29.1.10

CP: PSA - 01 TRAGEDI MY LAI


Jauh sebelum Tragedi My Lai mencuat kepermukaan dan mempermalukan US Army khususnya Divisi Amerikal atau Divisi Infantri ke-23 Perang Dunia II, Mayor Colin Powell Perwira G-3 yang baru menjabat di Divisi tersebut pada suatu sore di pertengahan Maret 1969 dikagetkan dengan kedatangan seorang staf Inspektur Jenderal MAVC ( Military Assistance Command in Vietnam ) yang menanyakan tentang kejadian menonjol dari laporan harian operasi dari Divisi Infanteri ke-23 selama bertugas di Vietnam.


Sebagai seorang Perwira G-3 yang mengurusi perencanaan dan operasi, Mayor Colin Powell tidak bisa berkata tidak, kecuali mengatakan “ Ya “ ketika dirinya ditanya apakah ia menyimpan atau menjaga catatan-catatan harian operasi dari Divisi, terutama tentang laporan harian pada bulan Maret 1968 yang menerangkan tentang keberhasilan pasukan yang ditandai dengan angka-angka yang tak biasaanya dari musuh yang dibunuh pada hari kapanpun pada periode tersebut, demikian seperti yang diungkapkan pada buku, Colin Powell, Perjalanan Seorang Amerika yang ditulis oleh Joseph E. Persico.


Colin Powell tidak bisa menolak dengan alasan pada periode tersebut ia belum bergabung dengan Divisi Amerikal. Powell tiba di Vietnam pada pertengahan Juli 1968 pada penugasan yang ke dua di Vietnam, dengan tugas sebagai Perwira Pelaksana dari Batalyon ke -3, Infantri ke 11, dan dua bulan kemudian pada bulan Agustus 1968 dirinya diminta Mayjen Charles M. Gettys, Komandan Divisi Amerikal menjadi Perwira G-3 Divisi, sambil menunggu pejabat yang sebenarnya Letkol Richard D. Lawrence yang harus terlebih dahulu melengkapi 3 bulan masa tugasnya sebagai Komandan Squadron Persenjataan.


Setelah membolak balik laporan tahun lalu, Powell akhirnya menemukan laporan tanggal 16 Maret 1968 dari Kompi Charlie Brigade 11 yang telah melaporkan hasil pertempuran dengan jumlah mayat sebanyak 128 musuh tewas di Batangan Peninsula.


Mengacu pada kondisi saat itu, dimana kegiatan patroli dan pertempuran yang dilaksanakan oleh prajurit US Army merupakan pekerjaan yang berat dan suram, maka perolehan angka korban musuh dengan jumlah tersebut adalah “sesuatu yang besar”.


Menyadari bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi, sambil meningkatkan kehati-hatian dan rasa ingin tahu yang meningkat, Powell minta izin untuk melaporkan pengecekan hal tersebut kepada Staf Kepala Divisi, yang kemudian ia mendapat jawaban yang singkat “ Kerja sama dengan dia “. Akhirnya catatan tanggal 16 Maret 1968 tersebut dibacakan dan dimasukkan kedalam rekaman.


Pengawasan dari staf Inspektur Jenderal MAVC tersebut menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi Powell, sama halnya ketika Perwira tersebut datang dan kemudian pergi lagi tanpa memberikan komentar apapun.


Baru kemudian pada musim gugur 1969, terkuak rahasia ada apa dibalik kunjungan staf Inspektur Jenderal MAVC ke Divisi Amerikal yang menanyakan kejadian yang telah terjadi tepat setahun yang lalu. Dunia dibuat tersentak dengan berita kekejaman prajurit Amerika di Batangan Peninsula, tepatnya di desa Son My di kampung yang dinamai sebagai My Lai 1, 2, 3 dan 4 yang dijuluki "Pinkville" oleh tentara Amerika karena daerah tersebut tercetak dalam warna merah jambu di peta mereka.


Daerah Batang Peninsula merupakan suatu daerah yang mempunyai reputasi panjang bagi kekerasan dan kepahitan pertempuran jauh sebelum tentara Amerika terlibat dalam perang Vietnam. Batang Peninsula merupakan lobang neraka bagi tentara Perancis yang masuk terlebih dahulu ke Vietnam . Demikian pula halnya dengan prajurit Amerika, setiap saat US Army mengirim pasukan kesana, mereka harus siap untuk menghadapi lusinan operasi amputasi anggota tubuh akibat kecelakaan traumatis dari ranjau-ranjau dan perangkap-perangkap yang dipasang oleh pihak Vietcong atau VC beserta simpatisannya yaitu penduduk desa yang pro terhadap mereka.


Pada hari naas tersebut, yaitu pagi hari 16 Maret 1968, Kompi Charlie dari Brigade -11 memasuki Desa Son My. Namun para pemberontak VC yang mereka cari telah meninggalkan kampung tersebut. Salah satu peleton yang dipimpin oleh Letnan William Calley, kemudian menggiring penduduk menjadi satu kumpulan dari ratusan pria, wanita, anak-anak, bahkan bayi bayi dari dusun My Lai kedalam sebuah parit, untuk kemudian dibunuh dengan cara ditembaki dengan senjata otomatis. Sebagian dari penduduk tersebut sebelum dibunuh ada yang disiksa atau diperkosa.


Peristiwa tersebut dilaporkan oleh Kompi Charlie dari Brigade 11 sebagai sebuah keberhasilan operasi dengan hasil 128 mayat musuh. Memang pada masa perang Vietnam, keberhasilan prajurit Amerika dalam pertempuran dinyatakan dengan “ hitung mayat “, bukannya seberapa banyak atau seberapa luas wilayah atau lokasi strategis yang berhasil mereka kuasai.


Hal tersebut tidak terlepas dari awal-awal masuknya Amerika ke Vietnam untuk berperang melawan VC, mereka sempat frustasi menghadapi tentara VC yang menerapkan taktik gerilya, yaitu Hit and Run. Hampir setiap hari tentara Amerika diganggu dan ditembaki oleh VC dari balik kegelapan semak belukar atau hutan, dan sebagai respon wajar mereka membalas menembak, tetapi kontak tembak yang terjadi tidak menghasilkan apapun bagi prajurit Amerika selain munisi mereka yang habis terbuang, dan kadangkala korban luka gugur pada pihak mereka sendiri.


Amerika pada awal mereka masuk ke Vietnam, bagai berperang dengan hantu, mereka hanya bertempur dengan suara tembakan dengan hasilnya kemudian hanyalah jejak-jejak VC yang melarikan diri kedalam hutan, atau kalau mereka beruntung hanya menemukan jejak ceceran darah yang menghilang kedalam hutan. Jejak ceceran darah itupun belum bisa dipastikan adalah jejak darah dari pemberontak VC yang tertembak melarikan diri atau bisa jadi hanya sekedar darah hewan sebagai trik tipuan penyesatan untuk memancing prajurit Amerika masuk lebih dalam kedalam hutan.


Sangat jarang dan susah sekali bagi prajurit Amerika pada saat itu untuk menentukan keberhasilan pertempuran atau kontak tembak, sedangkan mereka harus mempertanggungjawabkan munisi yang telah dikeluarkan. Kalaupun pihak pemberontak VC ada yang benar-benar terkena tembakan yang mengakibatkan luka atau mati, kebiasaan dari pemberontak VC adalah berupaya semaksimal mungkin untuk membawa rekan mereka yang tertembak walaupun sudah mati kedalam hutan dan tidak ditinggalkan demikian saja. Sehingga hal tersebut menyulitkan bagi US Army untuk menghitung kemenangan mereka dalam pertempuran. Inilah yang membuat frustasi Amerika baik prajuritnya dilapangan maupun petinggi petinggi US.Army yang berada di balik meja.


Mengacu kepada kondisi tersebut, maka lahirlah kebijakan US. Army untuk menentukan keberhasilan suatu pertempuran dengan cara “hitung mayat”. Sistem ini lahir akibat desakan Pentagon terhadap US. Army yang telah menanamkan modal kehidupan yaitu “manusia/prajurit” dan milyaran dollar yang dihamburkan untuk membiayai sebuah peperangan. Pentagon dan US. Army telah hampir putus asa menentukan suatu alat ukur yang dapat dipakai untuk menentukan keberhasilan tujuan militer mereka.


Sistem hitung mayat sendiri menimbulkan kelicikan tersendiri bagi prajurit Amerika untuk melaporkan keberhasilan mereka. Seringkali mereka memberikan perhitungan yang tidak valid, dan lebih banyak hanya berdasarkan perkiraan yang dilebih-lebihkan. Hal ini senada seperti yang tertuang dalam buku Powell ( Perjalanan Seorang Amerika, 2001: 191) :


Setiap malam, kompi akan membuat suatu catatan angka.

“ Berapa banyak peleton anda mendapatkannya ? ”

“ Saya tidak tahu, kami yakin melihatnya dua.

“ Oh, ya. Jika kamu melihat dua, ada kemungkinan delapan. “

“ Jadi bilang saja sepuluh


Bahkan seorang, profesor hukum di Universitas Missouri-Kansas City - Doug Linder mengatakan dikalangan G.I. tersebar lelucon bahwa "apapun yang mati dan bukan putih adalah VC" dengan tujuan sekedar menghitung mayat semata ( wikipedia )

Pada penyelidikan lebih lanjut, kemudian terungkap bahwa korban tewas pada peristiwa My Lai berjumlah 347 bukannya 128 orang seperti yang dilaporkan dalam catatan operasi harian Kompi Charlie, namun sumber yang lain menyatakan korban tewas yang sebenarnya adalah 504 orang.

Pada 17 Maret 1970, US. Army melalui suatu pengadilan militer mendakwa 14 perwiranya telah menyembunyikan informasi yang berkaitan dengan Tragedi My Lai, namun kebanyakan dari dakwaan ini kemudian dibatalkan.

Letnan William Calley pada 1971, dinyatakan bersalah telah melakukan pembunuhan terencana dengan memerintahkan penembakan dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun dua hari kemudian campur tangan politis terjadi dalam kasus ini, Presiden Richard Nixon mengurangi hukuman Calley menjadi 3 tahun dan memerintahkan ia dibebaskan dari penjara.

Letnan William Calley kemudian hanya menjalani tahanan rumah selama 3½ tahun di markasnya di Fort Benning, Georgia, dan kemudian diperintahkan bebas oleh seorang hakim federal.

Dalam kasus ini Letnan William Calley mengklaim bahwa dirinya hanya sekedar mengikuti perintah dari Kapten Ernest Medina yang menyangkal telah memberikan perintah. Dalam kasus ini Kapten Ernest Medina dibebaskan dari tuduhan pembunuhan yang tidak direncanakan dalam tindakannya membiarkan kematian dari beberapa ratus orang penduduk Vietnam yang tidak berdosa.

Banyaknya Perwira US.Army yang semula dituduh terlibat dalam kasus Tragedi My Lai, kemudian dibebaskan. Hal tersebut tidak terlepas dari :….. “ bahwasanya pada mulanya Brigade Infanteri ke 11 sebenarnya telah dianugerahi sebuah Pujian Khusus untuk keberhasilannya “menewaskan 128 musuh”, sebelum kemudian kebenaran yang sebenarnya menyeruak kepermukaan.


Hal lainnya adalah bahwasanya gerakan ke Desa Son My telah direncanakan dan dibriefingkan terlebih dahulu oleh pejabat militer Amerika. Bahkan pada malam menjelang serangan itu, Kompi Charlie telah diberi masukan dan dinasihati oleh komando militer AS bahwa warga yang benar-benar sipil di My Lai akan meninggalkan rumah mereka untuk pergi ke pasar pada pukul 7 pagi hari berikutnya.


Dari briefing tersebut maka Kompi Charlie dapat menyimpulkan bahwa semua orang yang masih tinggal di rumah di Desa Son My pastilah Viet Cong atau simpatisan aktif Viet Cong. Tugas yang diberikan komando sudah sangat jelas, yaitu “hancurkan desa’. Pada saat briefing-pun, Kapten Ernest Medina sempat diberi pertanyaan apakah perintah itu termasuk membunuh kaum perempuan dan anak-anak; mereka yang hadir dalam briefing itu belakangan memberikan jawaban yang berbeda-beda tentang tanggapan Kapten Ernest Medina.


Dan kemungkinan hal lain yang tidak kalah penting yang mempengaruhi pembebasan tersebut, yaitu mengenai tuntutan keberhasilan suatu misi atau tugas dari pasukan yang ditandai dengan jumlah mayat. Sistem hitung mayat, dalam kasus ini patutlah juga dipersalahkan, karena dapat menjadi suatu motivasi tertentu dari para prajurit dilapangan untuk berbuat apapun demi mencapai atau dicap berhasil dalam tugas.


Entah sekarang Kasus My Lai ini dianggap keberhasilan atau sebuah tragedi bagi US. Army, namun kejadian tersebut sungguh suatu ironi yang patut kita renungkan, akankah nilai suatu keberhasilan akan mengalahkan hati nurani dan prinsip dasar kemanusiaan.


Wallahualam.


Lesson to learn yang patut kita petik dari Tragedi My Lai antara lain adalah :


Satu, suatu operasi militer yang telah direncanakan dengan matangpun, kadangkala tidak berhasil atau membawa dampak sampingan yang merugikan perorangan maupun satuan. Karenanya perlu adanya ketegasan dari unsur pimpinan atau si pemberi perintah tentang batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dilapangan.


Kedua, perang yang berlarut dan berlangsung lama, biasanya menyebabkan prajurit melaksanakan tugas tidak dengan benar. Kejenuhan dilapangan biasa diletupkan prajurit dengan tindakan yang tidak terkontrol mana kala amarah datang pada saat misi berjalan tidak sesuai dengan rencana.


Ketiga, prajurit muda haruslah selalu didampingi dan diawasi oleh prajurit yang lebih senior dan berpengalaman. Pada kasus perang Vietnam, karena kebutuhan tentara yang banyak terutama pada level Bintara atau NCO, maka US.Army mengambil kebijakan dengan menciptakan bintara secara langsung, yaitu dengan cara ambil seorang prajurit, berikan sedikit latihan, goyang satu-dua kali, maka sudah layak menjadi seorang NCO. Seberapa baik dan gagahnya anak muda, tetaplah mereka prajurit hijau yang tidak berpengalaman. Salah satu hasil evaluasi US.Army bahwa terlalu banyak keterlibatan Perwira dan Bintara yang belum siap berperang yang diberi tanggung jawab melebihi pengalaman mereka, itulah yang menggiring mereka dalam penghancuran moral, disiplin dan penilaian profesional untuk menilai mana yang baik dan benar.


Keempat, Keberhasilan suatu misi harus ditentukan semenjak awal dengan terang benderang dan dapat dipertanggungjawabkan dari aspek hukum dan moral. Penerapan sistem keberhasilan suatu misi yang tidak tepat, akan menyebabkan prajurit dilapangan akan memaksakan diri untuk mencapai keberhasilan dengan berbagai macam cara atau bahkan menghalalkan segala cara. Sistem penentuan keberhasilan suatu misi yang tidak tepat dihadapkan pada misi atau tugas atau perang yang sedang dihadapi akan mudah menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dari mulai manipulasi data sampai dengan rekayasa kejadian bahkan laporan palsu yang sekedar untuk mendapatkan pujian atau menghindari dari hukuman atau celaan karena satuan tersebut dicap sebagai satuan yang tidak berhasil menjalankan tugas.


Semoga kasus diatas dapat kita jadikan sebagai pelajaran dan guru yang baik dalam menjalankan tugas-tugas kita dimasa depan.


Disarikan dari beberapa bab Buku : Colin Powell, Perjalanan Seorang Amerika dan beberapa sumber lain ( wikipedia ).

bersambung ke CP: PSA - 02


Salam,

Imung



20.1.10

HIDUP YANG LEBIH HIDUP

Keaneka ragaman hidup: antara Nyentrik dan Mbalelo


Hidup adalah suatu dinamika yang tidak bisa kita hindari,

Karena hidup itu adalah kehidupan,

yaitu sesuatu yang memiliki makna atau arti

yaitu sesuatu yang memiliki pergerakan dan bukannya sesuatu yang statis.

Namun, tatkala hidup itu menjadi suatu rutinitas, maka rasa akan hidup itu perlahan tapi pasti akan menjauh, berhenti atau bahkan menjadi tiada makna.

Sehingga tidaklah jarang kita mendapati seseorang yang mengaku merasa terasing di dalam pergaulan kehidupannya sendiri, atau seseorang justru merasa kesepian padahal ia sedang berada ditengah tengah riuh rendahnya gerombolan manusia yang sedang asik bercengkerama.


Anehkah hal tersebut ?

Tidak juga, kalau kita mau menyelami tentang makna kehidupan.

Menyadari bahwa hidup adalah suatu dinamika, maka tidaklah heran apabila dinamika itu “mati”, maka “rasa” akan kehidupan pun seolah olah ikut mati pula.


Dimensi dari makna kehidupan itu sendiri adalah adanya pertalian yang erat antara rasa dan karsa yang saling mempengaruhi yang kemudian melahirkan suatu energi tersendiri yang menggerakkan hati, nurani dan raga. Ketika persatuan hati dan nurani yang dilandasi rasa dan karsa mampu menggerakkan raga, itulah kehidupan.


Hidup yang lebih hidup.

Manusia adalah mahluk sosial yang diciptakan oleh ALLAH SWT dengan segala kesempurnaannya. Namun demikian karena sempurna yang benar benar sempurna itu hanyalah milik ALLAH SWT, maka kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia mempunyai batasan dan hanyalah bersifat fana belaka, yang sewaktu-waktu bisa hilang ataupun pergi (dengan sendirinya) dari dirinya.


Ditambah lagi, karena manusia memiliki ego yang menyebabkan manusia tidak akan pernah puas dengan segala sesuatu yang sudah dimiliki, maka manusia akan terus berupaya untuk mencari dan mencari untuk lebih memiliki dan memuaskan dirinya sebesar-besarnya.


Maka tidaklah mengherankan kemudian pada diri manusia timbul suatu keinginan untuk “Hidup Yang Lebih Hidup”.

Karenanya suatu saat, untuk lebih menikmati hidup yang lebih hidup

Manusia kadang “melanggar aturan”, “breaking the rule “atau lebih biasa dikenal dengan “melanggar pakem”.


Bolehkah hal ini dilakukan ?

Sebenarnya hal tersebut boleh-boleh saja, sah-sah saja

Karena setiap rasa dan karsa dari kehidupan manusia berbeda antara satu dengan yang lain.


Namun demikian sebelum kita keluar dari pakem kehidupan, haruslah terlebih dahulu mengerti dan memahami pakem yang berlaku, sehingga tindakan diluar pakem yang kita lakukan, benar benar kita sadari kebenaran, maksud dan tujuannya.


Apa itu pakem kehidupan ?,

Yang dimaksud pakem kehidupan disini adalah suatu norma dasar tentang tata cara berkehidupan yang “disepakati” kebenarannya oleh kebanyakan untuk dipakai saling berinteraksi antar sesama.


Kenapa disepakati bukannya diyakini. Inilah yang perlu disadari, karena antara kesepakatan dan keyakinan mempunyai pengertian yang berbeda.


Kesepakatan pada akhirnya menimbulkan suatu penerimaan dari suatu kondisi tertentu, sedangkan keyakinan adalah suatu bentuk pembenaran terhadap sesuatu yang kadangkala bertentangan dengan kesepakatan yang ada.


Mengerti dan memahami pakem adalah suatu hal yang mutlak, karena pakem inilah yang selama ini dipakai oleh khalayak kebanyakan sebagai norma dasar dalam berkehidupan, sehingga dengan mengerti dan menguasainya, tindakan diluar pakem yang kita lakukan dipandang khalayak hanyalah sebatas “nyentrik” belaka, bukannya sebagai tindakan yang “mbalelo”.


Nyentrik.

Kenyentrikan dalam hidup adalah suatu yang wajar wajar saja saat ini, karena, seiring dengan perkembangan jaman, dimana manusia lebih terbuka mata, cara pandang dan wawasan, menjadikan manusia lebih bisa menerima suatu hal yang baru, suatu sudut pandang yang baru, daripada hal-hal yang normal begitu saja.


Seperti diketahui, kenyentrikan yang berasal dari kata, nyentrik mengandung arti unik, lain daripada yang lain, dan tidak pada umumnya (melawan arus) terlepas dari benar atau salah.


Dengan demikian, maka kenyentrikan seseorang dalam rangka menikmati hidup yang lebih hidup tidak bisa serta merta dianggap negatif atau salah. Dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami pakem atau norma yang berlaku maka tindakan nyentrik yang dilakukan tentunya sudah dilandasi dengan parameter yang dapat dipertanggungjawabkan.


Parameter inilah yang kemudian menjadi acuan “benar” atau “salah” tindakan nyentrik tersebut. Karena kadangkala sesuatu yang salah tetapi karena khalayak banyak sudah terbiasa dengan kesalahan tersebut, atau sudah biasa melakukan kesalahan tersebut, maka ketika ada pendatang baru yang “justru melakukan hal yang benar” maka ia lah yang dikatakan salah, bukannya sebaliknya. Inilah suatu keanehan dari hidup, tapi itulah yang kemudian menjadikan hidup itu lebih berdinamika, sehingga tidaklah heran kemudian melahirkan suatu genre baru, yaitu sekelompok orang yang ingin menikmati hidup yang lebih hidup.


Mbalelo.

Bagaimana dengan mbalelo ?

Nyentrik sangatlah berbeda dengan mbalelo, karena mbalelo, yaitu suatu kosa kata dari bahasa jawa yang berarti menentang atau tidak mengikuti petunjuk atau aturan lebih condong kepada perlawanan dengan keras terhadap arus kehidupan atau norma dasar yang berlaku dan diyakini oleh khalayak.


Mbalelo lebih mengutamakan atau mengedepankan selera pribadi atau pandangan pribadi yang meyakini diri pribadinyalah yang betul, sedangkan pandangan orang lain itulah yang salah, tanpa mau melihat aturan atau norma yang berlaku.


Memang disadari bahwa suatu aturan atau norma di dunia ini yang notabene adalah buatan manusia tidaklah sempurna, tidak kekal sifatnya dan dapat dirubah rubah sesuai dengan kepentingan, atau jaman yang dihadapi atau rezim yang berkuasa.


Namun demikian seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk dapat menjalin suatu interaksi yang positif antar sesama manusia, maka diperlukan akan adanya pemahaman dan pengertian tentang pakem yang berlaku. Pengertian dan pemahaman tentang pakem yang berlaku disini adalah adanya “kemauan” dan “kesadaran” untuk menerima dan menjalankan pakem tersebut.


Dalam konotasi nyentrik, pakem yang ada tetap diterima dan dijalankan namun dipoles dan disentuh sedikit ( atau banyak ) dengan suatu rasa atau seni, sehingga dalam implementasinya menjadikan sedikit berbeda dengan sesuatu yang ada, namun sesuatu tersebut menjadi lebih bermakna, menjadi lebih hidup bagi si pelakunya.


Namun dalam konotasi mbalelo, segala aturan dan pakem yang berlaku ditabrak begitu saja, dianggap salah. Si pelaku lebih mengedepankan ego daripada rasa atau seni, sehingga walaupun sesuatu yang dilakukan itu dirasa lebih hidup, tapi itu hanya pada dirinya saja namun pada akhirnya menjadi tidak bermakna bagi orang lain, karena keunikan yang diciptakan tidak menimbulkan pengakuan dari orang lain yang menjadi nilai pembenaran dan pemuasan.


Karena interaksi antar manusia akan lebih hidup apabila adanya pengakuan, dan dari pengakuan tersebut akan menimbulkan rasa ingin mencoba, mencontoh dan meniru bagi yang lain. Sehingga premis tentang manusia tak akan pernah puas dapat terbukti kebenarannya.


Maka, marilah kita menikmati hidup ini, dan apabila kita mampu marilah kita menikmati hidup yang lebih hidup.

Salam,

12.1.10

KARAKTER MANUSIA

Empat karakter manusia

Orang itu terbagi menjadi empat karakter :

Pertama, orang yang tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tahu, dialah orang alim, maka bertanyalah (belajarlah) kepadanya.

Kedua, orang yang tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tahu. Inilah orang yang lupa. Maka ingatkanlah ia.

Ketiga, orang yang tidak tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Inilah orang yang minta bimbingan, maka bimbinglah ia.

Keempat, orang yang tidak tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, inilah orang bodoh. Maka jangan bergaul dengannya.