Kesadaran
Geografi
Geografi merupakan ilmu
pengetahuan yang mempelajari kenampakan fenomena geosfer di permukaan bumi. Geografi berasal dari bahasa latin yaitu, 'Geo' berarti 'Bumi' dan 'Grafis' berarti 'menulis'. Jadi,
'Geografi' adalah gambaran tentang bumi, namun dalam pemanfaatannya geografi adalah
pengetahuan tentang semua fenomena bumi dimana alam dan orang-orang terlibat
bersama. Sehingga hakekatnya geografi merupakan pengkajian keruangan tentang
fenomena dan masalah kehidupan manusia.[1]
Geografi penting untuk
dipelajari, karena Geografi dapat mengasah kecerdasan keruangan (spatial intellegent) seseorang dalam
memahami fenomena geosfer. Dalam konteks perubahan iklim global, geografi
menjadi sangat penting dan mempunyai peran dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, karena perubahan dan dinamika bumi yang kita tempati sedemikian
cepat, sehingga apabila salah dalam pengelolaan dan mengantisipasi perubahannya,
berdampak pada keberlangsungan pembangunan nasional. Hal ini selaras seperti yang disampaikan
salah satu ahli geografi, bahwa “geografi
adalah ilmu pengetahuan yang mencitra, menerangkan sifat bumi, menganalisis
gejala alam dan penduduk serta mempelajari corak khas mengenai kehidupan dan
berusaha mencari fungsi dari unsur bumi dalam ruang dan waktu” (Bintarto:1977),
sehingga dalam memahami perubahan iklim global sangat diperlukan tentang
kesadaran geografi.
Kesadaran geografi penduduk
Indonesia saat ini dapat dikatakan masih rendah, hal ini dilihat dari tingkat
kesadaran dan pengetahuan cara menghadapi bencana masih rendah, di mana
kesiapsiagaan belum menjadi budaya di antara masyarakat Indonesia.[2] BNPB mencatat pada tahun 2017 terjadi 2.372
bencana, dengan jumlah korban meninggal/hilang 337 jiwa dan 349 juta orang
mengungsi karena bencana. Data tersebut mengindikasikan masih rentannya
penduduk Indonesia akan risiko bencana karena belum sepenuhnya menyadari kondisi
geografis, geologis, hidrologis, dan demografis Indonesia yang rentan terhadap
bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam (gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, angin puting beliung, dsb) maupun faktor manusia (kebakaran, banjir,
longsor, dsb).
Bencana dapat terjadi karena
faktor alam, namun yang paling berperan menyebabkan bencana alam adalah faktor antropogenik atau pengaruh ulah
manusia. Ulah manusialah yang
mengakibatkan sampah berserakan yang mengotori alam, udara yang terpolusi
akibat penggunaan aerosol, laut yang tercemar akibat tumpahan minyak, udara
yang terpolusi akibat 40 miliar ton karbondioksida (CO2), lahan hutan yang
semakin berkurang karena penebangan liar, berdampak pada peningkatan emisi gas
rumah kaca (GRK) yang pada akhirnya memicu percepatan perubahan iklim global.[3]
Perubahan iklim global
inilah yang kemudian menjadikan seringnya terjadi bencana, termasuk di Indonesia.
Bencana hidrometeorologi atau yang
disebabkan oleh perubahan iklim menjadi bencana yang paling sering terjadi di
Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.[4] Bencana akibat perubahan
iklim seharusnya dapat diantisipasi dan dipersiapkan penanganannya sebelum
bencana terjadi, dengan mengetahui penyebab dan cara mengatasinya. Upaya ini
diperlukan untuk memperkecil jumlah korban jiwa dan kerugian akibat bencana
yang selalu terjadi. Dalam hal ini sangat diperlukan adanya kebijakan dari
pemerintah selaku regulator dalam hal pengelolaan SDA dan lingkungan serta
upaya memobilisasi Sumber Daya pada saat menangani bencana.
Memahami
perubahan Iklim Global
Peningkatan kesadaran
geografi yang diwujudkan dalam bentuk kesadaran
akan bencana merupakan prioritas dalam memahami perubahan iklim global. Faktor
utama yang paling menentukan keselamatan seseorang ketika menghadapi bencana
adalah tingkat penguasaan pengetahuan tentang bencana, dimana keputusan dan
tindakan apa yang diambil dalam rentang waktu yang sempit tersebut bakal
menentukan hidup dan mati.
Hasil survei Great Hansin Earthquake di Jepang pada
tahun 1995 menunjukkan kalau korban dapat selamat dalam durasi “golden time” (sekitar 10-30 menit
setelah terjadinya bencana) karena beberapa faktor: di antaranya kesiapsiagaan
diri sendiri (35%), dukungan anggota keluarga (31,9%), dukungan teman/tetangga
(28,1%), dukungan orang di sekitar (2,60%), dukungan tim Search and Rescue (SAR) (1,70%), dll (0.90%).[5]
Berdasarkan Kerangka Aksi
Hyogo (Hyogo Framework Action/HFA),
tidak ada kemajuan berarti dalam pengurangan risiko bencana di Indonesia dengan
indeks 3,16-3,3. Sementara itu, berdasarkan World
Risk Index tahun 2016, Indonesia memiliki risiko bencana alam ekstrem
sebesar 10,24 persen.[6] Berkaca dengan data
tersebut seharusnya kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai bencana harus
ditingkatkan melalui edukasi yang terprogram dan terstruktur disertai dengan
pelatihan menghadapi bencana. Pemahaman
Migitasi harus ditingkatkan dan dimengerti sehingga pada akhirnya diharapkan
dapat terwujud sikap, pengertian, dan pemahaman masyarakat bahwa bukan hanya bencananya
yang berbahaya, tetapi sikap kita terhadap bencana yang menyebabkan berbahaya
(sudah tahu daerah tersebut rawan bencana, tetapi masih bersikeras tetap
tinggal disana tanpa memiliki rencana kesiapsiagaan bencana).
[1] Materi Pokok Bidang Studi Geografi,
Lemhannas RI, Tahun 2018, hal. 11
[2] BNPB, Peringatan Hari Kesiapsiagaan
Bencana Tahun 2017
[3] https://www.harianhaluan.com/news/detail/56485/bencana-alam-dan-perubahan-iklim.
[4] https://www.voaindonesia.com/a/perubahan-iklim-picu-terjadinya-bencana-alam-di-indonesia/2903889.html.
[5] https://siaga.bnpb.go.id/hkb/berita/kesiapsiagaan-keluarga-pondasi-ketangguhan-negara-terhadap-bencana.
[6] https://pinterpolitik.com/indonesia-krisis-mitigasi-bencana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda