 96 persen UMKM dapat
bertahan,"
(Sandiaga Uno ;2009)
Peran UMKM
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah usaha dengan
kekayaan bersih maksimal Rp 10 miliar di luar tanah dan bangunan atau memiliki
omzet maksimal Rp 50 miliar per tahun[1]. UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian nasional Indonesia, karena UMKM merupakan aktor yang berkontribusi
besar dalam pemeliharaan sustainable economy Indonesia, hal ini terbukti
pada saat Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun 1998[2].
Peran penting UMKM dalam mendorong pertumbuhan perekonomian nasional Indonesia terlihat paling tidak
pada tiga sektor. Pertama, sebagai sarana mengentaskan masyarakat kecil
dari jurang kemiskinan. Data Kemenkop dan UKM pada tahun 2011 lebih dari
55,2 juta unit UMKM mampu menyerap sekitar 101,7 juta orang. Angka tersebut
meningkat menjadi sekitar 57,8 juta unit UMKM dengan jumlah tenaga kerja
mencapai 114 juta orang.
Kedua, sarana untuk meratakan tingkat perekonomian rakyat kecil. Dengan
lokasi yang tersebar di berbagai tempat, UMKM mampu membantu pemerataan ekonomi
masyarakat. Keberadaan UMKM di 34 provinsi memperkecil jurang ekonomi antara
yang miskin dengan kaya. Selain itu, masyarakat kecil tak perlu
berbondong-bondong pergi ke kota untuk memperoleh penghidupan yang layak.
Ketiga, memberikan pemasukan devisa bagi negara. Data Kemenkop dan UKM 2017
menunjukkan tingginya devisa negara dari para pelaku UMKM. Angkanya pun sangat
tinggi (Rp88,45 miliar), mengalami peningkatan hingga delapan kali lipat
dibandingkan tahun 2016[3].
Dibalik peran penting tersebut, masih terdapat
kelemahan UMKM, khususnya pada sektor produktifitasnya yang tidak linier dengan
jumlah usaha dan pekerjanya. Dilihat dari sumbangan terhadap produk domestik
bruto (PDB), porsi UMKM hanya sekitar 59 persen. Artinya, dengan porsi unit
usaha sebesar 99,9 persen, porsi tenaga kerja sebesar 97,3 persen, UMKM hanya
bisa menyumbang 59 persen PDB. Sebaliknya, dengan porsi unit usaha hanya 0,01
persen, porsi tenaga kerja hanya 2,7 persen, korporasi besar bisa menyumbang 41
persen PDB. Ini berarti produktifitas UMKM di Indonesia masih sangat rendah.
Rendahnya produktifitas tersebut dikarenakan oleh persoalan efisiensi,
efektifitas, kemampuan berusaha, daya saing dan khususnya permodalan. Berdasarkan
data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret 2016, posisi kredit UMKM sebesar Rp
738 triliun atau hanya 18,45 persen dibandingkan total kredit perbankan yang
mencapai Rp 4.000 triliun. Artinya, dengan porsi pekerja 99,9 persen, porsi
kredit yang diterima UMKM hanya 18,45 persen. Sementara korporasi, dengan porsi
pekerja hanya 2,7 persen, mendapatkan porsi kredit sekitar 81,55 persen[4]. Ternyata, dari 56,5 juta UMKM, yang mendapatkan kredit sekitar 15,6 juta unit
atau hanya 27,6 persen. Artinya, sekitar 40 juta UMKM, yang hampir semuanya
tergolong usaha mikro, tidak pernah mendapatkan dukungan permodalan dari bank.
Membangun kemandirian
ekonomi bangsa
Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan
kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi mencapai satu
tujuan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan kerjasama yang saling
menguntungkan. Kaitannya
dengan perekonomian bangsa, maka kemandirian diarahkan untuk mencapai kondisi
ekonomi yang mandiri, berkeadilan dan berdaya saing[5].
Dengan kemandirian ekonomi maka ketahanan nasional dapat terbentuk dan pada akhirnya
berdampak pada kedaulatan bangsa.
Era Globalisasi menghadirkan tantangan yang berbeda
bagi Indonesia, dimana geo politik, geo strategi dan
geo ekonomi yang dihadapi berbeda dengan periode sebelumnya, sehingga
dibutuhkan perkuatan internal faktor dalam menghadapi persaingan baik pada
tingkat regional maupun global dan memperbaiki faktor kelemahan pada sektor
ekonomi itu sendiri.
Daya saing adalah himpunan institusi, kebijakan dan
faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu ekonomi[6], yang
pada akhirnya akan menentukan tingkat kemakmuran yang dapat dicapai oleh suatu
ekonomi. Daya saing inilah yang menjadi problema bagi UMKM Indonesia. Hasil
kajian Pusat Inovasi MKM APEC terhadap studi daya saing global UMKM di 13
negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa Indonesia termasuk Negara yang
UMKM-nya berdaya saing rendah (skor 3,5 dari nilai skor 1,0 –10,0), sedangkan
daya saing UMKM Hongkong-China, Amerika Serikat, Taiwan, dan Australia
tergolong tinggi. Sedangkan peringkat daya saing Negara ASEAN lainnya, seperti
Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina, diatas peringkat
Indonesia. Rendahnya daya saing ini dapat
terjadi karena: 1) Teknologi Indonesia belum maju untuk pasaran global; 2)
Rendahnya keahlian dan kemampuan tenaga kerja; 3) Kurangnya pengetahuan
strategi bisnis global; 4) Kurangnya pengetahuan tentang pasar; dan 5)
Terbatasnya dalam mengakses modal[7].
Disamping daya saing, faktor lain yang mempengaruhi
kemandirian ekonomi adalah lemahnya investasi sektor riil[8].
Hal ini terjadi karena iklim investasi yang belum kondusif, infra struktur yang
masih belum memadai dan biaya modal yang dirasakan oleh investor masih terlalu
mahal. Ketiga hal ini perlu diperkuat dan menjadi perhatian bagi pemerintah
selaku pemegang regulasi agar sektor riil kuat dan perhatian yang lebih terhadap
UMKM selaku penggerak sektor riil. Sehingga untuk mewujudkan kemandirian
ekonomi bangsa dibutuhkan kerja keras dan strategi yang tepat.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah khususnya
Menteri Koperasi dan UMKM, anggota serta pengurus koperasi di seluruh Indonesia
dan para pemilik UMKM untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, diantaranya: 1)
Penyediaan modal dan akses kepada sumber dan lembaga keuangan; 2) Meningkatkan
kualitas dan kapasitas kompetensi SDM. Melalui pendidikan dan pelatihan baik
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh koperasi atau UMKM itu sendiri; 3) Meningkatkan
kemampuan pemasaran UMKM dengan pemberian pendidikan mengenai pemasaran atau
dengan cara membuka/merekrut tenaga profesional yang ahli dalam hal pemasaran; 4)
Meningkatkan akses informasi usaha bagi UMKM; dan 5) Menjalin kemitraan yang
saling menguntungkan antar pelaku usaha (UMKM, Usaha Besar dan BUMN)[9].