24.8.22

MENGENAL BELA NEGARA


Dalam kehidupan berbangsa dan  bernegara, akan ada aspek pertahanan yang merupakan faktor hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup suatu negara bangsa. Tanpa mampu mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya. Pertahanan itu dibangun dalam sistem pertahanan negara.   Sedangkan, Sistem pertahanan negara itu sendiri adalah totalitas sistem kebangsaan dan kenegaraan yang melibatkan seluruh warga negara dan sumber daya nasional yang dimiliki. Totalitas sistem itu digerakkan oleh kekuatan dasar sumber daya manusia atau warga negara yang memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam upaya pembelaan negara. Upaya pembelaan negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa.
 
     Upaya mendasar untuk menumbuhkan kesadaran bela negara dilakukan pada ranah membangun jiwanya hingga berujung pada terbentuknya sikap dan perilaku yang mengejewantahkan kesadarannya dalam pembelaan negara. Melalui upaya itu diharapkan mewujudkan kualitas dinamika kehidupan bangsa dalam bentangan spektrum bela negara, dari hubungan baik sesama warga negara, profesionalitas setiap karya dalam  bidang pekerjaannya masing-masing sampai dengan bersama-sama mengangkat senjata menghadapi musuh nyata bersenjata.
 
   Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Jika kewajiban warga negara dalam bela negara lahir dari implikasi tuntutan partisipasi sebagai warga negara, hak warga negara dalam bela negara lahir sebagai kehormatan atas keagungan negara sebagai wadah bersama dan karena kecintaannya kepada negara yang memiliki wilayah dan berbagai aspeknya tempat warga negara hidup dan memelihara kehidupannya baik dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.
 
    Pengejewantahan kesadaran bela negara dalam dinamika kehidupan bangsa mengelola sumber daya nasional guna mencapai tujuan kesejahteraan adalah kekuatan pertahanan nonmiliter. Sedangkan kesadaran bela negara yang berujung pada dukungan segenap pikiran, dan daya upaya lainnya dari warga negara membangun pertahanan negara sampai dengan kesiapannya secara fisik untuk menjadi komponen pertahanan negara adalah wujud nyata kekuatan pertahanan militer.
 
      Pendidikan kesadaran bela negara sebagai bentuk upaya persiapan secara dini penyelenggaraan pertahanan negara oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut, akan melahirkan bangun kekuatan yang berdimensi ganda. Dimensi pertama adalah masif dalam profesionalisme untuk menghadapi ancaman nonmiliter, sedangkan dimensi kedua adalah kesadarannya bahwa untuk kepentingan pertahanan negara sumber daya nasional siap secara psikis dibentuk menjadi komponen pertahanan dalam menghadapi ancaman militer.
 
       Kewajiban bela negara adalah bagian dari sistem sosial politik untuk menjaga eksistensi kelompok sosial politik yang terbesar yang disebut negara. Dalam sistem sosial budaya kelompok masyarakat yang lebih kecil, kewajiban dan nilai bela negara dapat dirunut, karena pada dasarnya nilai dan kewajiban itu adalah dasar terjaganya eksistensi kelompok. Dalam pengamatan sekilas nilai dan norma yang dikenal sebagai bela negara memang tidak nampak dengan jelas, namun jika diteliti secara lebih cermat, sebagai akibat naluri kelompok untuk menjaga eksistensi kelompoknya sesungguhnya dalam sistem sosial kelompok masyarakat kecil terdapat sistem nilai untuk tetap menjaga eksistensinya.
 
UNSUR BELA NEGARA
 
       Bela negara adalah keikutsertaan warga negara membela negara dalam usaha pertahanan negara. Upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa.
 
       Dengan demikian bela negara tidak semestinya dipahami sebagai “memanggul senjata” atau hal yang berbau “militer”, akan tetapi merupakan kekuatan dinamika kehidupan warga negara di semua aspek kehidupan sesuai dengan profesinya masing-masing. Spektrum bela negara sangat luas, dimulai dari hal yang paling lunak sampai dengan hal yang paling keras, mulai dari hubungan baik sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata.
 
       Membangun kesadaran bela negara, berarti membangun watak bangsa, yakni  membangun perilaku manusia Indonesia yang memiliki jati diri sebagai bangsa. Terbangunnya jati diri bangsa melahirkan ikatan maya yang dapat tertembus, tetapi tidak akan terputus, sebab ia berupa cara dan pola pikir manusia Indonesia yang memiliki kebanggaan dan kebangsaan Indonesia yang dilandasi cinta tanah air dan siap bela negara.
 
     Kecintaan kepada tanah air merupakan unsur pembuka bela negara, yang berujung pada kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia.  Dalam ranah kejiwaan yang dilakukan adalah menggugah rasa kebangsaan dan cinta tanah air, yang kemudian terejewantahkan pada perilaku rela berkorban. Dengan landasan sikap perilaku cinta tanah air dan rela berkorban ini lahirlah jiwa juang untuk berbuat dan berperilaku yang terbaik untuk negara dan bangsa, yang menunjukkan etos kebangsaan.
 
       Etos kebangsaan ini pada dasarnya adalah kemampuan awal bela negara. Isi etos kebangsaan adalah tampilan profesionalisme warga negara dalam bidang tugasnya. Kemampuan awal bela negara ini dirangkum dalam sistem pertahanan negara sebagai kekuatan dan kemampuan nirmiliter yang berisi unsur-unsur penggerak kesadaran bela negara yang mencakup 1) Cinta tanah air ; 2) Sadar berbangsa dan bernegara ; 3) Yakin terhadap kebenaran Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara ; 4) Rela berkorban bagi bangsa dan negara ; dan 5) Memiliki kemampuan awal bela negara.
 
      Dinamika unsur-unsur bela negara ini apabila dilakukan secara maksimal dan bertanggung jawab sesuai bidang profesi oleh setiap warga negara maka akan menjadi suatu penggerak kekuatan nonmiliter, sedangkan tampilannya yang telah mengkristal menjadi kekuatan fisik komponen pertahanan negara  akan menjadi unsur penguat pengganda dalam kekuatan militer sistem pertahanan negara.


dihimpun dari berbagai sumber

22.8.22

PENGUASAAN WILAYAH : TINJAUAN TEORI MANAJEMEN

 

Masalah fundamental yang harus dibenahi oleh pengambil keputusan nasional ataupun stake holder dalam mengantisipasi berbagai persoalan yang muncul dalam konflik perbatasan termasuk dispute di suatu wilayah (blok Ambalat, contohnya) saat ini justru karena tidak adanya manajemen strategik yang komprehensif dalam rangka mewujudkan penguasaan dan pengendalian secara fisik (effective occupation) di wilayah tersebut. Padahal berdasarkan pengalaman sejarah lepas salah satu wilayah Indonesia (exp:Sipadan dan Ligitan), penguasaan dan pengendalian secara fisik bisa dijadikan sebagai yurisprudensi sehingga penting untuk diwujudkan  sebagai langkah antisipatif apabila penyelesaian secara diplomasi di tingkat bilateral gagal mencapai kesepakatan. Tanpa pembenahan masalah fundamental ini maka diplomasi yang sedang dilaksanakan dan digelar selama ini tidak akan optimal.  Dengan demikian maka peran manajemen yang komprehensif diperlukan untuk menyelesaikan beberapa persoalan wilayah.

 

Tinjauan Teori Manajemen Strategik.  Teori ini lebih menonjolkan pada pembuatan (formulating), penerapan (implementing) dan evaluasi (evaluating) keputusan-keputusan strategik antar fungsi-fungsi yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan-tujuan masa datang.  Dalam manajemen strategik dimana cara berpikir strategik akan semakin banyak memerlukan masukan-masukan untuk dapat menetapkan, mengimplementasikan dan  mengontrol strategi apa yang akan digunakan dan yang paling handal. Aplikasi tinjauan teori manajemen strategik tersebut dalam penguasaan dan pengendalian secara fisik di wilayah (konflik) adalah bagaimana stake holder dapat mensinergikan seluruh komponen kekuatan nasional ke dalam suatu sistem pengamanan wilayah perbatasan secara efektif. 

 

Karena itu pendekatan dan respon pemerintah (stake holder) khususnya dalam menyusun manajemen pengamanan wilayah perbatasan seharusnya sudah terstruktur dengan baik bahkan seharusnya juga sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan dengan melibatkan berbagai instansi dan Kementerian yang berkompeten. Pendekatan yang ditempuh sebaiknya bukan pendekatan ad-hoc yang selama ini dilakukan hanya oleh aparat TNI secara sektoral.

 

Dengan manajemen yang baik maka diharapkan antar satu instansi dengan instansi lain menggunakan pendekatan dan respon yang sama, sehingga mencerminkan integritas seluruh komponen kekuatan nasional dalam suatu manajemen yang strategik. Berdasarkan hal tersebut diatas, bagaimana mengaplikasikan strategi tersebut dan mengontrolnya sehingga tujuan dan sasaran akan tercapai, adalah dengan penerapan :

 

 

Proses Manajemen Strategik dalam Penguasaan dan Pengendalian, yaitu bagaimana para pemegang kebijakan dan stake holder lainnya bisa melaksanakan Pembuatan Strategi, meliputi pengembangan misi dan tujuan jangka panjang, pengidentifikasian peluang dan ancaman dari luar  serta kekuatan dan kelemahan, pengembangan alternatif-alternatif strategi dan penentuan strategi yang sesuai untuk diadopsi. Tinjauan teori ini contohnya pada penguasaan dan pengendalian di wilayah dispute Blok Ambalat, diformulasikan berdasarkan prinsip kesisteman dan diterapkan sesuai dengan kompetensi dari berbagai instansi sebagai sub-sistem, serta di evaluasi guna mendapatkan strategi yang tepat untuk di kembangkan.

 

Disamping pembuatan strategi, maka tidak kalah pentingnya adalah bagaimana melaksanakan Penetapan Strategi, sesuai dengan kondisi wilayah (konflik), maka wewenang dan tanggung jawab dalam mewujudkan  penguasaan dan pengendalian secara fisik perlu dibagi ke dalam berbagai fungsi Kementerian maupun lembaga non Kementerian beserta jajarannya. Sementara itu, berbagai komponen kekuatan nasional yang akan dilibatkan memerlukan keserasian dan keselarasan dalam pendayagunaannya. Dalam rangka mewujudkan legalitas di suatu wilayah konflik, maka ditetapkan sasaran-sasaran operasional serta pengalokasian sumber-sumber daya yang ada agar strategi yang telah ditetapkan dapat diimplementasikan.

 

Terakhir seperti layaknya langkah-langkah perencanaan dengan kesisteman, maka sangat diperlukan adanya Evaluasi/kontrol strategi, mencakup upaya-upaya untuk memonitor seluruh hasil-hasil dari pembuatan dan penerapan strategi dalam penguasaan dan pengendalian di wilayah konflik, agar dapat  mengukur serta mengambil langkah-langkah perbaikan jika diperlukan. Manajemen strategik, yang berorientasi jangka panjang memerlukan metode berpikir strategik yang selalu mengarah kedepan.   Pemikiran ke depan ini akan terjelma dalam visi dan misi melalui analisa teori tertentu terhadap lingkungan strategik untuk menentukan tujuan dan sasaran. Dalam upaya mencari strategi yang tepat guna serta efektif dan efisien maka diperlukan proses untuk memformulasikan strategi mana yang tepat untuk menentukan mencapai tujuan. Dalam pengaplikasiannya di wilayah konflik  diperlukan manajemen dan strategi yang komprehensif yang dilengkapi sarana kontrol agar tujuan dan sasaran tetap tercapai secara efektif dan efisien.  Peran manajemen dan Strategi yang komprehensif tersebut diperlukan untuk menyelesaikan beberapa persoalan yang ada.


15.8.22

IMPLEMENTASI STRATEGIC LEADERSHIP JENDERAL EISENHOWER PADA OPERASI “OVERLORD” SAAT PERANG DUNIA KE II


Pendaratan di Normandy, Perancis merupakan sebuah operasi militer yang bersandi “Operation Neptune”, merupakan operasi pendaratan militer Pasukan Sekutu pada Invansi Normandy dalam Operation Overlord, yang terjadi ketika Perang Dunia II berlangsung.  Keberhasilan pendaratan pasukan sekutu di Normandy, Perancis tidak terlepas dari kepemimpinan Jenderal Dwight D. Eisenhower, Supreme Commander pasukan Sekutu.

 

Dwight D. Eisenhower dalam karirnya sebagai seorang militer dan negarawan telah menunjukkan performance sebagai seorang strategic leader. Di Kemiliteran, karirnya mengesankan, ditunjukkan dengan kemahirannya baik sebagai seorang komandan maupun staf.  Sebagai anggota staf, Eisenhower menjalankan tugas dibawah tiga Jenderal, antara lain salah satunya Jenderal Douglas McArthur.  Setelah Jepang menyerang Teluk Mutiara di Hawaii pada Desember 1940, Kepala Staf Amerika Jendral George C. Marshall, mengangkat Dwight D. Eisenhower menjadi Kepala Bagian Perencanaan Perang Staf Umum Departemen Perang Amerika, dan kemudian menjadi Pembantu Kepala Staf.  Tak lama sesudah itu Eisenhower naik pangkat menjadi Mayor Jenderal.  Pada November 1942 sebagai Letnan Jenderal, Dwight D. Eisenhower memimpin pendaratan tentara sekutu di Afrika Utara. Berdasarkan berbagai keberhasilannya dalam memimpin pasukan Sekutu tersebut, maka pada 1944 Dwight D. Eisenhower diangkat menjadi Panglima Tertinggi Pasukan Sekutu dalam Operasi Overlord. Dari berbagai keberhasilannya memimpin, akhirnya mengantarkan Dwight D. Eisenhower menjadi Presiden Amerika ke-34 pada periode 1953–1961.

 

Sebagai Supreme Commander, Kepemimpinan Strategis Dwight D. Eisenhower dalam Operasi Overlord terlihat sangat menonjol.  Untuk menunjang keberhasilan operasi yang melibatkan ribuan prajurit tersebut, Dwight D. Eisenhower menerapkan operasi pengelabuan dengan sandi Operasi Fortitude.  Operasi pengelabuan ini bertujuan membuat bingung intelijen Jerman dengan membanjiri mereka dengan banyaknya informasi yang sebagian besar menyesatkan untuk mengalihkan perhatian pasukan Jerman dari wilayah Normandy tempat pendaratan sebenarnya yang direncanakan oleh pihak tentara Sekutu dan menyebarkan kekuatan pasukan Jerman ke beberapa negara Eropa.  Untuk mengantisipasi pergerakan dinas intelijen Jerman sekaligus mendukung Operasi Overlord, pasukan Sekutu membentuk sebuah kelompok unik, The Allied Deception Staff dengan nama samaran The London Controlling Section (LCS) yang dipimpin Kolonel John Bevan. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk mengelabui dan membingungkan The German High Command dan Adolf Hitler sendiri, untuk mendukung pergerakan pasukan Sekutu menjelang D-Day. Dengan mengetahui sistem intelijen Jerman, LSC memberi dinas intelijen Jerman banyak sekali data atau informasi yang sebagian besar merupakan tipuan, rekayasa dan menyesatkan.

 

Dwight D. Eisenhower juga menunjukkan kualitas seorang pemimpin yang bertanggung jawab.  James A.F Stonen menulis bahwa salah satu tugas utama seorang pemimpin adalah bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akuntabilitas).  Hal ini terlihat dari surat yang diberi nama “In Case of Failure" atau kurang lebih berarti "Jika Terjadi Kegagalan", Eisenhower mengatakan dia akan menanggung semua "dosa" jika pasukan yang dikirimnya gagal mengalahkan Nazi.  Mengirim ribuan prajurit ke medan tempur yang sebagian dari mereka tak akan pernah kembali, bagaimanapun membuat resah hati seorang perwira militer sekaliber Jenderal Dwight D. Eisenhower. Surat itu ditulis Eisenhower sehari sebelum penyerbuan dilaksanakan, Ia menulis sebuah surat yang isinya adalah rencana menarik kembali seluruh pasukan jika pendaratan di Normandy gagal.

 

Kualitas kepemimpinan strategis Dwight D. Eisenhower yang lain dapat dilihat dari pembawaan, pengetahuan dan tindakannya selama memimpin Operasi Overlord. Berdasarkan teori Kompetensi Kepemimpinan Strategis (Strategic Leadership Competencies), ciri dari seorang pemimpin strategis adalah adanya keunggulan pada pembawaan, pengetahuan dan tindakan seorang pemimpin.

 

Dari aspek Pembawaan. Dwight D. Eseinhower memiliki nilai-nilai keunggulan, menguasai seni strategis, memiliki pengetahuan yang dalam tentang sejarah, nyaman dengan kompleksitas, stamina fisik yang tinggi baik secara fisik, mental dan pengelolaan stress, keterampilan diplomat, serta memiliki keunggulan intelektual yang ditunjukkan dalam kepemimpinannya. Memimpin ribuan prajurit dari berbagai negara dengan berbagai latar belakang, karakter, sejarah dan tradisi satuan serta persenjataan dan doktrin yang berbeda membutuhkan suatu pembawaan pemimpin yang mampu mengayomi dan mengarahkan segala perbedaan menuju satu keunggulan tersendiri.

 

Dari aspek Pengetahuan.  Dwight D. Eseinhower memiliki pengetahuan yang bersifat secara konseptual. Eisenhower memiliki kemampuan dalam meramalkan masa depan dan mengantisipasinya, menguasai kerangka acuan pengembangan, menguasai pengelolaan masalah, kritis dalam mengevaluasi diri, kritis dalam merefleksikan cara berpikir, efektif dalam lingkungan yang kompleks, serta terampil dalam memformulasikan Ends, Ways, Means.  Pemilihan tempat pendaratan di pantai Normandy yang merupakan pantai dengan dinding yang terjal, penyusunan formasi tempur, penggunaan kekuatan penuh, manuver yang bertahap dan pilihan kecepatan untuk memperoleh manfaat merupakan bentuk penguasan pengetahuan yang mumpuni bagi seorang pemimpin strategis.

 

Hubungan Antar Personal. Dalam pengetahuan hubungan antar personal, Eisenhower dapat membuka diri dan memiliki daya adaptasi yang sangat besar dengan senantiasa menjalin hubungan komunikasi dengan seluruh prajurit, keluarga, rakyat bahkan dengan pihak penjajah sekalipun. Humanisme yang ditunjukkan oleh Eisenhower dengan mau melihat dan menginspeksi sendiri latihan-latihan yang dilakukan prajurit Sekutu, ternyata mampu membentuk dan membangkitkan semangat juang seluruh prajurit untuk bertempur.

 

Dari aspek Tindakan. Dwight D. Eisenhower sebagai pemimpin tertinggi pasukan Sekutu, memperlihatkan kualitasnya sebagai Panglima yang mumpuni memimpin ribuan prajurit dan para Jenderal dari berbagai negara dengan kendala dan peluang yang ada. Mampu menciptakan Kodal dan Manajemen SDM yang unggul, sehingga Operasi Overlord mampu merebut kembali Perancis, dan Dwight D. Eisenhower mendapat penghargaan dari rakyat Perancis sebagai Pahlawan Pembebas Eropa. Dwight D. Eisenhower mampu mengelola hubungan-hubungan yang bersifat gabungan dan antar lembaga.  Memimpin dan mengelola perubahan, membangun tim dan konsensus pada level strategis serta mampu mempraktekkan seni strategis dengan alokasi sumberdaya, membuat dan melaksanakan perencanaan strategis yang dihasilkan dari proses kerjasama antar lembaga, dalam hal ini adalah angkatan bersenjata negara-negara Sekutu yang terlibat dalam Operasi Overlord.

  

Pelajaran yang dapat diambil dari Kepemimpinan Strategis Dwight D. Eisenhower bahwa Dwight D. Eseinhower melihat inadequancy perencanaan saat mengalami perang, tetapi Eisenhower tidak pernah meremehkan pentingnya perencanaan sebelum peristiwa aktual. Sun Tzu mengatakan ; ketahuilah dirimu, ketahui musuhmu, seribu kali berperang, seribu kali juga kemenangan didapat, serta perencanaan yang baik merupakan lima puluh persen dari kemenangan.  Hal ini disadari betul oleh Dwight D. Eisenhower dengan merencanakan Operasi Overlord secara teliti dan baik sekali untuk mendapatkan kemenangan dan keberhasilan yang diinginkan. Hal lain yang perlu disimak dari Dwight D. Eisenhower adalah, bahwa ia mampu memenangkan rasa hormat dari bawahannya dan sekutunya karena sifat diplomatik kepemimpinannya. Eisenhower memimpin dengan persuasi bukan dengan menggunakan posisinya untuk memaksa orang untuk melakukan hal-hal karena takut. Pelajaran inilah yang dapat dan perlu kita petik, sebagai pemimpin sangatlah mudah menggunakan kekuasaan, tetapi yang lebih baik lagi adalah bagaimana kita bisa mengelola kekuasaan tersebut untuk memberdayakan tim yang ada tanpa harus ada unsur paksaan agar bawahan secara sukarela mau berbuat dan bertindak demi tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi.


KAJIAN PERTAHANAN NEGARA : TEORI DAN PENDEKATANNYA

 

Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan RI, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.  Dalam penyelenggaraan pertahanan negara maka diperlukan adanya kebijakan pertahanan negara. Kebijakan Pertahanan Negara telah digariskan sesuai dengan sasaran pembangunan kekuatan militer suatu negara. Karenanya, kebijakan Pertahanan perlu disertai dengan pedoman baku bagaimana merumuskannya, yang akan melahirkan adanya pertimbangan dan analisa dalam menghitung anggaran pertahanan negara sesuai dengan analisa potensi ancaman. 

Agar program pembangunan kekuatan pertahanan dapat terlaksana sesuai kebijakan dan strategi pertahanan negara, perlu adanya pedoman baku dalam perumusan yang menyangkut strategi keamanan nasional, pendekatan yang digunakan, kekuatan yang diperlukan, pentahapan pembangunan, peningkatan anggaran pertahanan Negara, peningkatan peran industri strategis nasional. Semua faktor tersebut tentu penganalisaannya perlu adanya berbagai teori yang mendukung.

 

Teori Hubungan Internasional.

    Liberalism.   Teori Hubungan Internasional ini muncul setelah Perang Dunia I untuk menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan membatasi perang dalam hubungan internasional mereka.   Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk Woodrow Wilson dan Normal Angell. Mereka beranggapan bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan perang itu dianggap terlalu destruktif, atau bisa dikatakan sebagai hal yang pada dasarnya sia-sia.  Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai paham tersebut bersifat secara kolektif, bahkan seringkali diejek sebagai idealisme oleh E.H. Carr.   Lantas sebuah versi baru idealisme yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai dasar legitimasi hukum internasional dikemukakan oleh Hans Kochler.

 

Realism.  Teori Hubungan Internasional ini sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr, Daniel Bernhard dan Hans Morgenthau menyatakan bahwa untuk meningkatkan keamanan mereka, negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan nasional mereka masing-masing (self-interested).  Setiap kerja sama antar negara-negara dijelaskan sebagai aktivitas yang benar-benar insidental.  Para realis melihat meletusnya Perang Dunia II sebagai pembuktian terhadap teori mereka.

 

Neorealism. Teori Hubungan Internasional ini, terutama yang merupakan karya Kenneth Waltz, sering pula dikenal teorinya itu realisme struktural. Sambil tetap mempertahankan pengamatan-pengamatan empiris realisme, bahwa hubungan internasional dikarakterkan oleh hubungan-hubungan antar negara yang antagonistik, para pendukung neorealisme menunjuk struktur anarkis dalam sistem internasional sebagai penyebabnya. Mereka menolak berbagai penjelasan yang mempertimbangkan pengaruh karakteristik-karakteristik dalam negeri suatu negara.   Negara-negara dipaksa oleh pencapaian yang relatif dan keseimbangan yang menghambat konsentrasi kekuasaan. Tidak seperti realisme, neorealisme berusaha ilmiah dan lebih positivis. Hal lain yang juga membedakan neorealisme dari realisme adalah bahwa neorealisme tidak menyetujui penekanan realisme pada penjelasan yang bersifat perilaku dalam hubungan internasional.

 

Neoliberalism.  Teori Hubungan Internasional ini berusaha memperbarui liberalisme dengan menyetujui asumsi neorealis bahwa negara-negara adalak aktor kunci dalam aktivitas hubungan internasional, tetapi tetap mempertahankan pendapat bahwa aktor-aktor bukan negara dan organisasi-organisasi antar pemerintah adalah juga penting. Para pendukungnya seperti Joseph Nye berargumen bahwa negara-negara akan bekerja sama terlepas dari pencapaian-pencapaian mutlak.  Meningkatnya saling ketergantungan selama Perang Dingin lewat institusi-institusi internasional lantas dianggap pula berarti neoliberalisme ini disebut juga liberal institusionalisme. Hal ini dikarenakan pada dasarnya bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan mereka sendiri tentang bagaimana mereka akan menerapkan kebijakan tanpa organisasi-organisasi internasional yang merintangi hak suatu bangsa atas kedaulatan. Neoliberalisme juga mengandung suatu teori ekonomi yang didasarkan pada penggunaan mekanisme pasar yang terbuka dan bebas dengan hanya sedikit (jika itu memang ada) intervensi pemerintah untuk mencegah terbentuknya monopoli dan bentuk-bentuk konglomerasi yang lain.

 

Berbagai teori tersebut dipakai sebagai alat untuk menganalisa yang akan menghasilkan suatu kebijakan militer untuk mendukung pertahanan negara.  Dikaitkan dengan hal tersebut, pembangunan kekuatan TNI tentunya juga harus didasarkan pada teori-teori perencanaan kekuatan dihadapkan pada kondisi riil kekinian, terutama  kemampuan dukungan anggaran pemerintah yang senantiasa diarahkan untuk pencapaian pelaksanaan tugas TNI sesuai dengan yang Undang-undang. Dalam perumusan kebijakan militer akan memperhatikan berbagai pendekatan.  Pendekatan-pendekatan tersebut merupakan kerangka berfikir yang melandasi perhitungan kebutuhan sistem pertahanan sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis dan kemampuan pemerintah.  Dengan demikian kekuatan yang dibangun tidak saja kapabel untuk menghadapi prediksi ancaman, namun juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

 

Pendekatan Perencanaan Kekuatan (Force Planning Approach). Perencanaan kekuatan (force planning) dapat didefinisikan sebagai “proses penentuan kebutuhan pertahanan  berdasarkan tuntutan keamanan Negara, dan pemilihan kekuatan militer untuk memenuhi kebutuhan tersebut dihadapkan pada keterbatasan anggaran[1].   Secara umum terdapat delapan pendekatan dalam perencanaan kekuatan, yaitu[2] :

a.  Pendekatan Atas-Bawah (Top Down).  Pendekatan ini didorong oleh sasaran (objectives drive) dan dilakukan dari level teratas secara berjenjang dengan tujuan untuk meminimalkan resiko.

 

b.   Pendekatan Bawah-Atas (Bottom Up).  Pendorong pendekatan ini adalah kemampuan militer saat ini (current military capability drives), sehingga dihasilkan suatu pemikiran yang lebih realistis terkait dengan kemampuan yang dimiliki dan kemungkinan ancaman yang dihadapi.

 

c.   Pendekatan Skenario (Scenario).  Pendekatan ini didorong oleh faktor situasional (situaltionally driven) yang menghasilkan sebuah prioritas sesuai kenyataan yang dihadapi dan asumsi skenario yang akan berlangsung, untuk ditetapkan menjadi skenario yang dipilih.

 

d.  Pendekatan Ancaman (Threat).  Pendekatan ini didorong oleh kemampuan lawan (driven by opponent capability) dengan hasil berupa perbandingan matematis antara kekuatan lawan dengan kekuatan yang akan dibangun secara head-to-head.

 

e.  Pendekatan Tugas (Mission).   Pendekatan ini didorong oleh elemen fungsi yang harus dipenuhi dalam pertempuran (functionally driven) dengan sasaran akhir keberhasilan pelaksanaan tugas.

 

f.   Pendekatan Pemagaran (Hedging).  Pendekatan ini didorong oleh adanya ketidakpastian (driven by uncertainty), sehingga perencanaan kekuatan dilakukan dengan mengedepankan keseimbangan dan fleksibilitas dalam menghadapi situasi yang berubah-ubah.

 

g. Pendekatan Teknologi (Technology).  Pendekatan ini dodorong oleh kepercayaan kepada teknologi (driven by technological optimism) dengan mencari konsep dan sistem teknologi tinggi (high-tech) yang berpotensi menjadi kekuatan pengganda.

 

h.  Pendekatan Anggaran (Fiscal).  Pendekatan ini didorong oleh ketersediaan anggaran (budget driven) yang dapat digunakan untuk membangun kekuatan yang dibutuhkan.



[1] Lioyd Richmod L., (etal, Fundamental of Force Planning, Naval War College, Press, Newport R.I.,1990, hal,326.

[2] Ibid, hal. 326-337.


10.8.22

MANAJEMEN PERTAHANAN NEGARA : MENCEGAH DISINTEGRASI MENJAGA PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA

 

Salah satu persoalan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kecenderungan kearah terjadinya disintegrasi bangsa, ketika ikrar berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu mulai padam seiring dengan berkembangnya primordialisme yang sempit dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Berbagai persoalan yang berbau SARA dan tindakan kekerasan merupakan isue aktual sehari-hari. Tegak atau runtuhnya suatu negara ditentukan oleh kemampuan dari bangsa itu sendiri dalam mengekspresikan eksistensinya sebagai sebuah bangsa serta bagaimana bangsa itu sendiri mampu menghadapi ancaman dari luar maupun gangguan dari dalam. Menurut undang-undang, pertahanan dan keamanan negara merupakan tanggung jawab semua warga negara. 

Manajemen dalam pembangunan pertahanan adalah bagaimana pengelolaan kemampuan sumber daya pertahanan yang berupa sumber daya manusia, yakni rakyat Indonesia baik militer maupun nonmiliter, sistem senjata dan manajemen pertahanan, sehingga mampu menghasilkan sistem pertahanan negara yang kuat. Dari keterpaduan unsur sumber daya manusia yang tanggap tanggon dan trengginas, dilengkapi dengan sistem senjata yang cukup dan didukung manajemen pertahanan yang handal akan menghasilkan pertahanan negara yang berdaya tangkal kuat.  Penyelenggaraan pertahanan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sistem/bentuk pertahanan yang kuat, yang memberikan daya tangkal terhadap pihak-pihak yang punya kepentingan tertentu di lingkungan wilayah NKRI.

Manajemen Pertahanan adalah aturan-aturan pokok bagaimana mengelola pertahanan keamanan negara, dimana yang dimaksud pengelolaan pertahanan negara menurut UU RI No.3 tahun 2002 adalah segala kegiatan pada tingkat strategis dan kebijaksanaan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pertahanan negara. Hakekat pertahanan negara bersifat semesta dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, sehingga implementasi manajemen pertahanan negara merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Bertolak dari pemikiran tersebut perlu dipikirkan adanya suatu implementasi manajemen pertahanan negara dihadapkan dengan potensi  disintegrasi agar dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

       Pelaksanaan manajemen Pertahanan Negara pada praktiknya menemui berbagai kendala seperti  penyelenggaraan perencanaan Sishanneg belum dilaksanakan dengan optimal, hal ini bisa terlihat dari perencanaan Sishanneg yang belum sinergis terutama ditingkat daerah.  Kemudian hal lain yang ditemui adalah pengorganisasian Sishanneg belum dilaksanakan secara optimal. Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa Kementerian Pertahanan belum mewadahi fungsi Hanneg di wilayah. Penyelenggaraan tugas dan fungsi pertahanan negara di daerah, selama ini dilaksanakan oleh Kodam sebagai Pelaksana Tugas dan Fungsi  Pertahanan (PTF) yang kemudian dihapus berdasarkan kebijakan dari Kementerian Pertahanan.  Hal lain juga ditemukan kendala pada penyelenggaraan Hanneg itu sendiri serta pengawasannya.

Mengingat pentingnya pertahanan negara bagi kelangsungan hidup suatu bangsa dihadapkan dengan perubahan dinamis, maka perlu adanya persamaan persepsi dan keterpaduan usaha dalam mewujudkan stabilitas keamanan nasional. Penyelenggaraan manajemen pertahanan diharapkan dilaksanakan secara optimal khususnya di wilayah sebagai representasi kehadiran kedaulatan Negara di daerah. Perencanaan manajemen pertahanan dilaksanakan berdasarkan dokumen Sisrenstra Kementerian Pertahanan yang disesuaikan dengan rencana jangka menengah dan rencana jangka panjang dari Bappenas RI, serta bahan masukan dari hasil kaji ulang Strategic Defence Review dengan lingkup perencanaan mengenai pembangunan, pembinaan dan penggunaan sistem pertahanan negara.

          Dalam penyelenggaraan manajemen pertahanan dengan memperhatikan centre of gravity  diharapkan didapatkan enam output pokok-pokok kebijakan pertahanan negara antara lain: pengintegrasian komponen Pertahanan Negara di wilayah, kebijakan pembentukan Desk Pengendali Pusat Kantor Pertahanan, kebijakan pemberdayaan wilayah Pertahanan, kebijakan penyelarasan MEF komponen utama, kebijakan sistem informasi Pertahanan Negara, dan kebijakan misi pemeliharaan perdamaian. Pengawasan merupakan fungsi manajemen pertahanan negara yang sangat penting dalam mengontrol penyelenggaraan pertahanan negara yang efektif, bersih, dan akuntabel.

          Pemberdayaan wilayah pertahanan diwujudkan dalam rangka mentransformasikan potensi pertahanan negara yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan/sarana prasarana, nilai-nilai, teknologi dan dana menjadi kekuatan pertahanan negara yang dipersiapkan sejak dini. Apabila ada kebijakan pembentukan Kantor Pertahanan di wilayah sebagai pelaksanaan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan, maka kebijakan tersebut perlu diimbangi dengan sinergitas dan koordinasi yang baik dengan Kogabwilhan sebagai bagian dari gelar komponen utama yang bersinergi dengan komponen pertahanan lainnya di wilayah, sehingga komponen utama mampu mengemban peran, fungsi dan tugas dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman di wilayah dengan lebih efektif dan efisien dalam satu kesatuan komando yang utuh. Kementerian Pertahanan sebagai bagian utama pemerintah dalam bidang pertahanan negara memiliki otoritas dalam merumuskan perencanaan, strategi dan kebijakan serta mewujudkan implementasi kebijakannya harus mengacu pada prinsip-prinsip good governance, khususnya menerapkan penyelengaraan manajemen pertahanan yang diharapkan dapat memadukan pengelolaan sumber daya nasional, penataan tata ruang, dan pembangunan kekuatan baik dalam bentuk komponen utama, komponen cadangan maupun komponen pendukung.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi pengawasan. Kegiatan pengawasan dalam penyelenggaraan pertahanan negara dilaksanakan oleh badan pengawas intern oleh Inspektorat Jenderal Kementerian, sedangkan untuk pengawasan umum dilakukan oleh BPK selaku badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan program dan anggaran yang dialokasikan untuk kepentingan pertahanan. Fungsi pengawasan merupakan : a) Pelaksanaan dari fungsi perencanaan (Administrasi Negara); b) Pelaksanaan dari tugas-tugas pertahanan (operasional pertahanan) apakah sudah berpedoman kepada doktrin dan strategi pertahanan nasional. c) Implementasi dari regulasi-regulasi aspek penyelenggaraan fungsi pertahanan. Fungsi pengawasan diselenggarakan melalui pengawasan internal dan eksternal yang dipadukan dengan fungsi pengawasan legislatif serta kontrol publik. Untuk pencapaian sasaran pengawasan secara maksimal, pengawasan sebagai fungsi manajemen harus diberdayakan secara sinergis dengan fungsi pengawasan internal dan eksternal yang sudah melembaga, sesuai dengan prosedur dan mekanisme serta peraturan perundang-undangan.

Terwujudnya penyelenggaraan manajemen pertahanan negara yang optimal pada akhirnya diharapkan dapat memahami dan mengelola kemajemukan bangsa secara baik dan adil sehingga  toleransi, kerukunan sosial, kebersamaan dan kesetaraan berbangsa dapat terwujud. Dengan demikian maka manajemen pertahanan negara harus memperhatikan keterkaitan logis antar tiga faktor kunci dalam pembangunan pertahanan negara, yaitu :1) sasaran strategis (strategic objectives) yang didasari oleh penilaian yang akurat terhadap prioritas ancaman; 2) kemampuan pertahanan (defense capability) yang dibangun, dibina, dan dipersiapkan; dan 3) anggaran yang proporsional antara kebutuhan penanganan ancaman aktual dan kebutuhan pembangunan kekuatan pertahanan jangka panjang. Dengan dapatnya diterapkan sistem pengelolaan dan penyelenggaraan pertahanan negara yang sistematis, dengan manajemen yang tepat, serta pengawasan yang terus-menerus, pada akhirnya dapat mencegah timbulnya disintegrasi dan dapat menjaga utuhnya persatuan dan kesatuan bangsa.