3.5.18

EKONOMI KERAKYATAN MENJAWAB TANTANGAN GLOBALISASI



Pendahuluan

    Globalisasi adalah sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari oleh semua bangsa dan negara di dunia.  Globalisasi telah membawa pengaruh pada keterhubungan dan keterpengaruhan hidup diantara bangsa-bangsa, dimana globalisasi telah menhadirkan isu-isu kompleks semacam Peace and global security; globalisasi dan regionalisme; energi; Hak Azasi Manusia; lingkungan hidup; terorisme dan radikalisme global; perdagangan manusia; narkoba; dan perubahan iklim.  Secara geopolitik dinamika geopolitik internal suatu negara dan kawasan sangat dipengaruhi oleh dinamika geopolitik yang berkembang di kawasan lain.

    Memandang konstelasi dan perubahan geopolitik yang sedemikian dinamis, tentunya diperlukan geopolitik dan geostrategi untuk menghadapinya. Geopolitik Indonesia dikembangkan berdasarkan nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan yang luhur seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka geopolitik Indonesia bertujuan untk menciptakan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional agar mampu mengatasi setiap ATHG yang diwujudkan dalam bentuk Wawasan Nusantara.

    Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategis yang terletak diantara dua benua dan dua samudera yang dikaruniai sumber kekayaan alam melimpah merupakan arena perebutan pengaruh oleh pihak asing. Disatu sisi SDA dan bonus demografi Indonesia memberikan potensi untuk menjadi negara besar dan berpengaruh di dunia, disisi lain potensi yang ada tersebut apabila tidak bisa dikelola dengan baik dan benar akan bisa menjadi bencana dan ancaman bagi Indonesia. Hal ini senada seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan di Pusdiklat Kemendikbud, Sawangan, Depok; “SDA melimpah tidak menjamin kesejahteraan sebuah bangsa, bisa saja melimpahnya SDA justru menimbulkan konflik”[1].  McKinsey Global Institute memperkirakan pada 2030 pertumbuhan kelas konsumen Indonesia menjadi 135 juta dari 45 juta penduduk yang saat ini berpendapatan USD 3.600 per kapita per tahun, survey MGI (2012) menyebutkan Indonesia berpotensi menjadi negara maju, setidaknya akan tercapai pada 2030 dan memperkirakan ekonomi Indonesia menjadi terbesar ketujuh dunia pada 2030.[2]  Apalagi bila ditunjang dari sisi sumber daya manusia dengan jumlah yang melimpah merupakan potensi sekaligus peluang pasar yang bisa menggerakkan perekonomian Indonesia. 

    Pembangunan Indonesia yang bertujuan untuk mewujudkan  negara Indonesia yang adil dan makmur tentunya tidak mudah, dibutuhkan modal pembangunan yang cukup besar. Jika seluruh kekayaan alam Indonesia dicairkan dalam bentuk uang, Indonesia diperkirakan memiliki aset hingga   mencapai sekitar Rp 200 ribu triliun,[3] namun Indonesia juga tercatat mempunyai hutang luar negeri cukup besar, sekitar Rp 4.915 triliun (kurs Rp 13.750 per dollar AS) atau sekitar 34,7 % terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Januari 2018.[4]  Dihadapkan dengan kebijakan proteksionis AS tentunya merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menyikapinya agar pembangunan ekonominya tetap berjalan dan tercipta daya saing yang kuat di era globasilasi saat ini. 

Permasalahannya: Bagaimana mewujudkan ekonomi kerakyatan menghadapi persaingan global.

  
Pembahasan

Ekonomi Kerakyatan sebagai Implementasi Wawasan Nusantara.
    Globalisasi  ekonomi merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa adanya rintangan berupa batas suatu negara. Menyikapi bahwa tantangan globalisasi ekonomi ini sudah di depan mata, pemerintah telah menerapkan tranformasi fundamental ekonomi yang bertumpu pada tiga aspek. Pertama, mengubah ekonomi berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis produksi, salah satu capaiannya adalah  pertumbuhan ekonomi pada Semester I 2016 meningkat menjadi 5,04% dibandingkan periode yang sama di tahun 2015 yang sebesar 4,79%. Kedua, kebijakan subsidi BBM yang dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan juga subsidi yang lebih tepat sasaran untuk pengentasan kemiskinan, wujudnya adalah realokasi subsidi BBM untuk membiayai infrastruktur seperti pembangunan tol laut dan jaringan kereta api baru di luar Pulau Jawa (Rp21 triliun), distribusi Kartu Keluarga Sejahtera Rp9,3 triliun, Kartu Indonesia Sehat (Rp2,7 triliun), Kartu Indonesia Pintar yang menjangkau 19,2 juta siswa (Rp7,1 triliun), pembangunan 25 waduk baru dan irigasi untuk 1 juta hektar sawah  (Rp33,3 triliun). Ketiga, mendorong pembangunan yang lebih merata di luar Pulau Jawa, realisasinya antara lain pembangunan jalan tol Trans Sumatera dan Papua.[5]  Melihat pencapaian tersebut memang telah terlihat pertumbuhan ekonomi, namun di sektor riil perlu diperkuat agar pondasi perekonomian Indonesia makin kuat, berdaulat dan mandiri.  Hal ini diperlukan untuk menjawab tantangan global di bidang perekonomian yang meliputi meningkatnya  ketergantungan  ekonomi  antar negara  melalui  peningkatan  volume  dan  keragaman  transaksi  antar  negara  (cross-border capital flows),  pergerakan  tenaga  kerja  (human movement)  dan  penyebaran teknologi informasi yang cepat.[6]

    Berkaca kepada pengalaman negara lain, kita tidak ingin Indonesia gagal dalam menerapkan kebijakan perekonomiannya, bukannya tampil mensejahterakan rakyatnya, tapi yang ada negara menjadi lebih terpuruk ke jurang kemiskinan. Negara di Dunia Ketiga sebagai contoh, kebijakan ekonominya dominan mengadopsi teori-teori Barat.  Seperti teori tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (The Stages of Economic Growth Theories)  yang bertumpu pada asumsi-asumsi ekonomi neo-klasik, teori internasionalis-struktural (The Structural Internationalist Theories) (Todaro,1977:87), dan teori keterbelakangan dan ketergantungan Marxis dan Neo-Marxis (Underdeveloped and Dependencia) (Clements, 1999: 59). Berbagai macam teori yang dipakai ternyata belum mampu mengakhiri keterbelakangan negara-negara  Dunia Ketiga. Hal ini karena pembangunan ekonomi yang dilaksanakan tidak melihat dan berlandaskan kondisi historis dan kultural setempat. Kalau ingin pembangunan ekonomi berlandaskan pada kondisi historis dan kultural setempat, maka implementasi Wawasan Nusantara tepat untuk dijadikan sebagai pedoman pembangunan ekonomi kita, karena Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungan keberadaannya dengan memanfaatkan kondisi dan konstelasi geografi dengan menciptakan tanggung jawab, motivasi, dan rangsangan bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasional.[7] Cara pandang tersebut berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 dengan memperhatikan sejarah dan budaya.

    Bung Hatta sebagai salah satu Founding Father sejak awal telah menawarkan konsep ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan pada dasarnya sejalan dengan Pasal 33 UUD NRI 1945 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.  Dalam ekonomi kerakyatan, kearifan lokal harus dikedepankan dalam konsep pembangunan ekonomi Indonesia dalam rangka memperkuat pondasi perekonomian nasional, karena ekonomi kerakyatan merupakan cermin kepribadian bangsa Indonesia. Sejarah telah mencatat peran nyata ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1997, dimana sektor ekonomi riil yang berbasiskan kerakyatan menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi saat itu. Para pelaku ekonomi kerakyatan di bidang pertanian dan agribisnis seperti petani, UKM, dan peternak menjadi sangat penting. Ketika usaha korporasi mengalami gulung tikar dan jumlah pengangguran meningkat maka sektor riil kerakayatan inilah menjadi tulung punggung perekonomian saat itu.

    Agar konsep ekonomi kerakyatan dapat berjalan seiring dengan konsep ekonomi kapitalis, maka dibutuhkan peran pemerintah sebagai regulator untuk bisa adaptif mempertemukan dua konsep tersebut. Ada dua hal yang bisa dilakukan, pertama; membuat kebijakan yang bersifat preventif untuk melindungi sistem ekonomi kerakyatan dan sekaligus pelaku ekonomi kerakyatan, dan yang kedua; mengembangkan potensi ekonomi kerakyatan di setiap daerah untuk mampu berkembang menjadi keunggulan kompetitif yang siap bersaing menghadapi arus globalisasi. Pengembangan yang dimaksud adalah pengembangan ekonomi lokal berbasiskan sumberdaya dan kreatifitas, yaitu para pelaku ekonomi kerakyatan harus bisa berkreasi se-kreatif mungkin agar produk yang dihasilkan mempunyai daya saing komperatif dan kompetitif sehingga bisa menciptakan pasar tersendiri, kemudian pada sisi kearifan lokal pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bisa mendorong timbulnya produk unggulan yang bercirikan daerah dengan konsepnya masing-masing (satu daerah menghasilkan satu produk unggulan), dengan demikian maka eksistensi ekonomi kerakyatan sebagai cerminan implementasi Wawasan Nusantara akan terjaga dan terlestarikan sehingga mampu bersaing di tingkat global.  Untuk itu diperlukan perubahan mindset pelaku ekonomi kerakyatan agar tidak lagi berorentasi pada pasar tradisional, tetapi pengembangan wawasan ke arah pemasaran yang lebih luas yaitu pasar global yang disertai dengan mengadopsi teknologi informasi dalam upaya membangun kinerja dan membangun jaringan (networking) yang lebih luas.

Penutup

a.    Simpulan.
         Globalisasi dan dampaknya merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari oleh semua bangsa dan negara di dunia. Globalisasi di bidang ekonomi merupakan suatu proses aktivitas ekonomi dan perdagangan,  dimana  berbagai  negara  di seluruh  dunia  menjadi  kekuatan  pasar yang satu dan semakin terintegrasi tanpa hambatan atau batasan  teritorial  negara. Dalam menghadapi tantangan globalisasi dibutuhkan suatu konsep pembangunan yang tepat berlandaskan kondisi historis dan kultural setempat. Dalam konteks pembangunan Indonesia maka penerapan ekonomi kerakyatan merupakan konsep yang tepat karena merupakan implementasi dari Wawasan Nusantara, dimana ekonomi kerakyatan merupakan cermin kepribadian bangsa Indonesia.

 b.    Saran.
        Pemerintah selaku regulator, dihadapkan dengan sistem kapitalis yang dihasilkan dari dampak globalisasi diharapkan mampu membangun ketahanan sistem perekonomian dengan membuat kebijakan preventif berupa proteksi dan pengembangan potensi ekonomi kerakyatan di setiap daerah.



[1] https://news.detik.com/berita/3853195/jokowi-sumber-daya-alam-tak-jamin-kesejahteraan-bangsa
[2] https://nasional.sindonews.com/read/1010858/18/potensi-indonesia-menjadi-kekuatan
[3] https://www.liputan6.com/bisnis/read/812149/indonesia-punya-kekayaan-sda-hingga-rp-200-ribu-triliun
[4] https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/15/173657526/naik-10-persen-utang-luar-negeri-indonesia-capai-rp-4915-triliun
[5] http://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2016/03/2-TAHUN-JOKOWI-JK-UPDATE-17-OKT-2016-KSP.pdf
[6] http://docplayer.info/240896-Globalisasi-dan-pembangunan-ekonomi-indonesia.html
[7] Bahan Ajar Bidang Studi Geopolitik & Wawasan Nusantara, hal 157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda