Pendahuluan
Pancasila adalah Ideologi Nasional,
Dasar Negara sekaligus Falsafah Pandangan Hidup Bangsa. Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara
merupakan kesepakatan politik
para Founding
Fathers ketika negara Indonesia didirikan,
dimana nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila digali dari nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia. Nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam Pancasila berupa nilai kebersamaan, saling
menghargai, peduli, toleransi, harmonis merupakan akar budaya bangsa. Dengan
demikian Pancasila merupakan jati diri atau identitas bangsa Indonesia. Dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara maka sudah seharusnya Pancasila
mendasari dan menjiwai semua proses penyelenggaraan negara di berbagai
bidang serta menjadi
rujukan bagi seluruh
rakyat Indonesia dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupannya
sehari-hari.
Penyelenggaraan pemerintahan Indonesia tidak terlepas
dari tata pemerintahan yang berlandaskan demokrasi. Konsep demokrasi negara
Indonesia tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 yang menginginkan terwujudnya
pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam perdamaian dunia.
Semua itu merupakan gagasan-gagasan dasar yang melandasi kehidupan negara yang
demokratis. Pemerintahan demokratis
diselenggarakan oleh Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif sesuai dengan peran
dan fungsi masing-masing.
Lembaga Legislatif yang diwujudkan dalam kehidupan
Parlemen dengan fungsi legislasinya diharapkan mampu menghasilkan kebijakan dan
produk hukum yang benar-benar pro rakyat
dan berlandaskan Pancasila. Namun pada kenyataannya kebijakan dan peraturan
perundangan yang dihasilkan lebih kepada penyelesaian masalah semata, dan
terkesan tidak mempedomani Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia. Hal ini tercermin dari rata-rata tingkat kehadiran anggota DPR di
bawah 50 persen pada 2017. Hal ini
berkorelasi terhadap produktivitas yang rendah. Sepanjang 2017, DPR hanya mampu
menghasilkan 11,5 persen produk legislasi dari target 2017 atau 6 undang-undang
(UU) dari 52 rancangan undang-undang (RUU) prioritas. Pada bidang pengawasan, sepanjang 2017 DPR
membentuk 65 Panja untuk menindak lanjuti hasil pengawasan. Namun hanya 15 Panja
yang memiliki hasil yang jelas. Sedangkan sisanya, 50 Panja tidak diketahui
tindak lanjutnya atau tidak jelas.[1] Bertolak dari pemikiran
bahwa UU merupakan acuan bagi penyelenggara pemerintahan untuk menjalankan
agenda-agenda pembangunan mewujudkan kepentingan dan tujuan nasional, tentunya
UU tersebut harus benar-benar dirasakan manfaatnya dan berguna bagi kehidupan
masyarakat banyak dan agar produk hukum tersebut nantinya tidak digugat di
Mahkamah Konstitusi. Maka Parlemen yang diawaki oleh politikus dalam praktik
legislasinya harus berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Permasalahannya; bagaimana meningkatkan
pengamalan Pancasila bagi anggota Legislatif agar dapat mewujudkan Parlemen
yang berkualitas.
Pembahasan
a.
Pancasila
sebagai Paradigma.
Pancasila sebagai dasar filsafat NKRI secara resmi
disahkan oleh BPUPKI sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan
dicantumkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Sebagai dasar negara, Pancasila pada hakikatnya merupakan nilai yang
dikembangkan sebagai cita hukum yang mengembangkan nilai keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan serta persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjaga
tetap tegak utuhnya NKRI. Hal ini perlu disadari dan diyakini oleh para
penyelenggara pemerintahan, khususnya anggota Legislatif di Parlemen dalam rangka
menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam
kehidupan demokrasi, memang sudah seharusnya kita menempatkan Pancasila sebagai
paradigma. Paradigma menurut Thomas Kuhn (1962) dikembangkan dari definisi
paradigma pengetahuan adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi
oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu yang kemudian
menghasilkan mode of knowing yang
spesifik. Dalam artian paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual
dalam memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk masyarakan
ilmiah dalam disiplin tertentu. Maka Pancasila
sebagai paradigma berarti Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka acuan
berpikir dan sekaligus sebagai kerangka arah dan tujuan bagi anggota Legislatif
dalam menjalankan tugas dan fungsinya agar kebijakan dan produk hukum yang
dikeluarkan selalu berlandaskan kepada nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Dengan menempatkan Pancasila sebagai paradigma, maka sistem politik
yang dijalankan oleh anggota Legislatif harus dikembangkankan atas asas
kerakyatan sesuai dengan sila IV Pancasila. Asas-asas moral dan etika yang
terkandung dalam Pancasila harus menjadi pertimbangan dan landasan kerangka
berpikir dan bertindak dalam memutuskan kebijakan dan produk hukum oleh anggota
Legislatif. Hal ini menjadi penting
karena peran anggota Legislatif di Parlemen sangat menentukan dalam perjalanan
hidup berbangsa dan bernegara, karena Parlemen merupakan hulu dari kebijakan
negara.
b.
Pengamalan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan politis Legislatif.
Dalam kehidupan
demokrasi, Parlemen merupakan salah satu perwujudan praktik demokrasi, dimana
dapat dikatakan Parlemen merupakan arena kontestasi kepentingan politik
diantara berbagai kekuatan politik yang hendak mengambil peran menentukan arah kebijakan
negara[2]. Dihubungkan dengan teori
Kepemimpinan, maka Legislatif juga merupakan bagian dari Kepemimpinan
Nasional. William G. Scott (1973) dalam
buku “Leadership Failures, the
Distrusting Public, and Prospects of the Administrative State” menyatakan
bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas yang diorganisir dalam
suatu kelompok dalam usahanya untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkannya. Sebagai bagian dari
Kepemimpinan Nasional maka anggota Legislatif juga harus mengerti, menghayati
dan mampu mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Dihadapkan dengan kinerja Parlemen tahun 2017 yang sangat rendah, dimana
dari 52 RUU yang masuk dalam Prolegnas namun hanya dapat diselesaikan menjadi
UU hanya 6 buah, belum lagi kalau ditinjau dari kualitas, tentunya ini
merupakan catatan tersendiri bagi kita kalau menghendaki adanya Parlemen berkualitas,
yang mampu menghasilkan kebijakan dan produk hukum sesuai dengan yang
diharapkan oleh masyarakat. Pemimpin
harus dapat menjadi contoh dan tauladan bagi yang dipimpin agar nantinya dapat
dipercaya. Kepercayaan masyarakat kepada
Legislatif salah satunya dibangun dari kinerja dan sikap perilaku sehari-hari. KPK mencatat selama 2017, pelaku korupsi
terbanyak berasal dari pejabat birokrasi pemerintahan pusat dan daerah. Tercatat ada 43 perkara korupsi yang
melibatkan pejabat eselon 1 hingga 4.
Selanjutnya pelaku dari swasta terlibat di 27 perkara, diperingkat ketiga, para anggota DPR dan DPRD
tersangkut 20 perkara[3]. Berkaca dari “raport
Legislatif” tersebut maka perlu langkah-langkah konstruktif dan konkrit bagi
Legislatif untuk kembali berkaca kepada Pancasila. Nilai kemanusiaan, nilai mufakat, musyawarah
dan pewakilan serta kebijaksanaan yang berlandaskan etika dan moral adalah nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam Pancasila. Nilai-nilai ini harus diaktualisasi kembali
sehingga dapat benar-benar dihayati dan diamalkan oleh anggota Legislatif. Kita semua meyakini akan kebenaran
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, karena nilai-nilai tesebut
disarikan dari adat istidat dan budaya luhur bangsa Indonesia. Pengamalan yang dimaksud adalah dengan
melakukan Transformasi Pancasila kepada
Parlemen secara intens, terencana dan terstruktur dengan tujuan untuk membentuk
jiwa kepribadian, tingkah laku, sikap, moral dan etika anggota Legislatif agar
sejalan dan selalu dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Pembentukan jiwa
kepribadian, tingkah laku, sikap, moral dan etika akan melandasi pola pikir dan
pola tindak anggota Legislatif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dibidang
politik. Implementasinya dapat terlihat pada nilai sosial politik yang
dijadikan moral anggota Legislatif, yaitu; 1) nilai toleransi, 2) nilai
transparansi hukum dan kelembagaan, 3) nilai kejujuran dan komitmen, dan 4)
bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3)[4] Apabila langkah pengamalan Pancasila ini
dapat terwujud maka outcome yang
diharapkan adalah terwujudnya Parlemen yang berkualitas yang diawaki oleh
anggota Legislatif yang menjunjung tinggi moral dan etika.
Penutup.
a.
Simpulan.
Kinerja Legislatif yang
direpresentasikan dalam Parlemen merupakan cerminan kualitas lembaga yang
diwakilinya. Nilai-nilai Pancasila yang
seharusnya menjadi watak, karakter dan perilaku anak bangsa belum benar-benar
dihayati dan diamalkan oleh anggota Legislatif, sehingga kebijakan dan produk hukum yang dihasilkan
tidak sesuai dengan harapan masyarakat dalam mewujudkan tujuan nasional NKRI
yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945.
b.
Saran.
Diperlukan aktualisasi Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjadikan Pancasila sebagai paradigma
disertai pengamalannya dengan melaksanakan langkah-langkah intens, terencana
dan terstruktur untuk membentuk jiwa kepribadian, tingkah laku, sikap, moral
dan etika anggota Legislatif agar terwujud Parlemen yang berkualitas.
[1] https://nasional.kompas.com/read/2017/12/26/14021761/2017-tahun-gelap-dpr,
[4] Bahan
Ajar Bidang Studi Pancasila & UUD NRI 1945, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda