3.5.18

MENINGKATKAN PENGAMALAN PANCASILA ANGGOTA LEGISLATIF GUNA MEWUJUDKAN PARLEMEN YANG BERKUALITAS




Pendahuluan 

    Pancasila adalah Ideologi Nasional, Dasar Negara sekaligus Falsafah Pandangan Hidup Bangsa.  Pancasila  sebagai  dasar  dan  ideologi  negara  merupakan  kesepakatan   politik   para   Founding Fathers ketika negara Indonesia didirikan, dimana nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.  Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila berupa nilai kebersamaan, saling menghargai, peduli, toleransi, harmonis merupakan akar budaya bangsa. Dengan demikian Pancasila merupakan jati diri atau identitas bangsa Indonesia. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara maka sudah seharusnya Pancasila mendasari dan menjiwai semua proses penyelenggaraan negara  di berbagai  bidang  serta  menjadi  rujukan  bagi  seluruh  rakyat Indonesia dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupannya sehari-hari.

    Penyelenggaraan pemerintahan Indonesia tidak terlepas dari tata pemerintahan yang berlandaskan demokrasi. Konsep demokrasi negara Indonesia tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 yang menginginkan terwujudnya pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Semua itu merupakan gagasan-gagasan dasar yang melandasi kehidupan negara yang demokratis.  Pemerintahan demokratis diselenggarakan oleh Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

    Lembaga Legislatif yang diwujudkan dalam kehidupan Parlemen dengan fungsi legislasinya diharapkan mampu menghasilkan kebijakan dan produk hukum  yang benar-benar pro rakyat dan berlandaskan Pancasila. Namun pada kenyataannya kebijakan dan peraturan perundangan yang dihasilkan lebih kepada penyelesaian masalah semata, dan terkesan tidak mempedomani Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Hal ini tercermin dari rata-rata tingkat kehadiran anggota DPR di bawah 50 persen pada 2017.  Hal ini berkorelasi terhadap produktivitas yang rendah. Sepanjang 2017, DPR hanya mampu menghasilkan 11,5 persen produk legislasi dari target 2017 atau 6 undang-undang (UU) dari 52 rancangan undang-undang (RUU) prioritas.  Pada bidang pengawasan, sepanjang 2017 DPR membentuk 65 Panja untuk menindak lanjuti hasil pengawasan. Namun hanya 15 Panja yang memiliki hasil yang jelas. Sedangkan sisanya, 50 Panja tidak diketahui tindak lanjutnya atau tidak jelas.[1] Bertolak dari pemikiran bahwa UU merupakan acuan bagi penyelenggara pemerintahan untuk menjalankan agenda-agenda pembangunan mewujudkan kepentingan dan tujuan nasional, tentunya UU tersebut harus benar-benar dirasakan manfaatnya dan berguna bagi kehidupan masyarakat banyak dan agar produk hukum tersebut nantinya tidak digugat di Mahkamah Konstitusi. Maka Parlemen yang diawaki oleh politikus dalam praktik legislasinya harus berlandaskan nilai-nilai Pancasila.   Permasalahannya; bagaimana meningkatkan pengamalan Pancasila bagi anggota Legislatif agar dapat mewujudkan Parlemen yang berkualitas.

Pembahasan
a.    Pancasila sebagai Paradigma. 
         Pancasila sebagai dasar filsafat NKRI secara resmi disahkan oleh BPUPKI sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan dicantumkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.  Sebagai dasar negara, Pancasila pada hakikatnya merupakan nilai yang dikembangkan sebagai cita hukum yang mengembangkan nilai keseimbangan, keserasian, dan keselarasan serta persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjaga tetap tegak utuhnya NKRI. Hal ini perlu disadari dan diyakini oleh para penyelenggara pemerintahan, khususnya anggota Legislatif di Parlemen dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya.  Dalam kehidupan demokrasi, memang sudah seharusnya kita menempatkan Pancasila sebagai paradigma.  Paradigma menurut  Thomas Kuhn (1962) dikembangkan dari definisi paradigma pengetahuan adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Dalam artian paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual dalam memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk masyarakan ilmiah dalam disiplin tertentu.  Maka Pancasila sebagai paradigma berarti Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka acuan berpikir dan sekaligus sebagai kerangka arah dan tujuan bagi anggota Legislatif dalam menjalankan tugas dan fungsinya agar kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan selalu berlandaskan kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan menempatkan Pancasila sebagai paradigma, maka sistem politik yang dijalankan oleh anggota Legislatif harus dikembangkankan atas asas kerakyatan sesuai dengan sila IV Pancasila. Asas-asas moral dan etika yang terkandung dalam Pancasila harus menjadi pertimbangan dan landasan kerangka berpikir dan bertindak dalam memutuskan kebijakan dan produk hukum oleh anggota Legislatif.  Hal ini menjadi penting karena peran anggota Legislatif di Parlemen sangat menentukan dalam perjalanan hidup berbangsa dan bernegara, karena Parlemen merupakan hulu dari kebijakan negara.

b.    Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan politis Legislatif.
Dalam kehidupan demokrasi, Parlemen merupakan salah satu perwujudan praktik demokrasi, dimana dapat dikatakan Parlemen merupakan arena kontestasi kepentingan politik diantara berbagai kekuatan politik yang hendak mengambil peran menentukan arah kebijakan negara[2]. Dihubungkan dengan teori Kepemimpinan, maka Legislatif juga merupakan bagian dari Kepemimpinan Nasional.  William G. Scott (1973) dalam buku “Leadership Failures, the Distrusting Public, and Prospects of the Administrative State” menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas yang diorganisir dalam suatu kelompok dalam usahanya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkannya.  Sebagai bagian dari Kepemimpinan Nasional maka anggota Legislatif juga harus mengerti, menghayati dan mampu mengamalkan nilai-nilai Pancasila.  Dihadapkan dengan kinerja Parlemen tahun 2017 yang sangat rendah, dimana dari 52 RUU yang masuk dalam Prolegnas namun hanya dapat diselesaikan menjadi UU hanya 6 buah, belum lagi kalau ditinjau dari kualitas, tentunya ini merupakan catatan tersendiri bagi kita kalau menghendaki adanya Parlemen berkualitas, yang mampu menghasilkan kebijakan dan produk hukum sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat.  Pemimpin harus dapat menjadi contoh dan tauladan bagi yang dipimpin agar nantinya dapat dipercaya.  Kepercayaan masyarakat kepada Legislatif salah satunya dibangun dari kinerja dan sikap perilaku sehari-hari.  KPK mencatat selama 2017, pelaku korupsi terbanyak berasal dari pejabat birokrasi pemerintahan pusat dan daerah.  Tercatat ada 43 perkara korupsi yang melibatkan pejabat eselon 1 hingga 4.  Selanjutnya pelaku dari swasta terlibat di 27 perkara,  diperingkat ketiga, para anggota DPR dan DPRD tersangkut 20 perkara[3]. Berkaca dari “raport Legislatif” tersebut maka perlu langkah-langkah konstruktif dan konkrit bagi Legislatif untuk kembali berkaca kepada Pancasila.  Nilai kemanusiaan, nilai mufakat, musyawarah dan pewakilan serta kebijaksanaan yang berlandaskan etika dan moral adalah nilai-nilai  luhur yang terkandung dalam Pancasila.  Nilai-nilai ini harus diaktualisasi kembali sehingga dapat benar-benar dihayati dan diamalkan oleh anggota Legislatif.  Kita semua meyakini akan kebenaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, karena nilai-nilai tesebut disarikan dari adat istidat dan budaya luhur bangsa Indonesia.  Pengamalan yang dimaksud adalah dengan melakukan  Transformasi Pancasila kepada Parlemen secara intens, terencana dan terstruktur dengan tujuan untuk membentuk jiwa kepribadian, tingkah laku, sikap, moral dan etika anggota Legislatif agar sejalan dan selalu dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Pembentukan jiwa kepribadian, tingkah laku, sikap, moral dan etika akan melandasi pola pikir dan pola tindak anggota Legislatif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dibidang politik. Implementasinya dapat terlihat pada nilai sosial politik yang dijadikan moral anggota Legislatif, yaitu; 1) nilai toleransi, 2) nilai transparansi hukum dan kelembagaan, 3) nilai kejujuran dan komitmen, dan 4) bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3)[4]    Apabila langkah pengamalan Pancasila ini dapat terwujud maka outcome yang diharapkan adalah terwujudnya Parlemen yang berkualitas yang diawaki oleh anggota Legislatif yang menjunjung tinggi moral dan etika.

Penutup.
a.    Simpulan.
    Kinerja Legislatif yang direpresentasikan dalam Parlemen merupakan cerminan kualitas lembaga yang diwakilinya.  Nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi watak, karakter dan perilaku anak bangsa belum benar-benar dihayati dan diamalkan oleh anggota Legislatif, sehingga  kebijakan dan produk hukum yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat dalam mewujudkan tujuan nasional NKRI yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945.

b.    Saran.
    Diperlukan aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjadikan Pancasila sebagai paradigma disertai pengamalannya dengan melaksanakan langkah-langkah intens, terencana dan terstruktur untuk membentuk jiwa kepribadian, tingkah laku, sikap, moral dan etika anggota Legislatif agar terwujud Parlemen yang berkualitas.


[1] https://nasional.kompas.com/read/2017/12/26/14021761/2017-tahun-gelap-dpr,
[4] Bahan Ajar Bidang Studi Pancasila & UUD NRI 1945, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda