15.8.22

KAJIAN PERTAHANAN NEGARA : TEORI DAN PENDEKATANNYA

 

Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan RI, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.  Dalam penyelenggaraan pertahanan negara maka diperlukan adanya kebijakan pertahanan negara. Kebijakan Pertahanan Negara telah digariskan sesuai dengan sasaran pembangunan kekuatan militer suatu negara. Karenanya, kebijakan Pertahanan perlu disertai dengan pedoman baku bagaimana merumuskannya, yang akan melahirkan adanya pertimbangan dan analisa dalam menghitung anggaran pertahanan negara sesuai dengan analisa potensi ancaman. 

Agar program pembangunan kekuatan pertahanan dapat terlaksana sesuai kebijakan dan strategi pertahanan negara, perlu adanya pedoman baku dalam perumusan yang menyangkut strategi keamanan nasional, pendekatan yang digunakan, kekuatan yang diperlukan, pentahapan pembangunan, peningkatan anggaran pertahanan Negara, peningkatan peran industri strategis nasional. Semua faktor tersebut tentu penganalisaannya perlu adanya berbagai teori yang mendukung.

 

Teori Hubungan Internasional.

    Liberalism.   Teori Hubungan Internasional ini muncul setelah Perang Dunia I untuk menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan membatasi perang dalam hubungan internasional mereka.   Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk Woodrow Wilson dan Normal Angell. Mereka beranggapan bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan perang itu dianggap terlalu destruktif, atau bisa dikatakan sebagai hal yang pada dasarnya sia-sia.  Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai paham tersebut bersifat secara kolektif, bahkan seringkali diejek sebagai idealisme oleh E.H. Carr.   Lantas sebuah versi baru idealisme yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai dasar legitimasi hukum internasional dikemukakan oleh Hans Kochler.

 

Realism.  Teori Hubungan Internasional ini sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr, Daniel Bernhard dan Hans Morgenthau menyatakan bahwa untuk meningkatkan keamanan mereka, negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan nasional mereka masing-masing (self-interested).  Setiap kerja sama antar negara-negara dijelaskan sebagai aktivitas yang benar-benar insidental.  Para realis melihat meletusnya Perang Dunia II sebagai pembuktian terhadap teori mereka.

 

Neorealism. Teori Hubungan Internasional ini, terutama yang merupakan karya Kenneth Waltz, sering pula dikenal teorinya itu realisme struktural. Sambil tetap mempertahankan pengamatan-pengamatan empiris realisme, bahwa hubungan internasional dikarakterkan oleh hubungan-hubungan antar negara yang antagonistik, para pendukung neorealisme menunjuk struktur anarkis dalam sistem internasional sebagai penyebabnya. Mereka menolak berbagai penjelasan yang mempertimbangkan pengaruh karakteristik-karakteristik dalam negeri suatu negara.   Negara-negara dipaksa oleh pencapaian yang relatif dan keseimbangan yang menghambat konsentrasi kekuasaan. Tidak seperti realisme, neorealisme berusaha ilmiah dan lebih positivis. Hal lain yang juga membedakan neorealisme dari realisme adalah bahwa neorealisme tidak menyetujui penekanan realisme pada penjelasan yang bersifat perilaku dalam hubungan internasional.

 

Neoliberalism.  Teori Hubungan Internasional ini berusaha memperbarui liberalisme dengan menyetujui asumsi neorealis bahwa negara-negara adalak aktor kunci dalam aktivitas hubungan internasional, tetapi tetap mempertahankan pendapat bahwa aktor-aktor bukan negara dan organisasi-organisasi antar pemerintah adalah juga penting. Para pendukungnya seperti Joseph Nye berargumen bahwa negara-negara akan bekerja sama terlepas dari pencapaian-pencapaian mutlak.  Meningkatnya saling ketergantungan selama Perang Dingin lewat institusi-institusi internasional lantas dianggap pula berarti neoliberalisme ini disebut juga liberal institusionalisme. Hal ini dikarenakan pada dasarnya bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan mereka sendiri tentang bagaimana mereka akan menerapkan kebijakan tanpa organisasi-organisasi internasional yang merintangi hak suatu bangsa atas kedaulatan. Neoliberalisme juga mengandung suatu teori ekonomi yang didasarkan pada penggunaan mekanisme pasar yang terbuka dan bebas dengan hanya sedikit (jika itu memang ada) intervensi pemerintah untuk mencegah terbentuknya monopoli dan bentuk-bentuk konglomerasi yang lain.

 

Berbagai teori tersebut dipakai sebagai alat untuk menganalisa yang akan menghasilkan suatu kebijakan militer untuk mendukung pertahanan negara.  Dikaitkan dengan hal tersebut, pembangunan kekuatan TNI tentunya juga harus didasarkan pada teori-teori perencanaan kekuatan dihadapkan pada kondisi riil kekinian, terutama  kemampuan dukungan anggaran pemerintah yang senantiasa diarahkan untuk pencapaian pelaksanaan tugas TNI sesuai dengan yang Undang-undang. Dalam perumusan kebijakan militer akan memperhatikan berbagai pendekatan.  Pendekatan-pendekatan tersebut merupakan kerangka berfikir yang melandasi perhitungan kebutuhan sistem pertahanan sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis dan kemampuan pemerintah.  Dengan demikian kekuatan yang dibangun tidak saja kapabel untuk menghadapi prediksi ancaman, namun juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

 

Pendekatan Perencanaan Kekuatan (Force Planning Approach). Perencanaan kekuatan (force planning) dapat didefinisikan sebagai “proses penentuan kebutuhan pertahanan  berdasarkan tuntutan keamanan Negara, dan pemilihan kekuatan militer untuk memenuhi kebutuhan tersebut dihadapkan pada keterbatasan anggaran[1].   Secara umum terdapat delapan pendekatan dalam perencanaan kekuatan, yaitu[2] :

a.  Pendekatan Atas-Bawah (Top Down).  Pendekatan ini didorong oleh sasaran (objectives drive) dan dilakukan dari level teratas secara berjenjang dengan tujuan untuk meminimalkan resiko.

 

b.   Pendekatan Bawah-Atas (Bottom Up).  Pendorong pendekatan ini adalah kemampuan militer saat ini (current military capability drives), sehingga dihasilkan suatu pemikiran yang lebih realistis terkait dengan kemampuan yang dimiliki dan kemungkinan ancaman yang dihadapi.

 

c.   Pendekatan Skenario (Scenario).  Pendekatan ini didorong oleh faktor situasional (situaltionally driven) yang menghasilkan sebuah prioritas sesuai kenyataan yang dihadapi dan asumsi skenario yang akan berlangsung, untuk ditetapkan menjadi skenario yang dipilih.

 

d.  Pendekatan Ancaman (Threat).  Pendekatan ini didorong oleh kemampuan lawan (driven by opponent capability) dengan hasil berupa perbandingan matematis antara kekuatan lawan dengan kekuatan yang akan dibangun secara head-to-head.

 

e.  Pendekatan Tugas (Mission).   Pendekatan ini didorong oleh elemen fungsi yang harus dipenuhi dalam pertempuran (functionally driven) dengan sasaran akhir keberhasilan pelaksanaan tugas.

 

f.   Pendekatan Pemagaran (Hedging).  Pendekatan ini didorong oleh adanya ketidakpastian (driven by uncertainty), sehingga perencanaan kekuatan dilakukan dengan mengedepankan keseimbangan dan fleksibilitas dalam menghadapi situasi yang berubah-ubah.

 

g. Pendekatan Teknologi (Technology).  Pendekatan ini dodorong oleh kepercayaan kepada teknologi (driven by technological optimism) dengan mencari konsep dan sistem teknologi tinggi (high-tech) yang berpotensi menjadi kekuatan pengganda.

 

h.  Pendekatan Anggaran (Fiscal).  Pendekatan ini didorong oleh ketersediaan anggaran (budget driven) yang dapat digunakan untuk membangun kekuatan yang dibutuhkan.



[1] Lioyd Richmod L., (etal, Fundamental of Force Planning, Naval War College, Press, Newport R.I.,1990, hal,326.

[2] Ibid, hal. 326-337.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda