Pertahanan
Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah Negara Kesatuan RI, dan keselamatan segenap bangsa dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Dalam penyelenggaraan pertahanan negara maka
diperlukan adanya kebijakan pertahanan negara. Kebijakan
Pertahanan Negara telah digariskan sesuai dengan sasaran pembangunan kekuatan
militer suatu negara. Karenanya, kebijakan Pertahanan perlu disertai dengan pedoman baku bagaimana
merumuskannya, yang akan melahirkan adanya pertimbangan dan analisa dalam
menghitung anggaran pertahanan negara sesuai dengan analisa potensi ancaman.
Agar program
pembangunan kekuatan pertahanan dapat terlaksana sesuai kebijakan dan strategi
pertahanan negara, perlu adanya pedoman baku dalam perumusan yang menyangkut
strategi keamanan nasional, pendekatan yang digunakan, kekuatan yang
diperlukan, pentahapan pembangunan, peningkatan anggaran pertahanan Negara,
peningkatan peran industri strategis nasional. Semua faktor tersebut tentu
penganalisaannya perlu adanya berbagai teori yang mendukung.
Teori Hubungan Internasional.
Liberalism. Teori Hubungan Internasional ini muncul setelah Perang Dunia I untuk menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan membatasi perang dalam hubungan internasional mereka. Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk Woodrow Wilson dan Normal Angell. Mereka beranggapan bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan perang itu dianggap terlalu destruktif, atau bisa dikatakan sebagai hal yang pada dasarnya sia-sia. Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai paham tersebut bersifat secara kolektif, bahkan seringkali diejek sebagai idealisme oleh E.H. Carr. Lantas sebuah versi baru idealisme yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai dasar legitimasi hukum internasional dikemukakan oleh Hans Kochler.
Realism. Teori Hubungan Internasional ini sebagai
tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa negara-negara
berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr, Daniel
Bernhard dan Hans Morgenthau menyatakan bahwa untuk meningkatkan keamanan
mereka, negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari
kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan nasional mereka masing-masing (self-interested). Setiap kerja sama antar negara-negara
dijelaskan sebagai aktivitas yang benar-benar insidental. Para realis melihat meletusnya Perang Dunia
II sebagai pembuktian terhadap teori mereka.
Neorealism. Teori Hubungan
Internasional ini, terutama yang merupakan karya Kenneth Waltz, sering pula
dikenal teorinya itu realisme struktural. Sambil tetap mempertahankan
pengamatan-pengamatan empiris realisme, bahwa hubungan internasional
dikarakterkan oleh hubungan-hubungan antar negara yang antagonistik, para
pendukung neorealisme menunjuk struktur anarkis dalam sistem internasional
sebagai penyebabnya. Mereka menolak berbagai penjelasan yang mempertimbangkan
pengaruh karakteristik-karakteristik dalam negeri suatu negara. Negara-negara dipaksa oleh pencapaian yang
relatif dan keseimbangan yang menghambat konsentrasi kekuasaan. Tidak seperti
realisme, neorealisme berusaha ilmiah dan lebih positivis. Hal lain yang juga
membedakan neorealisme dari realisme adalah bahwa neorealisme tidak menyetujui
penekanan realisme pada penjelasan yang bersifat perilaku dalam hubungan
internasional.
Neoliberalism. Teori Hubungan
Internasional ini berusaha memperbarui liberalisme dengan menyetujui asumsi
neorealis bahwa negara-negara adalak aktor kunci dalam aktivitas hubungan
internasional, tetapi tetap mempertahankan pendapat bahwa aktor-aktor bukan
negara dan organisasi-organisasi antar pemerintah adalah juga penting. Para
pendukungnya seperti Joseph Nye berargumen bahwa negara-negara akan bekerja sama
terlepas dari pencapaian-pencapaian mutlak.
Meningkatnya saling ketergantungan selama Perang Dingin lewat
institusi-institusi internasional lantas dianggap pula berarti neoliberalisme
ini disebut juga liberal institusionalisme. Hal ini dikarenakan pada dasarnya
bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan mereka sendiri tentang bagaimana
mereka akan menerapkan kebijakan tanpa organisasi-organisasi internasional yang
merintangi hak suatu bangsa atas kedaulatan. Neoliberalisme juga mengandung
suatu teori ekonomi yang didasarkan pada penggunaan mekanisme pasar yang
terbuka dan bebas dengan hanya sedikit (jika itu memang ada) intervensi
pemerintah untuk mencegah terbentuknya monopoli dan bentuk-bentuk konglomerasi
yang lain.
Berbagai teori tersebut
dipakai sebagai alat untuk menganalisa yang akan menghasilkan suatu kebijakan
militer untuk mendukung pertahanan negara.
Dikaitkan dengan hal tersebut, pembangunan kekuatan TNI tentunya juga
harus didasarkan pada teori-teori perencanaan kekuatan dihadapkan pada kondisi
riil kekinian, terutama kemampuan
dukungan anggaran pemerintah yang senantiasa diarahkan untuk pencapaian
pelaksanaan tugas TNI sesuai dengan yang Undang-undang. Dalam perumusan
kebijakan militer akan memperhatikan berbagai pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut merupakan
kerangka berfikir yang melandasi perhitungan kebutuhan sistem pertahanan sesuai
dengan perkembangan lingkungan strategis dan kemampuan pemerintah. Dengan demikian kekuatan yang dibangun tidak
saja kapabel untuk menghadapi prediksi ancaman, namun juga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pendekatan Perencanaan Kekuatan (Force Planning Approach). Perencanaan
kekuatan (force planning) dapat
didefinisikan sebagai “proses penentuan kebutuhan pertahanan berdasarkan tuntutan keamanan Negara, dan
pemilihan kekuatan militer untuk memenuhi kebutuhan tersebut dihadapkan pada
keterbatasan anggaran[1]. Secara umum terdapat delapan pendekatan
dalam perencanaan kekuatan, yaitu[2] :
a. Pendekatan Atas-Bawah (Top Down). Pendekatan ini didorong oleh sasaran (objectives drive) dan dilakukan dari
level teratas secara berjenjang dengan tujuan untuk meminimalkan resiko.
b. Pendekatan Bawah-Atas (Bottom Up). Pendorong pendekatan ini adalah kemampuan
militer saat ini (current military
capability drives), sehingga dihasilkan suatu pemikiran yang lebih
realistis terkait dengan kemampuan yang dimiliki dan kemungkinan ancaman yang
dihadapi.
c. Pendekatan Skenario (Scenario). Pendekatan ini
didorong oleh faktor situasional (situaltionally
driven) yang menghasilkan sebuah prioritas sesuai kenyataan yang dihadapi
dan asumsi skenario yang akan berlangsung, untuk ditetapkan menjadi skenario
yang dipilih.
d. Pendekatan Ancaman (Threat). Pendekatan ini
didorong oleh kemampuan lawan (driven by
opponent capability) dengan hasil berupa perbandingan matematis antara
kekuatan lawan dengan kekuatan yang akan dibangun secara head-to-head.
e. Pendekatan Tugas (Mission). Pendekatan ini
didorong oleh elemen fungsi yang harus dipenuhi dalam pertempuran (functionally driven) dengan sasaran
akhir keberhasilan pelaksanaan tugas.
f. Pendekatan Pemagaran (Hedging). Pendekatan ini didorong oleh adanya
ketidakpastian (driven by uncertainty),
sehingga perencanaan kekuatan dilakukan dengan mengedepankan keseimbangan dan
fleksibilitas dalam menghadapi situasi yang berubah-ubah.
g. Pendekatan Teknologi (Technology). Pendekatan ini dodorong oleh kepercayaan
kepada teknologi (driven by technological
optimism) dengan mencari konsep dan sistem teknologi tinggi (high-tech) yang berpotensi menjadi
kekuatan pengganda.
h. Pendekatan Anggaran (Fiscal). Pendekatan ini
didorong oleh ketersediaan anggaran (budget
driven) yang dapat digunakan untuk membangun kekuatan yang dibutuhkan.
[1] Lioyd Richmod L.,
(etal, Fundamental of Force Planning, Naval War College, Press, Newport
R.I.,1990, hal,326.
[2] Ibid, hal. 326-337.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda