16.7.18

PENINGKATAN KESADARAN GEOGRAFI GUNA MEMAHAMI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL




Kesadaran Geografi

Geografi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kenampakan fenomena geosfer di permukaan bumi.  Geografi berasal dari bahasa latin yaitu, 'Geo' berarti 'Bumi' dan 'Grafis' berarti 'menulis'. Jadi, 'Geografi' adalah gambaran tentang bumi, namun dalam pemanfaatannya geografi adalah pengetahuan tentang semua fenomena bumi dimana alam dan orang-orang terlibat bersama. Sehingga hakekatnya geografi merupakan pengkajian keruangan tentang fenomena dan masalah kehidupan manusia.[1]

Geografi penting untuk dipelajari, karena Geografi dapat mengasah kecerdasan keruangan (spatial intellegent) seseorang dalam memahami fenomena geosfer. Dalam konteks perubahan iklim global, geografi menjadi sangat penting dan mempunyai peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena perubahan dan dinamika bumi yang kita tempati sedemikian cepat, sehingga apabila salah dalam pengelolaan dan mengantisipasi perubahannya, berdampak pada keberlangsungan pembangunan nasional.  Hal ini selaras seperti yang disampaikan salah satu ahli geografi, bahwa “geografi adalah ilmu pengetahuan yang mencitra, menerangkan sifat bumi, menganalisis gejala alam dan penduduk serta mempelajari corak khas mengenai kehidupan dan berusaha mencari fungsi dari unsur bumi dalam ruang dan waktu” (Bintarto:1977), sehingga dalam memahami perubahan iklim global sangat diperlukan tentang kesadaran geografi.

Kesadaran geografi penduduk Indonesia saat ini dapat dikatakan masih rendah, hal ini dilihat dari tingkat kesadaran dan pengetahuan cara menghadapi bencana masih rendah, di mana kesiapsiagaan belum menjadi budaya di antara masyarakat Indonesia.[2]  BNPB mencatat pada tahun 2017 terjadi 2.372 bencana, dengan jumlah korban meninggal/hilang 337 jiwa dan 349 juta orang mengungsi karena bencana. Data tersebut mengindikasikan masih rentannya penduduk Indonesia akan risiko bencana karena belum sepenuhnya menyadari kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis Indonesia yang rentan terhadap bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam (gempa bumi, tsunami, gunung meletus, angin puting beliung, dsb) maupun faktor manusia (kebakaran, banjir, longsor, dsb).

Bencana dapat terjadi karena faktor alam, namun yang paling berperan menyebabkan bencana alam adalah faktor antropogenik atau pengaruh ulah manusia.  Ulah manusialah yang mengakibatkan sampah berserakan yang mengotori alam, udara yang terpolusi akibat penggunaan aerosol, laut yang tercemar akibat tumpahan minyak, udara yang terpolusi akibat 40 miliar ton karbondioksida (CO2), lahan hutan yang semakin berkurang karena penebangan liar, berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) yang pada akhirnya memicu percepatan perubahan iklim global.[3]

Perubahan iklim global inilah yang kemudian menjadikan seringnya terjadi bencana, termasuk di Indonesia. Bencana hidrometeorologi atau yang disebabkan oleh perubahan iklim menjadi bencana yang paling sering terjadi di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.[4] Bencana akibat perubahan iklim seharusnya dapat diantisipasi dan dipersiapkan penanganannya sebelum bencana terjadi, dengan mengetahui penyebab dan cara mengatasinya. Upaya ini diperlukan untuk memperkecil jumlah korban jiwa dan kerugian akibat bencana yang selalu terjadi. Dalam hal ini sangat diperlukan adanya kebijakan dari pemerintah selaku regulator dalam hal pengelolaan SDA dan lingkungan serta upaya memobilisasi Sumber Daya pada saat menangani bencana.



Memahami perubahan Iklim Global

Peningkatan kesadaran geografi yang diwujudkan dalam bentuk kesadaran akan bencana merupakan prioritas dalam memahami perubahan iklim global. Faktor utama yang paling menentukan keselamatan seseorang ketika menghadapi bencana adalah tingkat penguasaan pengetahuan tentang bencana, dimana keputusan dan tindakan apa yang diambil dalam rentang waktu yang sempit tersebut bakal menentukan hidup dan mati.

Hasil survei Great Hansin Earthquake di Jepang pada tahun 1995 menunjukkan kalau korban dapat selamat dalam durasi “golden time” (sekitar 10-30 menit setelah terjadinya bencana) karena beberapa faktor: di antaranya kesiapsiagaan diri sendiri (35%), dukungan anggota keluarga (31,9%), dukungan teman/tetangga (28,1%), dukungan orang di sekitar (2,60%), dukungan tim Search and Rescue (SAR) (1,70%), dll (0.90%).[5]

Berdasarkan Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework Action/HFA), tidak ada kemajuan berarti dalam pengurangan risiko bencana di Indonesia dengan indeks 3,16-3,3. Sementara itu, berdasarkan World Risk Index tahun 2016, Indonesia memiliki risiko bencana alam ekstrem sebesar 10,24 persen.[6] Berkaca dengan data tersebut seharusnya kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai bencana harus ditingkatkan melalui edukasi yang terprogram dan terstruktur disertai dengan pelatihan  menghadapi bencana. Pemahaman Migitasi harus ditingkatkan dan dimengerti sehingga pada akhirnya diharapkan dapat terwujud sikap, pengertian, dan pemahaman masyarakat bahwa bukan hanya bencananya yang berbahaya, tetapi sikap kita terhadap bencana yang menyebabkan berbahaya (sudah tahu daerah tersebut rawan bencana, tetapi masih bersikeras tetap tinggal disana tanpa memiliki rencana kesiapsiagaan bencana).


[1] Materi Pokok Bidang Studi Geografi, Lemhannas RI, Tahun 2018, hal. 11
[2] BNPB, Peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana Tahun 2017
[3] https://www.harianhaluan.com/news/detail/56485/bencana-alam-dan-perubahan-iklim.
[4] https://www.voaindonesia.com/a/perubahan-iklim-picu-terjadinya-bencana-alam-di-indonesia/2903889.html.
[5] https://siaga.bnpb.go.id/hkb/berita/kesiapsiagaan-keluarga-pondasi-ketangguhan-negara-terhadap-bencana.
[6] https://pinterpolitik.com/indonesia-krisis-mitigasi-bencana/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda