14.5.18

MEWUJUDKAN KEAMANAN SIBER MENJAWAB TANTANGAN GLOBALISASI




Di ASEAN kita perlu memastikan 
kerangka kerja sama
 di bidang keamanan siber 
juga memuat pelindungan data pribadi.
Untuk itu kerja sama siber merupakan keharusan

(Presiden Joko Widodo)
Rapat Pleno KTT Ke-32 ASEAN di The Istana Singapura



Pendahuluan:
Globalisasi adalah sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari oleh semua bangsa dan negara di dunia.  Globalisasi telah membawa pengaruh pada keterhubungan dan keterpengaruhan hidup diantara bangsa-bangsa, dimana globalisasi telah menhadirkan isu-isu kompleks dan berbagai ancaman  utama mulai dari bahaya nuklir hingga terorisme global, ketidaksetaraan gender, kejahatan dunia maya, serta dampak perubahan iklim parah berupa badai dan banjir di beberapa belahan dunia.[1]  Demikian pula halnya dengan Indonesia, salah satu ancaman utama yang sedang dihadapi adalah ancaman dunia siber yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan informasi. 
Kemajuan teknologi dan informasi dewasa ini bagaikan pedang bermata dua, disatu sisi dunia maya/siber merupakan sebuah kebutuhan bagi kehidupan manusia dan menjadi penghubung komunikasi manusia satu dengan yang lain tanpa dibatasai jauhnya jarak, namun disisi lain terdapat sisi negatif yang ditimbulkannya, dari mulai yang ringan seperti efek ketergantungan sampai dengan yang berat berkaitan dengan sektor keamanan suatu negara, berupa ketegangan antar negara-negara dan mengganggu stabilitas keamanan serta menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan bahkan bisa mengganggu hubungan antar negara.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat sepanjang tahun 2017 dihadapkan dengan populasi penduduk Indonesia yang mencapai 262 juta orang, lebih dari 50 persen atau sekitar 143 juta orang telah terhubung jaringan internet.[2]  Jumlah ini menempatkan Indonesia diperingkat ke lima pengguna internet dunia dengan total angka 3,8 miliar (RRT 738,5 juta, India 462,1 juta, US 286,9 juta, Brasil 139,1 juta dan Indonesia 132,7 juta).[3]  Namun demikian jumlah yang besar tersebut juga perlu menjadi perhatian dihadapkan dengan Ketahanan Nasional, karena sifatnya yang maya tersebut menjadikan serangan siber tidak mudah dideteksi apalagi kecepatan dan luasnya sebaran serta dampak yang ditimbulkannya sangat signifikan dan mengerikan.
Permasalahannya: Bagaimana mewujudkan ketahanan di bidang siber  menghadapi tantangan globalisasi.

Pembahasan
a.     Ancaman Siber.
Informasi, media dan dunia internet dewasa ini sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, dengan semakin berubahnya dunia akibat pengaruh lingkungan strategis mengakibatkan timbul jenis kejahatan baru, yaitu kejahatan siber (cybercrime). Dalam hukum siber, cybercrime didefinisikan sebagai tindak pidana apa saja yang dilakukan dengan memakai komputer (hardware dan software) sebagai sarana atau alat, komputer sebagai objek baik untuk memperoleh keuntungan atau tidak, dengan merugikan pihak lain.[4]   
Jenis dan pelanggaran kejahatan siber sangat beragam sebagai akibat dari penerapan teknologi.  Berdasarkan kegiatan yang dilakukannya kejahatan siber meliputi akses illegal, konten illegal, penyebaran virus, spionase siber, sabotase, pemerasan, penggunaan kartu (carding), hacking dan cracker, siber terorisme, dll.
 Dalam perkembangannya serangan siber bukan hanya menyerang sekor pribadi atau swasta, bahkan sudah ada bukti kejahatan siber juga menarget dan menyerang unit-unit vital negara secara efektif dan masif. Contoh kejahatan yang terkenal karena efek dahsyatnya adalah Ransomware Wannacry.  
WannaCry adalah sebuah serangan siber yang menyerang seluruh dunia pada bulan Mei 2017 yang mengakibatkan data vital suatu jaringan komputer terekripsi, dan meminta tebusan menggunakan Bitcoin untuk mengembalikan data yang telah dienkripsi.  
Di Indonesia WannaCry menyerang RS Dharmais dan RS Harapan Kita yang menyebabkan data pasien dalam jaringan komputer tidak bisa diakses. Contoh lain serangan siber adalah; peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (Februari 2017); peretasan terhadap Telkomsel (April 2017); situs Dewan Pers Indonesia dan Kejaksaan Agung (Mei 2017) yang dampaknya merugikan.  
Peretasan situs KPU medio Februari 2017 yang saat itu tengah sibuk dalam penghitungan suara Pilkada DKI sempat menjadi isu nasional karena menyangkut kredibilitas KPU.  Jika hasil penghitungan final KPU nantinya berbeda dengan hasil hitung cepat (quick count) bisa berakibat penolakan salah satu pihak yang mengarah ketidak puasan massa dan stabilitas politik nasional, untungnya hal ini segera dapat diatasi.
Dari beberapa contoh diatas dapat dilihat dampak yang ditimbulkan oleh serangan siber bisa sangat cepat, meluas, masif, strategis dan mempengaruhi stabilitas nasional suatu negara sehingga membutuhkan penanganan yang serius dan terkoordinir oleh stake holder terkait.

b.     Tingkatkan Ketahanan Nasional di bidang Siber.
Berkaca dari serangan siber yang begitu sangat masif, Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII) mencatat sejak Januari hingga Juli 2017 terdapat 177,3 juta serangan siber yang masuk ke Indonesia, artinya setiap hari terjadi 836.200 serangan siber[5].  Maka pada Januari 2018 pemerintah telah meresmikan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Menurut pemerintah, badan ini didirikan untuk memperkuat pertahanan siber Indonesia mencegah serangan-serangan siber yang dilakukan oleh pihak luar.
Pembentukan BSSN merupakan salah satu bentuk aplikasi Ketahanan Nasional, dimana dalam menyusun suatu Ketahanan Nasional sangat dibutuhkan adanya informasi, data dan sumber yang menyangkut asta gatra (geografi, sumber kekayaan alam (SKA), demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan).  
Ketahanan Nasional di bidang siber diwujudkan dalam bentuk Keamanan Siber, sedangkan keamanan siber bertujuan untuk menangkal cyber crime yang menyerang sektor pribadi, swasta dan negara maka ada tiga aktor utama yang bertanggung jawab untuk meningkatkan Ketahanan Nasional di bidang siber, yaitu pemerintah, aktor non negara dan individu.
Pemerintah telah membentuk BSSN, namun bukan berarti tugas pemerintah telah selesai sampai disitu, masih diperlukan adanya penguatan peran dan fungsi BSSN dihadapkan dengan perkembangan lingkungan strategik yang demikian dinamis, apalagi perkembangan teknologi berbanding terbalik dengan pranata hukum yang mengaturnya. 
Teknologi informasi dalam hitungan tahun dapat berkembang sedemikian pesatnya, sedangkan hukum yang mengaturnya seolah-olah jalan ditempat.  Apalagi saat ini disamping BSSN masih terdapat badan siber lain (Satuan Siber Polri, BIN dan TNI) yang terlebih dulu terbentuk, sehingga tentunya perlu adanya sinergitas agar tugas dan fungsinya bisa saling menunjang dan tidak berbenturan di lapangan.
Aktor non negara juga berperan penting dalam peningkatan Ketahanan Nasional, karena keamanan siber terbentuk dari adanya kerja sama teknis dan keamanan internal, sistem yang tangguh dan teruji yang memiliki pola responsif dan yang paling penting terjalinnya sharing informasi.  Untuk itu aktor non negara yang dalam hal ini bisa dari sektor swasta, perbankan, akademisi dan lain-lain perlu untuk selalu membangun awareness, dengan cara mengadopsi perubahan teknologi dan membuat SOP dengan standar keamanan yang tinggi. Karena seringkali model pengembangan dan manufaktur teknologi yang tersedia seringkali tidak cukup mempertimbangkan kemungkinan resiko, atau kecepatan peningkatan ancaman modern yang dihadapi.
Peran individu juga tidak kalah penting, kesadaran publik akan rentannya mereka dari serangan kejahatan siber perlu dibangun dan ditingkatkan. Kesadaran ini diarahkan untuk timbulnya prilaku individu yang dapat mengurangi kegiatan-kegiatan beresiko yang berhubungan dengan kejahatan dunia maya. Baik yang bisa terjadi karena kealpaan, ketidak tahuan, keingintahuan, ikut-ikutan ataupun kegiatan dunia maya yang dilakukan secara sadar tapi individu tidak mengerti akan dampak yang dihasilkan dari tindakannya tersebut bisa merugikan orang lain. Disinilah peran pemerintah dan swasta hadir untuk ikut serta memberikan pendidikan siber kepada publik agar keamanan siber bisa terwujud dalam rangka peningkatan Ketahanan Nasional.

Penutup.
a.     Simpulan.
Globalisasi telah membawa perubahan mendasar diberbagai kehidupan masyarakat, salah satunya pada bidang teknologi informasi dimana telah terjadi arus informasi yang tidak bisa dibendung.  Disatu sisi penggunaan teknologi informasi adalah kebutuhan hidup tapi disisi lain dapat berdampak merugikan bukan hanya untuk pribadi tapi juga terhadap keamanan negara.  Sehingga diperlukan langkah konkrit berupa pengenalan ancaman kejahatan siber dan peran serta pemerintah, aktor non negara dan individu untuk mewujudkan keamanan siber guna meningkatkan Ketahanan Nasional.

b.     Saran.
Mengingat keamanan siber merupakan tanggung jawab bersama, maka perlu peran Pemerintah untuk memperkuat regulasi yang ada agar tidak ketinggalan dengan perkembangan teknologi informasi, memperkuat peran dan fungsi BSSN dan memberikan edukasi kepada publik agar timbul kesadaran menggunakan internet secara baik dan bertanggung jawab.


[1] http://kabar24.bisnis.com/read/20170918/19/691059/pbb-usung-8-isu-dalam-sidang-umum
[2] https://tekno.kompas.com/read/2018/02/22/16453177/berapa-jumlah-pengguna-internet-indonesia
[3] http://zonautara.com/blog/2018/01/30/data-indonesia-peringkat-kelima-pengguna-internet-dunia/
[4] Andi Hamzah, Aspek-Aspek Pidana di bidang Komputer, Jakarta: Sinar Grafika, 1987
 [5] https://nasional.kompas.com/read/2017/11/21/20480051/keamanan-siber-indonesia-tak-lebih-baik-dibandingkan-malaysia-dan-singapura

3.5.18

EKONOMI KERAKYATAN MENJAWAB TANTANGAN GLOBALISASI



Pendahuluan

    Globalisasi adalah sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari oleh semua bangsa dan negara di dunia.  Globalisasi telah membawa pengaruh pada keterhubungan dan keterpengaruhan hidup diantara bangsa-bangsa, dimana globalisasi telah menhadirkan isu-isu kompleks semacam Peace and global security; globalisasi dan regionalisme; energi; Hak Azasi Manusia; lingkungan hidup; terorisme dan radikalisme global; perdagangan manusia; narkoba; dan perubahan iklim.  Secara geopolitik dinamika geopolitik internal suatu negara dan kawasan sangat dipengaruhi oleh dinamika geopolitik yang berkembang di kawasan lain.

    Memandang konstelasi dan perubahan geopolitik yang sedemikian dinamis, tentunya diperlukan geopolitik dan geostrategi untuk menghadapinya. Geopolitik Indonesia dikembangkan berdasarkan nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan yang luhur seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka geopolitik Indonesia bertujuan untk menciptakan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional agar mampu mengatasi setiap ATHG yang diwujudkan dalam bentuk Wawasan Nusantara.

    Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategis yang terletak diantara dua benua dan dua samudera yang dikaruniai sumber kekayaan alam melimpah merupakan arena perebutan pengaruh oleh pihak asing. Disatu sisi SDA dan bonus demografi Indonesia memberikan potensi untuk menjadi negara besar dan berpengaruh di dunia, disisi lain potensi yang ada tersebut apabila tidak bisa dikelola dengan baik dan benar akan bisa menjadi bencana dan ancaman bagi Indonesia. Hal ini senada seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan di Pusdiklat Kemendikbud, Sawangan, Depok; “SDA melimpah tidak menjamin kesejahteraan sebuah bangsa, bisa saja melimpahnya SDA justru menimbulkan konflik”[1].  McKinsey Global Institute memperkirakan pada 2030 pertumbuhan kelas konsumen Indonesia menjadi 135 juta dari 45 juta penduduk yang saat ini berpendapatan USD 3.600 per kapita per tahun, survey MGI (2012) menyebutkan Indonesia berpotensi menjadi negara maju, setidaknya akan tercapai pada 2030 dan memperkirakan ekonomi Indonesia menjadi terbesar ketujuh dunia pada 2030.[2]  Apalagi bila ditunjang dari sisi sumber daya manusia dengan jumlah yang melimpah merupakan potensi sekaligus peluang pasar yang bisa menggerakkan perekonomian Indonesia. 

    Pembangunan Indonesia yang bertujuan untuk mewujudkan  negara Indonesia yang adil dan makmur tentunya tidak mudah, dibutuhkan modal pembangunan yang cukup besar. Jika seluruh kekayaan alam Indonesia dicairkan dalam bentuk uang, Indonesia diperkirakan memiliki aset hingga   mencapai sekitar Rp 200 ribu triliun,[3] namun Indonesia juga tercatat mempunyai hutang luar negeri cukup besar, sekitar Rp 4.915 triliun (kurs Rp 13.750 per dollar AS) atau sekitar 34,7 % terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Januari 2018.[4]  Dihadapkan dengan kebijakan proteksionis AS tentunya merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menyikapinya agar pembangunan ekonominya tetap berjalan dan tercipta daya saing yang kuat di era globasilasi saat ini. 

Permasalahannya: Bagaimana mewujudkan ekonomi kerakyatan menghadapi persaingan global.

  
Pembahasan

Ekonomi Kerakyatan sebagai Implementasi Wawasan Nusantara.
    Globalisasi  ekonomi merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa adanya rintangan berupa batas suatu negara. Menyikapi bahwa tantangan globalisasi ekonomi ini sudah di depan mata, pemerintah telah menerapkan tranformasi fundamental ekonomi yang bertumpu pada tiga aspek. Pertama, mengubah ekonomi berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis produksi, salah satu capaiannya adalah  pertumbuhan ekonomi pada Semester I 2016 meningkat menjadi 5,04% dibandingkan periode yang sama di tahun 2015 yang sebesar 4,79%. Kedua, kebijakan subsidi BBM yang dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan juga subsidi yang lebih tepat sasaran untuk pengentasan kemiskinan, wujudnya adalah realokasi subsidi BBM untuk membiayai infrastruktur seperti pembangunan tol laut dan jaringan kereta api baru di luar Pulau Jawa (Rp21 triliun), distribusi Kartu Keluarga Sejahtera Rp9,3 triliun, Kartu Indonesia Sehat (Rp2,7 triliun), Kartu Indonesia Pintar yang menjangkau 19,2 juta siswa (Rp7,1 triliun), pembangunan 25 waduk baru dan irigasi untuk 1 juta hektar sawah  (Rp33,3 triliun). Ketiga, mendorong pembangunan yang lebih merata di luar Pulau Jawa, realisasinya antara lain pembangunan jalan tol Trans Sumatera dan Papua.[5]  Melihat pencapaian tersebut memang telah terlihat pertumbuhan ekonomi, namun di sektor riil perlu diperkuat agar pondasi perekonomian Indonesia makin kuat, berdaulat dan mandiri.  Hal ini diperlukan untuk menjawab tantangan global di bidang perekonomian yang meliputi meningkatnya  ketergantungan  ekonomi  antar negara  melalui  peningkatan  volume  dan  keragaman  transaksi  antar  negara  (cross-border capital flows),  pergerakan  tenaga  kerja  (human movement)  dan  penyebaran teknologi informasi yang cepat.[6]

    Berkaca kepada pengalaman negara lain, kita tidak ingin Indonesia gagal dalam menerapkan kebijakan perekonomiannya, bukannya tampil mensejahterakan rakyatnya, tapi yang ada negara menjadi lebih terpuruk ke jurang kemiskinan. Negara di Dunia Ketiga sebagai contoh, kebijakan ekonominya dominan mengadopsi teori-teori Barat.  Seperti teori tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (The Stages of Economic Growth Theories)  yang bertumpu pada asumsi-asumsi ekonomi neo-klasik, teori internasionalis-struktural (The Structural Internationalist Theories) (Todaro,1977:87), dan teori keterbelakangan dan ketergantungan Marxis dan Neo-Marxis (Underdeveloped and Dependencia) (Clements, 1999: 59). Berbagai macam teori yang dipakai ternyata belum mampu mengakhiri keterbelakangan negara-negara  Dunia Ketiga. Hal ini karena pembangunan ekonomi yang dilaksanakan tidak melihat dan berlandaskan kondisi historis dan kultural setempat. Kalau ingin pembangunan ekonomi berlandaskan pada kondisi historis dan kultural setempat, maka implementasi Wawasan Nusantara tepat untuk dijadikan sebagai pedoman pembangunan ekonomi kita, karena Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungan keberadaannya dengan memanfaatkan kondisi dan konstelasi geografi dengan menciptakan tanggung jawab, motivasi, dan rangsangan bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasional.[7] Cara pandang tersebut berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 dengan memperhatikan sejarah dan budaya.

    Bung Hatta sebagai salah satu Founding Father sejak awal telah menawarkan konsep ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan pada dasarnya sejalan dengan Pasal 33 UUD NRI 1945 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.  Dalam ekonomi kerakyatan, kearifan lokal harus dikedepankan dalam konsep pembangunan ekonomi Indonesia dalam rangka memperkuat pondasi perekonomian nasional, karena ekonomi kerakyatan merupakan cermin kepribadian bangsa Indonesia. Sejarah telah mencatat peran nyata ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1997, dimana sektor ekonomi riil yang berbasiskan kerakyatan menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi saat itu. Para pelaku ekonomi kerakyatan di bidang pertanian dan agribisnis seperti petani, UKM, dan peternak menjadi sangat penting. Ketika usaha korporasi mengalami gulung tikar dan jumlah pengangguran meningkat maka sektor riil kerakayatan inilah menjadi tulung punggung perekonomian saat itu.

    Agar konsep ekonomi kerakyatan dapat berjalan seiring dengan konsep ekonomi kapitalis, maka dibutuhkan peran pemerintah sebagai regulator untuk bisa adaptif mempertemukan dua konsep tersebut. Ada dua hal yang bisa dilakukan, pertama; membuat kebijakan yang bersifat preventif untuk melindungi sistem ekonomi kerakyatan dan sekaligus pelaku ekonomi kerakyatan, dan yang kedua; mengembangkan potensi ekonomi kerakyatan di setiap daerah untuk mampu berkembang menjadi keunggulan kompetitif yang siap bersaing menghadapi arus globalisasi. Pengembangan yang dimaksud adalah pengembangan ekonomi lokal berbasiskan sumberdaya dan kreatifitas, yaitu para pelaku ekonomi kerakyatan harus bisa berkreasi se-kreatif mungkin agar produk yang dihasilkan mempunyai daya saing komperatif dan kompetitif sehingga bisa menciptakan pasar tersendiri, kemudian pada sisi kearifan lokal pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bisa mendorong timbulnya produk unggulan yang bercirikan daerah dengan konsepnya masing-masing (satu daerah menghasilkan satu produk unggulan), dengan demikian maka eksistensi ekonomi kerakyatan sebagai cerminan implementasi Wawasan Nusantara akan terjaga dan terlestarikan sehingga mampu bersaing di tingkat global.  Untuk itu diperlukan perubahan mindset pelaku ekonomi kerakyatan agar tidak lagi berorentasi pada pasar tradisional, tetapi pengembangan wawasan ke arah pemasaran yang lebih luas yaitu pasar global yang disertai dengan mengadopsi teknologi informasi dalam upaya membangun kinerja dan membangun jaringan (networking) yang lebih luas.

Penutup

a.    Simpulan.
         Globalisasi dan dampaknya merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari oleh semua bangsa dan negara di dunia. Globalisasi di bidang ekonomi merupakan suatu proses aktivitas ekonomi dan perdagangan,  dimana  berbagai  negara  di seluruh  dunia  menjadi  kekuatan  pasar yang satu dan semakin terintegrasi tanpa hambatan atau batasan  teritorial  negara. Dalam menghadapi tantangan globalisasi dibutuhkan suatu konsep pembangunan yang tepat berlandaskan kondisi historis dan kultural setempat. Dalam konteks pembangunan Indonesia maka penerapan ekonomi kerakyatan merupakan konsep yang tepat karena merupakan implementasi dari Wawasan Nusantara, dimana ekonomi kerakyatan merupakan cermin kepribadian bangsa Indonesia.

 b.    Saran.
        Pemerintah selaku regulator, dihadapkan dengan sistem kapitalis yang dihasilkan dari dampak globalisasi diharapkan mampu membangun ketahanan sistem perekonomian dengan membuat kebijakan preventif berupa proteksi dan pengembangan potensi ekonomi kerakyatan di setiap daerah.



[1] https://news.detik.com/berita/3853195/jokowi-sumber-daya-alam-tak-jamin-kesejahteraan-bangsa
[2] https://nasional.sindonews.com/read/1010858/18/potensi-indonesia-menjadi-kekuatan
[3] https://www.liputan6.com/bisnis/read/812149/indonesia-punya-kekayaan-sda-hingga-rp-200-ribu-triliun
[4] https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/15/173657526/naik-10-persen-utang-luar-negeri-indonesia-capai-rp-4915-triliun
[5] http://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2016/03/2-TAHUN-JOKOWI-JK-UPDATE-17-OKT-2016-KSP.pdf
[6] http://docplayer.info/240896-Globalisasi-dan-pembangunan-ekonomi-indonesia.html
[7] Bahan Ajar Bidang Studi Geopolitik & Wawasan Nusantara, hal 157

MENINGKATKAN PENGAMALAN PANCASILA ANGGOTA LEGISLATIF GUNA MEWUJUDKAN PARLEMEN YANG BERKUALITAS




Pendahuluan 

    Pancasila adalah Ideologi Nasional, Dasar Negara sekaligus Falsafah Pandangan Hidup Bangsa.  Pancasila  sebagai  dasar  dan  ideologi  negara  merupakan  kesepakatan   politik   para   Founding Fathers ketika negara Indonesia didirikan, dimana nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.  Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila berupa nilai kebersamaan, saling menghargai, peduli, toleransi, harmonis merupakan akar budaya bangsa. Dengan demikian Pancasila merupakan jati diri atau identitas bangsa Indonesia. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara maka sudah seharusnya Pancasila mendasari dan menjiwai semua proses penyelenggaraan negara  di berbagai  bidang  serta  menjadi  rujukan  bagi  seluruh  rakyat Indonesia dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupannya sehari-hari.

    Penyelenggaraan pemerintahan Indonesia tidak terlepas dari tata pemerintahan yang berlandaskan demokrasi. Konsep demokrasi negara Indonesia tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 yang menginginkan terwujudnya pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Semua itu merupakan gagasan-gagasan dasar yang melandasi kehidupan negara yang demokratis.  Pemerintahan demokratis diselenggarakan oleh Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

    Lembaga Legislatif yang diwujudkan dalam kehidupan Parlemen dengan fungsi legislasinya diharapkan mampu menghasilkan kebijakan dan produk hukum  yang benar-benar pro rakyat dan berlandaskan Pancasila. Namun pada kenyataannya kebijakan dan peraturan perundangan yang dihasilkan lebih kepada penyelesaian masalah semata, dan terkesan tidak mempedomani Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Hal ini tercermin dari rata-rata tingkat kehadiran anggota DPR di bawah 50 persen pada 2017.  Hal ini berkorelasi terhadap produktivitas yang rendah. Sepanjang 2017, DPR hanya mampu menghasilkan 11,5 persen produk legislasi dari target 2017 atau 6 undang-undang (UU) dari 52 rancangan undang-undang (RUU) prioritas.  Pada bidang pengawasan, sepanjang 2017 DPR membentuk 65 Panja untuk menindak lanjuti hasil pengawasan. Namun hanya 15 Panja yang memiliki hasil yang jelas. Sedangkan sisanya, 50 Panja tidak diketahui tindak lanjutnya atau tidak jelas.[1] Bertolak dari pemikiran bahwa UU merupakan acuan bagi penyelenggara pemerintahan untuk menjalankan agenda-agenda pembangunan mewujudkan kepentingan dan tujuan nasional, tentunya UU tersebut harus benar-benar dirasakan manfaatnya dan berguna bagi kehidupan masyarakat banyak dan agar produk hukum tersebut nantinya tidak digugat di Mahkamah Konstitusi. Maka Parlemen yang diawaki oleh politikus dalam praktik legislasinya harus berlandaskan nilai-nilai Pancasila.   Permasalahannya; bagaimana meningkatkan pengamalan Pancasila bagi anggota Legislatif agar dapat mewujudkan Parlemen yang berkualitas.

Pembahasan
a.    Pancasila sebagai Paradigma. 
         Pancasila sebagai dasar filsafat NKRI secara resmi disahkan oleh BPUPKI sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan dicantumkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.  Sebagai dasar negara, Pancasila pada hakikatnya merupakan nilai yang dikembangkan sebagai cita hukum yang mengembangkan nilai keseimbangan, keserasian, dan keselarasan serta persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjaga tetap tegak utuhnya NKRI. Hal ini perlu disadari dan diyakini oleh para penyelenggara pemerintahan, khususnya anggota Legislatif di Parlemen dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya.  Dalam kehidupan demokrasi, memang sudah seharusnya kita menempatkan Pancasila sebagai paradigma.  Paradigma menurut  Thomas Kuhn (1962) dikembangkan dari definisi paradigma pengetahuan adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Dalam artian paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual dalam memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk masyarakan ilmiah dalam disiplin tertentu.  Maka Pancasila sebagai paradigma berarti Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka acuan berpikir dan sekaligus sebagai kerangka arah dan tujuan bagi anggota Legislatif dalam menjalankan tugas dan fungsinya agar kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan selalu berlandaskan kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan menempatkan Pancasila sebagai paradigma, maka sistem politik yang dijalankan oleh anggota Legislatif harus dikembangkankan atas asas kerakyatan sesuai dengan sila IV Pancasila. Asas-asas moral dan etika yang terkandung dalam Pancasila harus menjadi pertimbangan dan landasan kerangka berpikir dan bertindak dalam memutuskan kebijakan dan produk hukum oleh anggota Legislatif.  Hal ini menjadi penting karena peran anggota Legislatif di Parlemen sangat menentukan dalam perjalanan hidup berbangsa dan bernegara, karena Parlemen merupakan hulu dari kebijakan negara.

b.    Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan politis Legislatif.
Dalam kehidupan demokrasi, Parlemen merupakan salah satu perwujudan praktik demokrasi, dimana dapat dikatakan Parlemen merupakan arena kontestasi kepentingan politik diantara berbagai kekuatan politik yang hendak mengambil peran menentukan arah kebijakan negara[2]. Dihubungkan dengan teori Kepemimpinan, maka Legislatif juga merupakan bagian dari Kepemimpinan Nasional.  William G. Scott (1973) dalam buku “Leadership Failures, the Distrusting Public, and Prospects of the Administrative State” menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas yang diorganisir dalam suatu kelompok dalam usahanya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkannya.  Sebagai bagian dari Kepemimpinan Nasional maka anggota Legislatif juga harus mengerti, menghayati dan mampu mengamalkan nilai-nilai Pancasila.  Dihadapkan dengan kinerja Parlemen tahun 2017 yang sangat rendah, dimana dari 52 RUU yang masuk dalam Prolegnas namun hanya dapat diselesaikan menjadi UU hanya 6 buah, belum lagi kalau ditinjau dari kualitas, tentunya ini merupakan catatan tersendiri bagi kita kalau menghendaki adanya Parlemen berkualitas, yang mampu menghasilkan kebijakan dan produk hukum sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat.  Pemimpin harus dapat menjadi contoh dan tauladan bagi yang dipimpin agar nantinya dapat dipercaya.  Kepercayaan masyarakat kepada Legislatif salah satunya dibangun dari kinerja dan sikap perilaku sehari-hari.  KPK mencatat selama 2017, pelaku korupsi terbanyak berasal dari pejabat birokrasi pemerintahan pusat dan daerah.  Tercatat ada 43 perkara korupsi yang melibatkan pejabat eselon 1 hingga 4.  Selanjutnya pelaku dari swasta terlibat di 27 perkara,  diperingkat ketiga, para anggota DPR dan DPRD tersangkut 20 perkara[3]. Berkaca dari “raport Legislatif” tersebut maka perlu langkah-langkah konstruktif dan konkrit bagi Legislatif untuk kembali berkaca kepada Pancasila.  Nilai kemanusiaan, nilai mufakat, musyawarah dan pewakilan serta kebijaksanaan yang berlandaskan etika dan moral adalah nilai-nilai  luhur yang terkandung dalam Pancasila.  Nilai-nilai ini harus diaktualisasi kembali sehingga dapat benar-benar dihayati dan diamalkan oleh anggota Legislatif.  Kita semua meyakini akan kebenaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, karena nilai-nilai tesebut disarikan dari adat istidat dan budaya luhur bangsa Indonesia.  Pengamalan yang dimaksud adalah dengan melakukan  Transformasi Pancasila kepada Parlemen secara intens, terencana dan terstruktur dengan tujuan untuk membentuk jiwa kepribadian, tingkah laku, sikap, moral dan etika anggota Legislatif agar sejalan dan selalu dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Pembentukan jiwa kepribadian, tingkah laku, sikap, moral dan etika akan melandasi pola pikir dan pola tindak anggota Legislatif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dibidang politik. Implementasinya dapat terlihat pada nilai sosial politik yang dijadikan moral anggota Legislatif, yaitu; 1) nilai toleransi, 2) nilai transparansi hukum dan kelembagaan, 3) nilai kejujuran dan komitmen, dan 4) bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3)[4]    Apabila langkah pengamalan Pancasila ini dapat terwujud maka outcome yang diharapkan adalah terwujudnya Parlemen yang berkualitas yang diawaki oleh anggota Legislatif yang menjunjung tinggi moral dan etika.

Penutup.
a.    Simpulan.
    Kinerja Legislatif yang direpresentasikan dalam Parlemen merupakan cerminan kualitas lembaga yang diwakilinya.  Nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi watak, karakter dan perilaku anak bangsa belum benar-benar dihayati dan diamalkan oleh anggota Legislatif, sehingga  kebijakan dan produk hukum yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat dalam mewujudkan tujuan nasional NKRI yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945.

b.    Saran.
    Diperlukan aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjadikan Pancasila sebagai paradigma disertai pengamalannya dengan melaksanakan langkah-langkah intens, terencana dan terstruktur untuk membentuk jiwa kepribadian, tingkah laku, sikap, moral dan etika anggota Legislatif agar terwujud Parlemen yang berkualitas.


[1] https://nasional.kompas.com/read/2017/12/26/14021761/2017-tahun-gelap-dpr,
[4] Bahan Ajar Bidang Studi Pancasila & UUD NRI 1945, 2018