D-DAY, 6 Juni 1944
Puncak Pertempuran
Perang Dunia II
Stephen E. Ambrose
Diterbitkan dalam
bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia
Cetakan pertama,
Jakarta Juni 2009
D-Day
Melongok faktor
penyebab kekalahan Jerman pada Pendaratan Normandy
Sudah
banyak sekali tulisan maupun ulasan yang membahas penyebab kekalahan Jerman
pada D-Day, dimana Jerman salah dalam menerapkan strategi
menghadapi Pendaratan Normandy yang berakibat kekalahan fatal pihak Jerman,
peristiwa tersebut dicatat sebagai The Misinterpreters D-Day, 1944. D-Day merupakan tonggak sejarah yang menjadi
penentu kekalahan Jerman pada Perang Dunia II.
Berdasarkan buku
D-Day, 6 Juni 1944, Puncak Pertempuran Perang Dunia II yang ditulis oleh
Stephen E. Ambrose, dapat ditarik suatu catatan tersendiri faktor-faktor
penyebab kekalahan Jerman.
Pertama, Kondisi Tentara Jerman yang tidak siap Perang. Selama ini sejarah mencatat bahwa Wehrmacht,
Tentara Jerman merupakan tentara unggulan yang berjaya dalam berbagai
pertempuran baik pada Perang Dunia I maupun Perang Dunia II. Kenyataan itu betul adanya, bahkan pada awal
Perang Dunia II Wehrmacht telah menunjukkan kualitasnya sebagai tentara yang
mempunyai kualitas dan disiplin tinggi sehingga mampu menempatkan Jerman
sebagai negara yang mampu menduduki Eropa dan Afrika. Hal tersebut dapat dipertahankan sampai
dengan tahun 1941, namun pasca tahun 1941 terjadi kemunduran besar pada Tentara
Jerman, tingkat kesiapan dan disiplin mereka jauh merosot diakibatkan oleh
kelelahan mereka pada theater perang yang mereka ciptakan, yaitu di Afrika,
Eropa dan keputusan mereka untuk berperang melawan Amerika Serikat.
Di Era 1940an
pendudukan Jerman hampir pada keseluruhan Eropa merupakan fakta yang tidak
terbantahkan, namun ternyata peran sebagai tentara pendudukan memberikan
implikasi tersendiri bagi Tentara Jerman, lambat laun mereka menjadi tidak
sigap dan kurang waspada dan sense of respon-nya
jauh menurun :
.......
Tetapi unsur utama dalam kegagalan Wehrmacht tampaknya adalah kehidupan tentara
Jerman yang santai sebagai tentara pendudukan.
Pada pukul 06.15 Jenderal Max
Pemsel, Kepala Staf Angkatan Darat Ke-7 dibawah Jenderal Dollman, sudah
menyampaikan kepada Jenderal Speidel di La Roche-Guyon mengenai pemboman dari
udara dan tembakan meriam besar-besaran yang dilancarkan oleh Angkatan Laut
Sekutu. Setengah jam kemudian Pemsel
melaporkan kepada Markas Besar Rundstedt bahwa pendaratan Sekutu telah
dimulai-tetapi ia menambahkan, Angkatan Darat Ke-7 akan mampu menghadapi
situasi itu, dengan sumber daya-nya sendiri.
Mendengar hal itu Jenderal Salmuth, Komandan Angkatan Darat Ke-15,
kembali ke tempat tidurnya. Sama halnya,
Speidel dan sebagian besar staf Rommel di La Roche-Guyon juga kembali
tidur. Jenderal Blumentritt dari Markas
Besar Rundstedt menyampaikan kepada Jenderal Jodl di Markas Besar Hitler di
Berchtesgaden bahwa invasi besar tampaknya sedang dilancarkan Sekutu, dan
meminta agar pasukan lapis baja cadangan, ISS Panser Corps di luar Paris
dikerahkan. Jodl menolak membangunkan
Hitler; permintaan ditolak. Jenderal
Bayerlein, Komandan Divisi Panser Lehr, sudah siap bergerak dengan armada
tanknya menuju pantai pada pukul 06.00, tetapi ia baru diizinkan melakukan itu
menjelang petang.
Kedua, Sistem
Rekrutmen Tentara Jerman yang jelek.
Akibat dari perang yang panjang dan penguasaan yang luas melampaui
kemampuannya untuk mempertahankan daerah pendudukannya, mengakibatkan Tentara
Jerman kekurangan SDM untuk mendukung peperangannya di Theater Eropa dan
Afrika, sehingga sebagai solusi mudahnya, Wehrmacht merekrut secara sembarangan
personel militernya. Di Era 1941 Jerman
merekrut secara paksa tawanan perang untuk menjadi anggota Angkatan
Bersenjatanya, dirasa masih kurang merekrut anggota tentara dari penduduk daerah
pendudukannya, termasuk dari Rusia, namun karena kebutuhan yang sangat besar
akhirnya rekrutmen terhadap warga negara Jerman sendiri dilakukan secara
sembarangan, yaitu kalau tidak terlalu muda atau bahkan yang berumur cukup tua
dan sakit-sakitan pun diterima juga :
....... Pada awal tahun 1944, Wehrmacht memiliki
“sukarelawan” dari Perancis, Italia, Kroasia, Hungaria, Rumania, Polandia,
Finlandia, Estonia, Latvia, Lithuania, Rusias Asia Afrika Utara, Rusia,
Ukraina, Ruthenia, Republik-Republik Muslim di Uni Soviet, dan juga
Volga-Tatar, Volga Finlandia, Tartar Krimea, dan bahkan India.
..... Selain itu, Wehrmacht menurunkan syarat masuk
tentara agar dapat menjaring lebih banyak lagi orang asli Jerman untuk
dijadikan Tentara. Laki-laki berperut
buncit dan menderita sakit paru-paru dikirim ke medan perang. Jangka waktu pemulihan dari sakit
dipersingkat, dan demikian juga jangka waktu latihan bagi prajurit baru. Anak remaja dan laki-laki sudah berumur
dipanggil masuk tentara. Dari tentara
sebanyak 4.270.000 orang pada bulan Desember 1943. Lebih dari satu setengah
juta berusai diatas 34 tahun, di Divisi K-709 di Semenanjung Cotentin, usia
rata-rata serdadu adalah 36 tahun; di Wehrmacht secara keseluruhan usia
rata-rata serdadu adalah 31,5 tahun (di Tentara AS usia rata-rata adalah 15,5
tahun). Sementara itu, lulusan tahun
1925 dan 1926 juga dipanggil untuk ikut bertempur.
Akibat
dari langkah-langkah putus asa ini, Wehrmacht tidak lagi memiliki sumber daya
untuk melakukan pertahanan yang kokoh, berdasarkan counterattacks dan
counteroffensives. Wehrmacht tidak
memiliki pasukan bermutu tinggi yang dibutuhkan, tidak memiliki mobilitas yang
memadai, dan tidak memiliki perlengkapan perang berlapis baja yang memadai.
Ketiga, Tingkat
Disiplin Tentara Jerman jauh merosot.
Kepatuhan dan kedisplinan Tentara Jerman jauh merosot dibandingkan pada
era 1939, dimana pada waktu itu Hitler menjuluki Wehrmacht sebagai tentara yang
tidak ada tandingannya di dunia.
Semangat juang Tentara Jerman dibentuk dari fanatisme yang mendekati
kegilaan dan propaganda. Bahkan dapat
dikatakan untuk mau melakukan perintah, harus dilakukan ancaman, bukannya atas
kepatuhan yang dibangun dari suatu kedisiplinan :
..... Laki-laki setengah tua, remaja dan tentara asing
baru bergerak hanya jika mereka diperintah untuk masuk parit atau benteng semen
oleh seorang anggota staf tentara Jerman yang berdiri di belakang mereka dengan
pistol di tangan, siap menembak siapa saja yang berani meninggalkan posnya.
Latihan
kurang karena tidak ada waktu tetapi, jika terlalu muda, ia menutupi kelemahan
ini dengan fanatisme yang mendekati kegilaan.
Jika terlalu tua, ia didorong oleh ketakutan akan apa yang dikatakan
petugas propaganda kepadanya mengenai apa yang akan terjadi pada Tanah Airnya
jika Sekutu menang.
Dari
sini, jelas terlihat bahwa semangat pertempuran dari Tentara Jerman dibentuk
kalau tidak karena kenekatan ataupun ketakutan dan keputus asaan.
Keempat, kurangnya
pendelegasian wewenang kepada Panglima di lapangan. Wilayah pendudukan dan daerah yang harus
dipertahankan oleh Jerman sangat panjang dan luas, untuk itu sangat diperlukan
adanya pembagian Komando dan Pengendalian yang jelas dan tegas terhadap pasukan
di lapangan kepada unsur Komandan di lapangan.
Hal ini dibutuhkan untuk memberikan inisiatif, keleluasaan dan kecepatan
mengambil keputusan serta tindakan dalam menghadapi dinamika operasi di
lapangan oleh para Panglima Perang.
Namun hal tersebut tidak terjadi pada tentara Jerman, Rommel selaku
Panglima yang ditunjuk untuk menghadapi rencana invasi Sekutu tidak diberikan
Kodal atas Luftwaffe (Angkatan Udara) demikian juga terhadap Angkatan
Laut. Terjadi persaingan yang sangat
nyata di dalam Wehrmacht antara Angkata Udara, Laut dan Darat, yang kemudian
menciptakan terpecah-pecahnya komando
pada tingkat operasional strategis :
.....Paling buruk dari semua, Hitler ingin memegang
komando itu sendiri. Hitler memegang
kontrol atas divisi-divisi panser ditangannya.
Divisi-divisi ini dapat dikerahkan ke medan pertempuran hanya atas perintahnya-
dan markas besar Hitler berada seribu kilometer dari medan pertempuran, dan
divisi-divisi itu adalah Divisi-divisi yang diperlukan Rommel untuk melancarkan
counterattack pada hari pertama. Sungguh kacau sekali.
Kelima, penerapan
strategi yang kurang tepat. Rencana
invasi Sekutu sebenarnya sudah diketahui dan diperkirakan oleh pihak Jerman,
yang mereka tidak tahu pasti tentang rencana tersebut adalah Kapan dan Dimana rencana invasi tersebut akan dilaksanakan. Dengan mengacu prakiraan yang ada tersebut,
seharusnya Wehrmacht melakukan persiapan dan penerapan strategi yang
tepat. Untuk menghadapi serangan musuh,
tentunya disamping memperkuat kedudukan, yang tidak kalah pentingnya adalah
mempersiapkan tentara untuk menghadapi pertempuran yang akan dihadapinya.
Satu-satunya jalan adalah berlatih. Namun hal tersebut tidak dilakukan oleh
Rommel selaku Panglima Perang :
..... Berapa banyak prajurit Jerman, jika ada, yang percaya
kepada dongeng seperti itu, menjadi pertanyaan besar. Keadaan yang sebenarnya
adalah Wehrmacht sendiri penuh dengan keragu-raguan, yang tercermin dengan
jelas dalam sikap Rommel yang bersikeras menuangkan semen beton lebih banyak
lagi, menancapkan batang kayu di tanah lebih banyak lagi, bukannya
memerintahkan latihan lebih banyak lagi untuk bergerak cepat dan melancarkan
serangan kilat. Sementara itu, di sisi
yang satu lagi, di Selat Inggris, tentara Sekutu terus menggunakan seluruh
waktunya untuk mengadakan persiapan.
Keenam, Putusnya
sarana komunikasi. Komunikasi adalah sarana yang sangat vital dan
menentukan kemenangan dalam pertempuran.
Gelar komunikasi yang baik dan tidak terputus akan mempercepat
penyebaran berita dan pengambilan keputusan yang dibutuhkan secara tepat dan
cepat dalam menghadapi situasi yang sedang dihadapi. Hal ini sangat disadari oleh pihak sekutu,
sehingga sarana komunikasi Jerman merupakan salah satu target atau sasaran
utama yang harus direbut dan dihancurkan
untuk menjamin tercapainya kemenangan.
Untuk menghancurkan sarana komunikasi Jerman, pihak sekutu bahkan
menugaskan hal tersebut dengan kekuatan
1 Batalyon. Batalyon Ke-3 dari Resimen
Infanteri Payung Ke-506, mendapat tugas menghancurkan jaringan komunikasi
penting antara Carentan dan kesatuan-kesatuan tentara Jerman di Cotentin. Bahkan bagi satuan lain apabila tidak ada
tugas-tugas lain yang dapat dilakukan, paling tidak mereka memotong kawat
telpon :
....Komunikasi adalah salah satu penyebab kegagalan
Jerman. Kepada tentara payung Amerika
telah diperintahkan bahwa jiak tidak ada hal-hal lain yang dapat mereka
lakukan, mereka paling tidak dapat memotong kawat telpon. Tentara Jerman di Normandia sudah
bertahun-tahun menggunakan telepon dan kawat telepon dengan aman dan karena itu
agak lengah mengenai keamanan sistem komunikasi mereka. Pada 6 Juni, antara pukul 01.00 dan fajar,
pasukan payung, yang bertindak sendiri-sendiri atau dalam regu-regu kecil,
menumbangkan tiang-tiang telepon dengan granat, memotong kawat telepon dengan
pisau mereka, sehingga kesatuan-kesatuan tentara Jerman yang tersebar di
desa-desa tidak dapat berhubungan satu sama lainnya.
Disamping ke enam faktor diatas,
tentunya masih banyak lagi faktor-faktor penyebab kekalahan atau kegagalan
Jerman dalam Pendaratan Normandy atau lebih dikenal sebagai D-Day, seperti
lemahnya Intelijen Jerman, Agen Ganda dari hasil rekrutmen Agen-agen Rahasi
Jerman oleh pihak Dinas Rahasia Inggris, terbongkarnya Enigma, dll. Hal ini patut menjadi pelajaran dalam menghadapi
dan mempersiapkan Kampanye Militer.