4.11.14

ENTROPI


Entropi adalah salah satu besaran termodinamika yang mengukur energi dalam sistem per satuan temperatur yang tak dapat digunakan untuk melakukan usaha. Mungkin manifestasi yang paling umum dari entropi adalah (mengikuti hukum termodinamika), entropi dari sebuah sistem tertutup selalu naik dan pada kondisi transfer panas, energi panas berpindah dari komponen yang bersuhu lebih tinggi ke komponen yang bersuhu lebih rendah. Pada suatu sistem yang panasnya terisolasi, entropi hanya berjalan satu arah (bukan proses reversibel/bolak-balik). Entropi suatu sistem perlu diukur untuk menentukan bahwa energi tidak dapat dipakai untuk melakukan usaha pada proses-proses termodinamika. Proses-proses ini hanya bisa dilakukan oleh energi yang sudah diubah bentuknya, dan ketika energi diubah menjadi kerja/usaha, maka secara teoritis mempunyai efisiensi maksimum tertentu. Selama kerja/usaha tersebut, entropi akan terkumpul pada sistem, yang lalu terdisipasi dalam bentuk panas buangan.[1]

Secara bahasa sederhana dalam ilmu fisika Entropi adalah jumlah energi yang dihasilkan sebuah mesin adalah sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Namun, jika ada kerusakan komponen mesin, sebagian energi akan digunakan untuk mengatasi kerusakan tersebu, Energi inilah yang dinamakan entropi.

Contoh pada kendaraan, sebuah mobil dengan seliter bensin dapat menempuh jarak 10 km. Namun, ketika beberapa komponen rusak seperti aus, berkarat, atau tersumbat, dengan seliter bensin itu, mobil tersebut hanya mampu menempuh 5 km. Setengah energi yang seharusnya digunakan untuk menempuh 5 km lagi dipakai untuk mengatasi kerusakan sistem. Dengan kata lain, entropi mobil tersebut menjadi 50 persen.

Pada organisasi, instansi, atau perusahaan swasta maupun pemerintah, bahkan negara. Jumlah energi yang dihasilkan sebuah organisasi sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Ketika gangguan dalam organisasi meningkat, misalnya karena birokrasi, hierarki, kompetisi internal, ketidakjujuran, saling menyalahkan, atau komunikasi tertutup, energi karyawan untuk melakukan pekerjaan harus meningkat. Energi tambahan itu disebut ''entropi budaya''. Padahal, energi yang digunakan dalam mengatasi entropi budaya adalah energi yang seharusnya untuk menghasilkan, tapi menjadi terbuang percuma.[2]

Contoh dalam lingkup korporasi atau instansi, besarnya biaya dan energi karyawan yang dapat berkontribusi ke perusahaan akan bergantung pada tinggi rendahnya entropi budaya. Ketika entropi rendah, energi karyawan yang tersedia untuk melakukan pekerjaan produktif menjadi tinggi sehingga kinerja perusahaan menjadi tinggi. Sebaliknya, ketika entropi budaya tinggi, energi karyawan yang tersedia untuk melakukan pekerjaan menjadi rendah, sehingga kinerja perusahaan pun rendah.

Entropi budaya terdiri atas tiga unsur.
Pertama, faktor-faktor yang memperlambat organisasi dan mencegah pengambilan keputusan yang cepat: birokrasi, hierarki, ketidakjelasan, pertengkaran, dan kekakuan.

Kedua, faktor-faktor yang mengakibatkan gesekan antaranggota: persaingan internal, menyalahkan intimidasi, dan manipulasi.

Ketiga, faktor-faktor yang mencegah anggota dari kerja secara efektif: kontrol berlebihan, terlalu berhati-hatian, mikro-manajemen berlebih, fokus jangka pendek, dan teritorialisme.

Pelajaran tentang Entropi ini penting untuk diketahui, karena dengan mengetahui Entropi yang terjadi pada suatu organisasi, kita bisa mengambil keputusan langkah apa yang akan diambil untuk mempertahankan, membangun bahkan mengembangkan organisasi lebih maju dari keadaannya sekarang.


Sumber Referensi
1.        http://id.wikipedia.org/wiki/Entropi
2.        Dr. HC Ary Ginanjar Agustian, Apa itu Entropi Budaya ?, Republika, 24 Januari 2012



[1]   http://id.wikipedia.org/wiki/Entropi
[2]   Dr. HC Ary Ginanjar Agustian, Apa itu Entropi Budaya ?, Republika, 24 Januari 2012

3.11.14

D DAY

D-DAY, 6 Juni 1944

Puncak Pertempuran Perang Dunia II
Stephen E. Ambrose
Diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia
Cetakan pertama, Jakarta Juni 2009


D-Day

Melongok faktor penyebab kekalahan Jerman pada Pendaratan Normandy

Sudah banyak sekali tulisan maupun ulasan yang membahas penyebab kekalahan Jerman pada D-Day, dimana Jerman salah dalam menerapkan strategi menghadapi Pendaratan Normandy yang berakibat kekalahan fatal pihak Jerman, peristiwa tersebut dicatat sebagai  The Misinterpreters D-Day, 1944.  D-Day merupakan tonggak sejarah yang menjadi penentu kekalahan Jerman pada Perang Dunia II.

Berdasarkan buku D-Day, 6 Juni 1944, Puncak Pertempuran Perang Dunia II yang ditulis oleh Stephen E. Ambrose, dapat ditarik suatu catatan tersendiri faktor-faktor penyebab kekalahan Jerman. 

Pertama, Kondisi Tentara Jerman yang tidak siap Perang.  Selama ini sejarah mencatat bahwa Wehrmacht, Tentara Jerman merupakan tentara unggulan yang berjaya dalam berbagai pertempuran baik pada Perang Dunia I maupun Perang Dunia II.  Kenyataan itu betul adanya, bahkan pada awal Perang Dunia II Wehrmacht telah menunjukkan kualitasnya sebagai tentara yang mempunyai kualitas dan disiplin tinggi sehingga mampu menempatkan Jerman sebagai negara yang mampu menduduki Eropa dan Afrika.  Hal tersebut dapat dipertahankan sampai dengan tahun 1941, namun pasca tahun 1941 terjadi kemunduran besar pada Tentara Jerman, tingkat kesiapan dan disiplin mereka jauh merosot diakibatkan oleh kelelahan mereka pada theater perang yang mereka ciptakan, yaitu di Afrika, Eropa dan keputusan mereka untuk berperang melawan Amerika Serikat.

Di Era 1940an pendudukan Jerman hampir pada keseluruhan Eropa merupakan fakta yang tidak terbantahkan, namun ternyata peran sebagai tentara pendudukan memberikan implikasi tersendiri bagi Tentara Jerman, lambat laun mereka menjadi tidak sigap dan kurang waspada dan sense of respon-nya jauh menurun :

....... Tetapi unsur utama dalam kegagalan Wehrmacht tampaknya adalah kehidupan tentara Jerman yang santai sebagai tentara pendudukan.[1]

            Pada pukul 06.15 Jenderal Max Pemsel, Kepala Staf Angkatan Darat Ke-7 dibawah Jenderal Dollman, sudah menyampaikan kepada Jenderal Speidel di La Roche-Guyon mengenai pemboman dari udara dan tembakan meriam besar-besaran yang dilancarkan oleh Angkatan Laut Sekutu.  Setengah jam kemudian Pemsel melaporkan kepada Markas Besar Rundstedt bahwa pendaratan Sekutu telah dimulai-tetapi ia menambahkan, Angkatan Darat Ke-7 akan mampu menghadapi situasi itu, dengan sumber daya-nya sendiri.  Mendengar hal itu Jenderal Salmuth, Komandan Angkatan Darat Ke-15, kembali ke tempat tidurnya.  Sama halnya, Speidel dan sebagian besar staf Rommel di La Roche-Guyon juga kembali tidur.  Jenderal Blumentritt dari Markas Besar Rundstedt menyampaikan kepada Jenderal Jodl di Markas Besar Hitler di Berchtesgaden bahwa invasi besar tampaknya sedang dilancarkan Sekutu, dan meminta agar pasukan lapis baja cadangan, ISS Panser Corps di luar Paris dikerahkan.  Jodl menolak membangunkan Hitler; permintaan ditolak.  Jenderal Bayerlein, Komandan Divisi Panser Lehr, sudah siap bergerak dengan armada tanknya menuju pantai pada pukul 06.00, tetapi ia baru diizinkan melakukan itu menjelang petang.

Kedua, Sistem Rekrutmen Tentara Jerman yang jelek.   Akibat dari perang yang panjang dan penguasaan yang luas melampaui kemampuannya untuk mempertahankan daerah pendudukannya, mengakibatkan Tentara Jerman kekurangan SDM untuk mendukung peperangannya di Theater Eropa dan Afrika, sehingga sebagai solusi mudahnya, Wehrmacht merekrut secara sembarangan personel militernya.  Di Era 1941 Jerman merekrut secara paksa tawanan perang untuk menjadi anggota Angkatan Bersenjatanya, dirasa masih kurang merekrut anggota tentara dari penduduk daerah pendudukannya, termasuk dari Rusia, namun karena kebutuhan yang sangat besar akhirnya rekrutmen terhadap warga negara Jerman sendiri dilakukan secara sembarangan, yaitu kalau tidak terlalu muda atau bahkan yang berumur cukup tua dan sakit-sakitan pun diterima juga :

....... Pada awal tahun 1944, Wehrmacht memiliki “sukarelawan” dari Perancis, Italia, Kroasia, Hungaria, Rumania, Polandia, Finlandia, Estonia, Latvia, Lithuania, Rusias Asia Afrika Utara, Rusia, Ukraina, Ruthenia, Republik-Republik Muslim di Uni Soviet, dan juga Volga-Tatar, Volga Finlandia, Tartar Krimea, dan bahkan India.[2]

..... Selain itu, Wehrmacht menurunkan syarat masuk tentara agar dapat menjaring lebih banyak lagi orang asli Jerman untuk dijadikan Tentara.  Laki-laki berperut buncit dan menderita sakit paru-paru dikirim ke medan perang.  Jangka waktu pemulihan dari sakit dipersingkat, dan demikian juga jangka waktu latihan bagi prajurit baru.  Anak remaja dan laki-laki sudah berumur dipanggil masuk tentara.  Dari tentara sebanyak 4.270.000 orang pada bulan Desember 1943. Lebih dari satu setengah juta berusai diatas 34 tahun, di Divisi K-709 di Semenanjung Cotentin, usia rata-rata serdadu adalah 36 tahun; di Wehrmacht secara keseluruhan usia rata-rata serdadu adalah 31,5 tahun (di Tentara AS usia rata-rata adalah 15,5 tahun).  Sementara itu, lulusan tahun 1925 dan 1926 juga dipanggil untuk ikut bertempur.

            Akibat dari langkah-langkah putus asa ini, Wehrmacht tidak lagi memiliki sumber daya untuk melakukan pertahanan yang kokoh, berdasarkan counterattacks dan counteroffensives.  Wehrmacht tidak memiliki pasukan bermutu tinggi yang dibutuhkan, tidak memiliki mobilitas yang memadai, dan tidak memiliki perlengkapan perang berlapis baja yang memadai.[3]

Ketiga, Tingkat Disiplin Tentara Jerman jauh merosot.  Kepatuhan dan kedisplinan Tentara Jerman jauh merosot dibandingkan pada era 1939, dimana pada waktu itu Hitler menjuluki Wehrmacht sebagai tentara yang tidak ada tandingannya di dunia.  Semangat juang Tentara Jerman dibentuk dari fanatisme yang mendekati kegilaan dan propaganda.  Bahkan dapat dikatakan untuk mau melakukan perintah, harus dilakukan ancaman, bukannya atas kepatuhan yang dibangun dari suatu kedisiplinan :

..... Laki-laki setengah tua, remaja dan tentara asing baru bergerak hanya jika mereka diperintah untuk masuk parit atau benteng semen oleh seorang anggota staf tentara Jerman yang berdiri di belakang mereka dengan pistol di tangan, siap menembak siapa saja yang berani meninggalkan posnya.[4]

            Latihan kurang karena tidak ada waktu tetapi, jika terlalu muda, ia menutupi kelemahan ini dengan fanatisme yang mendekati kegilaan.  Jika terlalu tua, ia didorong oleh ketakutan akan apa yang dikatakan petugas propaganda kepadanya mengenai apa yang akan terjadi pada Tanah Airnya jika Sekutu menang.[5]

Dari sini, jelas terlihat bahwa semangat pertempuran dari Tentara Jerman dibentuk kalau tidak karena kenekatan ataupun ketakutan dan keputus asaan.

Keempat, kurangnya pendelegasian wewenang kepada Panglima di lapangan.  Wilayah pendudukan dan daerah yang harus dipertahankan oleh Jerman sangat panjang dan luas, untuk itu sangat diperlukan adanya pembagian Komando dan Pengendalian yang jelas dan tegas terhadap pasukan di lapangan kepada unsur Komandan di lapangan.  Hal ini dibutuhkan untuk memberikan inisiatif, keleluasaan dan kecepatan mengambil keputusan serta tindakan dalam menghadapi dinamika operasi di lapangan oleh para Panglima Perang.  Namun hal tersebut tidak terjadi pada tentara Jerman, Rommel selaku Panglima yang ditunjuk untuk menghadapi rencana invasi Sekutu tidak diberikan Kodal atas Luftwaffe (Angkatan Udara) demikian juga terhadap Angkatan Laut.  Terjadi persaingan yang sangat nyata di dalam Wehrmacht antara Angkata Udara, Laut dan Darat, yang kemudian menciptakan  terpecah-pecahnya komando pada tingkat operasional strategis :

.....Paling buruk dari semua, Hitler ingin memegang komando itu sendiri.  Hitler memegang kontrol atas divisi-divisi panser ditangannya.  Divisi-divisi ini dapat dikerahkan ke medan pertempuran hanya atas perintahnya- dan markas besar Hitler berada seribu kilometer dari medan pertempuran, dan divisi-divisi itu adalah Divisi-divisi yang diperlukan Rommel untuk melancarkan counterattack pada hari pertama. Sungguh kacau sekali.[6]


Kelima, penerapan strategi yang kurang tepat.  Rencana invasi Sekutu sebenarnya sudah diketahui dan diperkirakan oleh pihak Jerman, yang mereka tidak tahu pasti tentang rencana tersebut adalah Kapan dan Dimana rencana invasi tersebut akan dilaksanakan.  Dengan mengacu prakiraan yang ada tersebut, seharusnya Wehrmacht melakukan persiapan dan penerapan strategi yang tepat.  Untuk menghadapi serangan musuh, tentunya disamping memperkuat kedudukan, yang tidak kalah pentingnya adalah mempersiapkan tentara untuk menghadapi pertempuran yang akan dihadapinya. Satu-satunya jalan adalah berlatih. Namun hal tersebut tidak dilakukan oleh Rommel selaku Panglima Perang :

..... Berapa banyak prajurit Jerman, jika ada, yang percaya kepada dongeng seperti itu, menjadi pertanyaan besar. Keadaan yang sebenarnya adalah Wehrmacht sendiri penuh dengan keragu-raguan, yang tercermin dengan jelas dalam sikap Rommel yang bersikeras menuangkan semen beton lebih banyak lagi, menancapkan batang kayu di tanah lebih banyak lagi, bukannya memerintahkan latihan lebih banyak lagi untuk bergerak cepat dan melancarkan serangan kilat.  Sementara itu, di sisi yang satu lagi, di Selat Inggris, tentara Sekutu terus menggunakan seluruh waktunya untuk mengadakan persiapan.[7]


Keenam, Putusnya sarana komunikasi. Komunikasi adalah sarana yang sangat vital dan menentukan kemenangan dalam pertempuran.  Gelar komunikasi yang baik dan tidak terputus akan mempercepat penyebaran berita dan pengambilan keputusan yang dibutuhkan secara tepat dan cepat dalam menghadapi situasi yang sedang dihadapi.  Hal ini sangat disadari oleh pihak sekutu, sehingga sarana komunikasi Jerman merupakan salah satu target atau sasaran utama  yang harus direbut dan dihancurkan untuk menjamin tercapainya kemenangan.  Untuk menghancurkan sarana komunikasi Jerman, pihak sekutu bahkan menugaskan hal tersebut  dengan kekuatan 1 Batalyon.  Batalyon Ke-3 dari Resimen Infanteri Payung Ke-506, mendapat tugas menghancurkan jaringan komunikasi penting antara Carentan dan kesatuan-kesatuan tentara Jerman di Cotentin.  Bahkan bagi satuan lain apabila tidak ada tugas-tugas lain yang dapat dilakukan, paling tidak mereka memotong kawat telpon :

....Komunikasi adalah salah satu penyebab kegagalan Jerman.  Kepada tentara payung Amerika telah diperintahkan bahwa jiak tidak ada hal-hal lain yang dapat mereka lakukan, mereka paling tidak dapat memotong kawat telpon.  Tentara Jerman di Normandia sudah bertahun-tahun menggunakan telepon dan kawat telepon dengan aman dan karena itu agak lengah mengenai keamanan sistem komunikasi mereka.  Pada 6 Juni, antara pukul 01.00 dan fajar, pasukan payung, yang bertindak sendiri-sendiri atau dalam regu-regu kecil, menumbangkan tiang-tiang telepon dengan granat, memotong kawat telepon dengan pisau mereka, sehingga kesatuan-kesatuan tentara Jerman yang tersebar di desa-desa tidak dapat berhubungan satu sama lainnya.[8]

            Disamping ke enam faktor diatas, tentunya masih banyak lagi faktor-faktor penyebab kekalahan atau kegagalan Jerman dalam Pendaratan Normandy atau lebih dikenal sebagai D-Day, seperti lemahnya Intelijen Jerman, Agen Ganda dari hasil rekrutmen Agen-agen Rahasi Jerman oleh pihak Dinas Rahasia Inggris, terbongkarnya Enigma, dll.  Hal ini patut menjadi pelajaran dalam menghadapi dan mempersiapkan Kampanye Militer.






[1]    Stephen E. Ambrose , D-Day, 6 Juni 1944, Puncak Pertempuran Perang Dunia II, Yayasan Obor Indonesia, Cetakan pertama, Jakarta Juni 2009. Hal 349.
[2]  Ibid, hal. 9
[3]   Ibid hal. 10
[4]   Ibid hal. 10
[5]   Ibid hal. 11
[6]   Ibid hal. 51
[7]   Ibid hal. 147
[8]   Ibid hal. 243

20.10.14

SEMANGAT PANTANG MENYERAH

SEMANGAT PANTANG MENYERAH

" Demi Kehormatan Diri, Bangsa dan Negara"

Dalama Olimpiade tahun 1968 di kota Meksiko, sebuah sikap keteguhan, determinasi, dan keinginan untuk berjuang bukan untuk medali, patut kita dengar ulang.

Kala itu, matahari sudah perlahan merangkak hilang.  Malam pun datang menyapa.  Stadion sudah mulai sepi,  sejam sebelumnya, medali emas, perak dan perunggu sudah disematkan kepada para pemenang lomba lari maraton.  Semuanya sudah merasa pesta olimpiade sudah berakhir.

Tak dinyana dari kejauhan, lamat-lamat datang seorang lelaki, dengan kaki kanan yang diseret penuh perban seadanya dan darah masih menetes sesekali.  Jelas, ia masih peserta lomba maraton dengan nomor peserta 36.  Serentak, seluruh isi stadion yang masih tersisa, memberi standing ovation, bergemuruh.  Mereka memberi semangat akhir kepada atlet yang tak kenal menyerah itu.  Ia adalah John Steven Awkwari dari Tanzania.  Ia ternyata terjatuh dan terjungkal di tengah jalan, lalu terluka.  Ia sendiri mengurus lukanya di tengah deru perlombaan.
Akhirnya memang Awkwari mencapai garis akhir, kendali tanpa medali.

Ketika segalanya berakhir, seorang wartawan menghampiri Awkwari dan bertanya : “Mengapa kamu harus memaksakan diri untuk tiba di garis akhir.  Bukankah kamu sudah terlambat dan mengetahui bahwa kamu pasti kalah dan tidak bakal mendapat medali ?”.

Awkwari menjawab : My Country did not send me 5.000 miles to start the race, but they send me 5.000 miles to finish teh race, and I did it.  ( negara tidak mengirim saya sejauh 5.000 mil jauhnya untuk memulai perlombaan ini, tetapi negara saya mengirim saya 5.000 mil jauhnya untuk mengakhiri lomba ini, dan itu telah saya laksanakan).

Awkwari memang tidak menerima medali.  Namun, ia memperoleh lencana abadi yang diimpikan oleh semua atlet apa pun.  Awkwari adalah simbol keteguhan, lambang determinasi tinggi, ekspresi keyakinan tentang tujuan akhir yang hendak dicapai.


Prinsip dan semangat Awkwari inilah yang seharusnya kita pegang dalam memperjuangkan HAM.  Sekali kita mulai, maka kita tidak boleh berhenti sebelum tiba dengan tujuan: martabat manusia.