26.6.18

PENERAPAN SISMENAS DALAM PEMILU GUNA MENDUKUNG PEMILIHAN PEMIMPIN NASIONAL


 Sismennas merupakan sistem manajemen 
yang diterapkan dalam organisasi negara. 
Negara dipandang sebagai suatu organisasi 
yang besar dan komplek, 
harus dikelola dengan pendekatan kesisteman



Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdaulat yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.  Seiring dengan waktu telah banyak sistem penyelenggaraan pemerintahan yang diterapkan dalam rangka mencapai tujuan nasionalnya sesuai dengan amanat UUD NRI 1945.  Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diperlukan suatu cara atau upaya yang sistematis dan sistemik yang harus dijalankan oleh penyelenggara negara dengan mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab (good governance).

Berkaitan dengan good governance maka penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan oleh Indonesia adalah sistem pemerintahan demokrasi, dimana Indonesia menerapkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power).  Pembagian kekuasaan yang dimaksud adalah pembagian kekuasaan antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif namun ketiga lembaga tersebut tetap mempunyai kerjasama dan saling mengawasi satu sama lainnya (cheks and balances), sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

Dalam demokrasi para pengelola dan penyelenggara pemerintahan dipilih dengan mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) baik Pilpres, Pilkada, maupun Pileg setiap lima tahun sekali. Indonesia telah beberapa kali menyelenggarakan Pemilu, terakhir pada 2014 yang disebut sebagai tahunnya pesta demokrasi, karena untuk pertama kali hajatan politik Pilpres dan Pileg dilaksanakan bersama.  Namun dari sisi kualitas tujuan pesta demokrasi belum sepenuhnya terpenuhi karena masih tingginya angka Golput (pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya) 24,89 %, bahkan tertinggi dari pemilu-pemilu sebelumnya (1999, 2004 dan 2009)[1].

Padahal tujuan Pemilu adalah memilih para pemimpin nasional yang akan menjadi pengelola dan penyelenggara pemerintahan.  Sedangkan keberhasilan pemilu bisa diukur dari; (1) aturan pemilu, (2) pemilih, (3) parpol dan elit politik, (4) penyelenggaraan pemilu, dan (5) peradilan yang kredibel dan independen[2].  Sehingga apabila kita salah dalam memilih pemimpin nasional melalui Pemilu, maka dampaknya akan ditanggung selama lima tahun kedepan, sampai ada penyelenggaraan Pemilu yang berikutnya.
Permasalahannya: bagaimana menerapkan Sismenas dalam Pemilu guna menghasilkan pemimpin nasional yang berkualitas.


Pembahasan

a.         Pemilih yang cerdas.
Pemilu sebagai bentuk timbal balik antara pemilih dan kontestan diharapkan dapat menghasilkan pemimpin nasional yang berkualitas dan amanah. Pemimpin yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menciptakan daya saing bangsa agar terwujud masyarakat yang adil makmur dan sejahtera.

Dalam ilmu politik ada beberapa kategori/tipikal pemilih; (1) memilih karena berdasarkan kesamaan golongan, suku, agama atau status sosial, (2) memilih berdasarkan kesamaan ideologi, visi dan pandangan serta pada afiliasi partai politik, (3) memilih karena berdasarkan pramagtisme politik, dan (4) memilih karena berdasarkan program yang relevan dan terukur serta rekam jejak kontestan yang berintegritas dan paham pada persoalan bangsa[3].

Untuk itu diperlukan pemilih yang cerdas, memilih dengan menggunakan akal sehat dan hati nurani. Pemilih yang cerdas dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan yang baik. Terbukti negara-negara seperti Bulgaria dan Albania sempat gagal menerapkan demokrasi[4]. Dengan kondisi pemilih yang terdidik dan sejahtera menjadikan mereka pemilih yang tidak mudah tergoda oleh praktik money politic. Demokrasi yang sehat memerlukan kecerdasan dan rasionalitas

Pemilih yang cerdas dalam melaksanakan hak pilihnya akan mempertimbangkan; (1) Menggali rekam jejak calon pemimpin. Pemilih harus benar-benar mengetahui kondisi sebenarnya dari kontestan. (2) Rajin mencari informasi dan mempelajari program dan visi yang ditawarkan. Visi dari kontestan harus relevan dan sesuai dengan kebutuhan rakyat yang dapat diterjemahkan kedalam visi, bukan sekedar mengumbar janji, dan (3) Mengedepankan rasionalitas. Memilih pemimpin berdasarkan penilaian yang objektif dan komprehensif tanpa dipengaruhi oleh tekanan pihak lain, tidak berdasarkan suku, daerah, agama dan tidak dipengaruh oleh faktor hadiah/uang[5].

Dengan menjadi pemilih yang cerdas, maka momentum pemilu dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam memilih pemimpin nasional dan tidak sekedar memenuhi hak sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.


b.        Penerapan Sismenas dalam penyelenggaraan Pemilu.
Pemilu merupakan salah satu tolok ukur yang penting untuk menilai keberhasilan demokrasi di suatu negara. Semakin baik penyelenggaraan Pemilu menunjukkan semakin baik pula pelaksanaaan demokrasi di suatu negara.  Penyelenggaraan Pemilu sebagai bagian dari pembangunan nasional memerlukan keterpaduan tata nilai, struktur, dan proses. Keterpaduan tersebut merupakan himpunan usaha untuk mencapai efisiensi, daya guna, dan hasil guna sebesar mungkin dalam penggunaan sumber dana dan daya nasional guna mewujudkan tujuan nasional[6]. Karena keterpaduan yang dimaksud adalah Sismenas, maka diperlukan penerapan Sismenas dalam penyelenggaraan Pemilu.

Dalam penyelenggaraan Pemilu maka penerapan Sismenas diarahkan dalam bentuk siklus kegiatan perumusan kebijaksanaan (policy formulation), pelaksanaan kebijaksanaan (policy implementation), dan penilaian hasil kebijaksanaan (policy evaluation) terhadap keberhasilan penyelenggaraan Pemilu.  Unsur-unsur yang terlibat didalamnya adalah: (1) Negara sebagai organisasi kekuasaan, (2) Bangsa Indonesia sebagai pemilik negara, (3) Pemerintah sebagai manajer atau penguasa, dan (4) Masyarakat sebagai pemilih adalah penunjang dan pemakai.  Sedangkan prosesnya sendiri merupakan siklus pengambilan keputusan yang diawali dari arus masuk (input)-Tata Pengambilan Keputusan Berkewenangan (TPKB)-arus keluar (output)-kemanfaatan (outcome) secara berlanjut dan berkesinambungan.

Proses arus masuk (input)  dan keluar (output)  mempunyai peran yang penting, karena memerlukan aspirasi yang berasal dari masyarakat, dan tanggapan dari pemerintah atas aspirasi yang berkembang. Dari sinilah seharusnya sudah diketahui bagaimana keinginan masyarakat atas figur calon pemimpin yang akan dipilih, siapa Parpol yang mengusungnya dan bagaimana aturan yang akan diterapkan.  Apabila hal-hal tersebut sudah memenuhi ekspetasi dari masyarakat selaku pemilih, maka animo dan pelaksanaan Pemilu yang melibatkan pemilih bisa lebih maksimal sehingga tingkat keberhasilan Pemilu lebih besar dan kredibel.

Keberhasilan Pemilu yang ditandai dengan keikutsertaan yang tinggi dari pemilih, penyelenggaraan yang bersih, kredibel dan damai serta menghasilkan pemimpin nasional yang diinginkan nantinya ditandai dengan para pengelola dan penyelenggara pemerintahan yang kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dihasilkan benar-benar bisa diterapkan, konflik dan perselisihan yang timbul dapat diselesaikan dan program serta kegiatan pembangunan nasional dapat berjalan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.


Penutup
a.     Simpulan.
Indonesia sebagai negara demokrasi menerapkan konsep pembagian kekuasaan dengan membentuk badan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yang merupakan pemimpin nasional dalam mengelola dan menyelenggarakan pemerintahan.  Para pemimpin nasional dipilih melalui Pemilu yang diselenggarakan lima tahun sekali.  Agar pemilu berhasil dan dapat menghasilkan pemimpin nasional seperti yang diharapkan dibutuhkan pemilih yang cerdas serta didukung penerapan Sismenas dalam penyelenggaraan Pemilu.

b.     Saran.
Untuk mewujudkan keberhasilan Pemilu sebagai implementasi pesta demokrasi, maka Pemerintah selaku regulator diharapkan dapat mengeluarkan regulasi Pemilu yang aspiratif dan menyelenggarakan pendidikan politik kepada masyarakat agar dapat menjadi pemilih yang cerdas.


[1] https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/catatan-dari-tahun-politik-retrospeksi-pemilu-2014?lang=id
[2] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=9817#.WtsYdohuZPZ
[3] Ramlan Surbakti. Partai, Pemilih dan Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
[4] https://www.wilsoncenter.org/publication/149-why-some-succeed-and-others-fail-eight-years-transition-eastern-europe
[5] https://pilkada.jpnn.com/news/ciri-ciri-pemilih-cerdas-menurut-tjahjo-kumolo
[6] Bahan Ajar Bidang Studi Sistem Manajemen Nasional, 2018, hal.8

5.6.18

MEMBANGUN NASIONALISME MELALUI INOVASI IPTEK




Pendahuluan:
Globalisasi adalah sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari oleh semua bangsa dan negara di dunia, dimana globalisasi telah menjadikan individu, kelompok bahkan suatu negara mempunyai suatu keterhubungan dan ketergantungan satu sama lainnya.  Dalam proses interaksi antar bangsa, didalam globalisasi terkandung dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu, dimana dimensi ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat.   Dengan makin sempitnya ruang dan singkatnya waktu maka globalisasi akan mempengaruhi berbagai sektor kehidupan seperti idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dll.  Berkaitan dengan idiologi dan sosial budaya sebagai faktor dari nasionalisme, maka pengaruh globalisasi dapat menggerus nilai-nilai nasionalisme bangsa, apalagi apabila ada faktor pendorongnya yaitu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Derasnya arus informasi yang masuk ke Indonesia akibat pesatnya perkembangan Iptek bisa berdampak positif maupun negatif. Sisi positifnya antara lain; pemerintahan harus dijalankan secara terbuka dan demokratis; timbulnya pasar internasional dan kesempatan kerja; etos kerja yang tinggi; disiplin; dll. Sisi negatifnya-pun tidak kalah banyak, terutama apabila dihadapkan dengan nasionalisme bangsa, yaitu; munculnya paham liberalisme yang bisa menggerus nilai-nilai luhur Pancasila; tergerusnya identitas diri sebagai bangsa; kesenjangan sosial yang semakin tinggi; sikap apatisme dan individualisme yang semakin tinggi; dll.  Sisi negatif ini apabila kita biarkan dan tidak disikapi dengan benar dapat berpengaruh pada melemahnya daya saing bangsa.

Setelah 72 tahun Indonesia merdeka konteks nasionalisme Indonesia mengalami pergeseran makna, dari sisi politik sistem pemerintahan belum mampu mewujudkan cita-cita masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Dari sisi sosial budaya, generasi muda lebih familiar dengan budaya dari luar daripada budaya sendiri[1].  Kondisi nasionalisme yang semacam ini secara tidak langsung mempunyai hubungan dengan kinerja dan kondisi pemerintahan. Transparency International merilis indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia tahun 2017 dengan menggunakan skala 0-100. Nilai 0 artinya paling korup, sedangkan nilai 100 berarti paling bersih. Indonesia ada di peringkat ke-96 dengan nilai 37[2].  Menyikapi hal ini maka diperlukan kewaspadaan yang tinggi, agar pergeseran nasionalisme tidak mengganggu identitas bangsa yang akhirnya berdampak pada daya saing. Berkaitan dengan nasionalisme dan daya saing bangsa, kewasapadaan yang dimaksud adalah Kewaspadaan Nasional.

Permasalahannya: bagaimana membangun nasionalisme melalui inovasi di bidang Iptek guna menunjang daya saing bangsa.


Pembahasan
a.     Hubungan Nasionalisme dengan Iptek
Lebih dari satu abad kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional.  Tanggal 20 Mei 1908 merupakan tonggak sejarah kebangkitan bangsa yang dilandasi rasa nasionalisme tinggi untuk mewujudkan Indonesia merdeka.  Sejarah mencatat naik turunnya semangat nasionalisme bangsa dari mulai pergerakan kemerdekaan, perjuangan merebut kemerdekaan, mengisi kemerdekaan sampai dengan sekarang era reformasi.  Kemajuan Iptek telah mempengaruhi nasionalisme seperti rasa cinta tanah air, rela berkorban, bangga berbangsa dan bertanah air, dll dari masa ke masa.

Semangat nasionalisme di era Reformasi tidak lagi dititikberatkan pada upaya meraih kemerdekaan, melainkan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dengan berbagai karya nyata.  Untuk dapat berkarya dan mempunyai daya saing tentunya harus didukung dengan Iptek.  Iptek mempunyai  peran penting dan signifikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempertebal jiwa nasionalisme. Iptek dengan segala kemudahannya dapat mendorong manusia menjadi insan yang terdidik, intelektual dan nasionalis.  Jika rakyat Indonesia pandai dan cerdas, maka kemiskinan dapat ditekan dan bangsa Indonesia dapat tampil lebih maju dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.  Hal ini telah terbukti, pemuda-pemuda yang terdidik pada era kebangkitan telah melahirkan kesadaran untuk menjadi bangsa yang merdeka.

Di era globalisasi daya saing menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional. World Economic Forum (WEF) menggunakan 12 pilar untuk mengukur daya saing yang menjadi penentu dari pertumbuhan jangka panjang dan faktor esensial dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. 12 pilar tersebut diantaranya adalah Insitusi, Infrastruktur, Lingkungan Makroekonomi, Kesehatan dan Pendidikan Primer, Pendidikan Tinggi dan Pelatihan Peterampilan, Efisiensi Pasar Barang, Efisiensi Pasar Tenaga Kerja, Pengembangan Pasar Finansial, Kesiapan Teknologi, Besaran pasar, Kepuasan Berbisnis dan Inovasi[3].

Dari 12 pilar diatas, kita mengambil Teknologi dan Inovasi sebagai prasyarat menciptakan daya saing bangsa. Hal ini didasari atas laporan tentang tingkat daya saing negara-negara di dunia 2017-2018 (Global Competitiveness Index). Dari 137 negara, Indonesia menempati peringkat 36, namun dibidang kesiapan teknologi Indonesia masih terbilang buruk berada pada peringkat 80 dunia[4]. Berkaca dari hal ini maka sudah sewajarnya apabila kita menerapkan Iptek yang inovatif dengan tujuan membentuk karakter bangsa yang menjunjung tinggi nasionalisme yang dapat meningkatkan kemandirian dan produktivitas kerja, diiringi peningkatan taraf pendidikan dan pendapatan masyarakat di masa depan sehingga mampu bersaing dan sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. 

Agar perkembangan Iptek bisa sejalan dengan nasionalisme, maka perlu dikemas penerapan Iptek yang inovatif dihadapkan dengan era kekinian dengan menerapkan nilai-nilai cinta tanah air, rela berkorban, bangga berbangsa dan bernegara, dll. Dengan demikian perlu dibangun suatu paradigma dalam menerapkan Iptek, yaitu Iptek sebagai; (1) alat atau berupa produk teknologi yang bisa digunakan dalam pembangunan nasionalisme; (2) bagian dari materi yang bisa dijadikan isi dalam pembangunan nasionalisme; dan (3) program aplikasi atau alat bantu untuk manajemen yang efektif dan efisien dalam pembangunan nasionalisme.

Pertama, Iptek sebagai alat atau berupa produk teknologi yang bisa digunakan dalam pembangunan nasionalisme. Kata kuncinya adalah bangga menggunakan produk dalam negeri. Langkah inovatifnya bisa dengan mengekspresikan nasionalisme melalui karya nyata. Sekecil apapun karya yang dihasilkan, namun apabila memuat konten nasionalisme maka karya tersebut sudah merupakan kontribusi positif.

Kedua, Iptek sebagai bagian dari materi yang bisa dijadikan isi dalam pembangunan nasionalisme. Saat ini adalah era digital sehingga membaca buku secara fisik terasa membosankan dan dianggap tidak mengikuti trend yang sedang berkembang, sehingga langkah inovatif yang bisa dilaksanakan adalah mendigitalisasikan literatur, sejarah perjuangan bangsa, budaya dan tulisan lainnya.

Ketiga, Iptek sebagai program aplikasi atau alat bantu untuk manajemen yang efektif dan efisien dalam pembangunan nasionalisme. Dalam hal ini yang bisa diterapkan adalah membudayakan menggunakan Aplikasi atau E-Commerce Indonesia. Ada cukup banyak aplikasi buatan anak bangsa yang tidak kalah berkualitas dan sudah menjadi populer di beberapa negara, seperti Gojek, Mivo, Ba Be, Tokopedia, Blibli, Traveloka, dll[5]. Tindak lanjutnya adalah bagaimana pemangku kepentingan dan pihak yang terkait mengemas aplikasi tersebut untuk bisa diselipkan konten yang berisi wawasan kebangsaan, pembangunan karakter dan isu nasionalisme.


b.     Implementasi Kewaspadaan Nasional
Globalisasi melahirkan pemahaman baru menyangkut keamanan, dimana keamanan erat sekali hubungannya dengan ancaman. Ancaman utama yang mengemuka saat ini mulai dari bahaya nuklir hingga terorisme global, ketidaksetaraan gender, kejahatan dunia maya (cyber crime), serta dampak perubahan iklim parah berupa badai dan banjir di beberapa belahan dunia[6]. Untuk menghadapi ancaman tersebut maka perlu dilakukan tindakan kewaspadaan berupa Kewaspadaan Nasional yang merupakan suatu sikap dalam hubungannya dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli dan rasa tanggung jawab serta perhatian seseorang warga negara terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari suatu potensi ancaman[7].

Mengingat Kewaspadaan Nasional bertolak dari keyakinan ideologis dan nasionalisme yang kukuh serta perlu didukung oleh usaha-usaha pemantauan sejak dini dan terus menerus terhadap berbagai implikasi dari situasi serta kondisi yang berkembang baik dari dalam maupun luar negeri, maka di bidang Iptek yang erat kaitannya dengan nilai-nilai nasionalilsme, informasi yang datang dari dunia maya perlu disaring dan ditelaah. Sangat perlu untuk membangun kewaspadaan dan ketahanan di bidang siber dengan melakukan kerjasama dan kolaborasi antara para pemangku kepentingan dan masyarakat selaku pengguna dengan mengedepankan pengelolaan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosional yang didasarkan atas kesadaran kolektif sebagai komponen bangsa yang mengutamakan kepentingan nasional berlandaskan semangat nasionalisme.

Pemerintah selaku regulator dan leading sector bertanggungjawab untuk mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang berwawasan kebangsaan dan membangun rasa nasionalisme. Peraturan perundangan maupun kebijakan yang dihasilkan, harus mampu memanfaatkan Iptek sebagai sarana utama untuk membangun watak dan karakter bangsa yang sadar akan identitas dan jati dirinya sebagai bangsa yang majemuk dan heterogen. Disisi lain, masyarakat selaku kelompok maupun sebagai individual pengguna Iptek, harus memiliki wawasan kebangsaan yang kuat agar mampu melakukan penilaian obyektif terhadap manfaat setiap informasi yang diterima.  Dengan penerapan ini diharapkan nasionalisme terbentuk, kewaspadaan masyarakat dan bangsa dapat terbangun dan pada akhirnya mewujudkan Kewaspadaan Nasional yang diharapkan.

Penutup.

a.     Simpulan.
Globalisasi mengakibatkan semakin sempitnya ruang dan singkatnya waktu yang akan mempengaruhi berbagai sektor kehidupan.  Pengaruh globalisasi akan makin cepat apabila adanya faktor pendukung utamanya, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sangatlah besar terhadap perkembangan nasionalisme, sehingga diperlukan langkah-langkah inovatif dalam penerapan Iptek. Namun demikian penerapan tersebut juga harus memperhatikan potensi ancaman yang mengikutinya, sehingga diperlukan langkah dan tindakan kewaspadaan dengan mengimplementasikan Kewaspadaan Nasional.

b.     Saran.
Melihat adanya kaitan yang erat antara Iptek dengan nasionalisme, maka Pemerintah selaku regulator harus mampu merumuskan peraturan perundangan maupun kebijakan yang mencerminkan kewaspadaan dibidang Iptek dan para pemangku kepentingan mendorong terciptanya inovasi kreatif dalam pemanfaatan dan pengelolaan Iptek yang mengandung konten nasionalisme.


[1] http://mediaindonesia.com/read/detail/52521-nasionalisme-indonesia-dulu-dan-kini
[2] https://news.detik.com/berita/d-3879592/indeks-persepsi-korupsi-2017-indonesia-peringkat-ke-96
[3] https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/10/04/tingkat-daya-saing-negara-negara-dunia-tahun-2017-2018-indonesia-naik-peringkat
[4] Ibid
[5] https://www.liputan6.com/tekno/read/3019362/3-aplikasi-karya-anak-bangsa-yang-mendunia
[6] http://kabar24.bisnis.com/read/20170918/19/691059/pbb-usung-8-isu-dalam-sidang-umum
[7] Bahan Ajar Bidang Studi Kewaspadaan Nasional, 

3.6.18

MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN


Indonesia terkenal sebagai Negara Gemah Ripah Loh Jinawi yang artinya Subur Makmur Loh Jinawi. Sangat tepat disematkan pada Indonesia karena mempunyai tanah subur, matahari bersinar sepanjang tahun, sumber air melimpah sehingga untaian kekayaan alam tersebut dapat menjadikan rakyatnya adil makmur dan sejahtera,  namun pada kenyataannya hal tersebut belum benar-benar dapat terwujud,  Indonesia belum mampu berdaulat di  bidang pangan, bahkan baru-baru ini saja kita diributkan dengan menurunnya stok daging sapi di pasaran yang berdampak mogoknya para pedagang daging.  Akankah hal ini akan terus terulang ? Jawabannya tentu saja, tidak.  Indonesia harus berdaulat di bidang pangan.

Pangan adalah semua bahan makanan termasuk hasil olahannya yang dapat dimakan, diminum, dan bermanfaat bagi kesehatan (tidak termasuk obat-obatan). Makanan ialah semua bahan hasil olahan pangan yang dapat dimakan, diminum, dan bermanfaat bagi kesehatan (tidak termasuk obat-obatan) (Depkes RI, 1992) (Seran dan Suek, 2012).  Pangan di Indonesia lebih banyak diartikan dengan melimpahnya produksi beras di pasaran, hal tersebut tidak terlalu salah, karena memang beras merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang menunjang kehidupan kita.  Ketersedian beras kita seharusnya melimpah, dilihat dari luasnya wilayah Indonesia dan iklim cuaca yang mendukung, namun pada kenyataannya areal sawah pertanian di Indonesia dari tahun ke tahun semakin menyusut sedangkan cuaca dangan adanya pemanasan global tidak  bisa diprediksi dengan mudah seperti dahulu kala.  Ditambah lagi dengan permasalahan penduduk yang tidak terkendali.

Ketika jumlah penduduk Indonesia semakin  bertambah maka konsumsi yang dibutuhkannya pun semakin tinggi. Laster Brown, kepala lembaga kebijakan bumi di Washington DC, mengemukakan bahwa keterbatasan pangan dapat menyebabkan runtuhnya peradaban dunia.  Menurut Brown, manusia mempertahankan kehidupannya dengan mengikis tanah dan menghabiskan persediaan air tanah lebih cepat dari  pemulihannya kembali. Laporan kompas menjelaskan bahwa populasi manusia di dunia mengalami peningkatan sebesar 1,2% setiap tahunnya sehingga kenaikan konsumsi pangan harus bisa mengimbangi  pertambahan penduduk demi kelangsungan hidup dimasa depan.
Permasalahan inilah yang harus dijawab untuk dapat mewujudkan kedaulatan pangan. Apa itu kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan adalah hak rakyat untuk menentukan sejauh mana rakyat ingin menentukan dan mengatur sendiri kebutuhan pangannya serta menjamin ketersediaan dan pemenuhuhan kebutuhan pangan secara mandiri dan berkecukupan.  Kedaulatan pangan didahului dengan ketahanan pangan.  Ada 5 karakteristik yang harus dipenuhi sebagai syarat ketahanan pangan masyarakat menurut FAO (1996) yaitu : pertama :  Kapasitas (capacity), kemampuan menyediakan (menghasilkan dan menyimpan) pangan dalam jumlah dan kualitas yang memadai, kedua :  Pemerataan (equity), kemampuan ketersediaan pangan menjangkau seluruh keluarga, individu atau masyarakat, ketigaKemandirian (self-reliance), mengandalkan kekuatan sendiri untuk memperoleh ketersediaan pangan sehingga mampu menghadapi fluktuasi  pasar dan tekanan politik dari dalam dan dari luar, keempatKeandalan (reliability), kemampuan meredam dampak variasi musiman ataupun siklus tahunan, sehingga kecukupan ketersediaan pangan dapat dijamin setiap saat, dan yang terakhir  Keberlanjutan (sustainability), mampu menjaga keberlanjutan kecukupan sediaan pangan dalam jangka panjang dengan tanpa merusak kualitas lingkungan hidup.

Untuk dapat mewujudkan kedaulatan pangan dibutuhkan kebijakan yang mendukungnya, dalam hal  ini  adalah Politik Pangan.  Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan Pangan nasional yang berbasis Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan. Kedaulatan Pangan mencerminkan hak menentukan kebijakan secara mandiri, menjamin hak atas Pangan bagi rakyat, dan memberi hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem usaha sesuai dengan potensi sumber daya dalam negeri. Sedangkan Kemandirian Pangan merupakan wujud kemampuan negara memproduksi Pangan di dalam negeri secara bermartabat. Politik Pangan yang diharapkan sekarang ini tidak lagi sekedar terjaminnya harga dasar (floor price) tetapi lebih kepada swasembada pangan dan stabilitas harga. 

Politik Pangan harus ditunjang dengan beberapa hal seperti : 1) Pembaruan Agraria; 2) Adanya hak akses rakyat terhadap pangan; 3) Penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan; 4) Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan; 5) Pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi; 6) Melarang penggunaan pangan sebagai senjata;  7) Pemberian akses ke  petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian, 8) Sistem logistik yang terpadu, dan 8) Distribusi yang lancar dan menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.

Politik Pangan ini harus dimengerti dan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara bersamaan, karenanya penjabaran Politik Pangan membutuhkan sinergitas pemerintah pusat dan daerah, antar kementerian/lembaga dengan melibatkan peran aktif perguruan tinggi, pelaku usaha, dan masyarakat dalam membentuk regulasi untuk  membangun ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan.