Pendahuluan
Globalisasi adalah
sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari oleh semua bangsa dan negara di
dunia. Globalisasi telah membawa
pengaruh pada keterhubungan dan keterpengaruhan hidup diantara bangsa-bangsa,
dimana globalisasi telah menhadirkan isu-isu kompleks semacam Peace and global security; globalisasi
dan regionalisme; energi; Hak Azasi Manusia; lingkungan hidup; terorisme dan
radikalisme global; perdagangan manusia; narkoba; dan perubahan iklim. Secara geopolitik dinamika geopolitik internal
suatu negara dan kawasan sangat dipengaruhi oleh dinamika geopolitik yang
berkembang di kawasan lain.
Memandang konstelasi
dan perubahan geopolitik yang sedemikian dinamis, tentunya diperlukan
geopolitik dan geostrategi untuk menghadapinya. Geopolitik Indonesia dikembangkan berdasarkan nilai Ketuhanan dan
Kemanusiaan yang luhur seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun
1945, yaitu membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka geopolitik Indonesia
bertujuan untk menciptakan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
untuk mengembangkan kekuatan nasional agar mampu mengatasi setiap ATHG yang
diwujudkan dalam bentuk Wawasan Nusantara.
Indonesia
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategis yang
terletak diantara dua benua dan dua samudera yang dikaruniai sumber kekayaan
alam melimpah merupakan arena perebutan pengaruh oleh pihak asing. Disatu sisi
SDA dan bonus demografi Indonesia memberikan potensi untuk menjadi negara besar
dan berpengaruh di dunia, disisi lain potensi yang ada tersebut apabila tidak
bisa dikelola dengan baik dan benar akan bisa menjadi bencana dan ancaman bagi
Indonesia. Hal ini senada seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada
acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan di Pusdiklat Kemendikbud,
Sawangan, Depok; “SDA melimpah tidak
menjamin kesejahteraan sebuah bangsa, bisa saja melimpahnya SDA justru
menimbulkan konflik”[1]. McKinsey
Global Institute memperkirakan pada 2030 pertumbuhan kelas konsumen Indonesia
menjadi 135 juta dari 45 juta penduduk yang saat ini berpendapatan USD 3.600
per kapita per tahun, survey MGI (2012) menyebutkan Indonesia berpotensi
menjadi negara maju, setidaknya akan tercapai pada 2030 dan memperkirakan
ekonomi Indonesia menjadi terbesar ketujuh dunia pada 2030.[2] Apalagi bila ditunjang dari sisi sumber daya
manusia dengan jumlah yang melimpah merupakan potensi sekaligus peluang pasar
yang bisa menggerakkan perekonomian Indonesia.
Pembangunan
Indonesia yang bertujuan untuk mewujudkan
negara Indonesia yang adil dan makmur tentunya tidak mudah, dibutuhkan
modal pembangunan yang cukup besar. Jika seluruh kekayaan alam Indonesia dicairkan
dalam bentuk uang, Indonesia diperkirakan memiliki aset hingga mencapai sekitar Rp 200 ribu triliun,[3] namun
Indonesia juga tercatat mempunyai hutang luar negeri cukup besar, sekitar Rp
4.915 triliun (kurs Rp 13.750 per dollar AS) atau sekitar 34,7 % terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Januari 2018.[4] Dihadapkan dengan kebijakan proteksionis AS tentunya
merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menyikapinya agar
pembangunan ekonominya tetap berjalan dan tercipta daya saing yang kuat di era
globasilasi saat ini.
Permasalahannya: Bagaimana
mewujudkan ekonomi kerakyatan menghadapi persaingan global.
Pembahasan
Ekonomi
Kerakyatan sebagai Implementasi Wawasan Nusantara.
Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses kegiatan
ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu
kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa adanya rintangan berupa
batas suatu negara. Menyikapi bahwa tantangan globalisasi ekonomi ini sudah di
depan mata, pemerintah telah menerapkan tranformasi fundamental ekonomi yang
bertumpu pada tiga aspek. Pertama,
mengubah ekonomi berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis produksi, salah
satu capaiannya adalah pertumbuhan
ekonomi pada Semester I 2016 meningkat menjadi 5,04% dibandingkan periode yang
sama di tahun 2015 yang sebesar 4,79%. Kedua,
kebijakan subsidi BBM yang dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan juga
subsidi yang lebih tepat sasaran untuk pengentasan kemiskinan, wujudnya adalah
realokasi subsidi BBM untuk membiayai infrastruktur seperti pembangunan tol
laut dan jaringan kereta api baru di luar Pulau Jawa (Rp21 triliun), distribusi
Kartu Keluarga Sejahtera Rp9,3 triliun, Kartu Indonesia Sehat (Rp2,7 triliun),
Kartu Indonesia Pintar yang menjangkau 19,2 juta siswa (Rp7,1 triliun),
pembangunan 25 waduk baru dan irigasi untuk 1 juta hektar sawah (Rp33,3 triliun). Ketiga, mendorong pembangunan yang lebih merata di luar Pulau Jawa,
realisasinya antara lain pembangunan jalan tol Trans Sumatera dan Papua.[5] Melihat pencapaian tersebut memang telah
terlihat pertumbuhan ekonomi, namun di sektor riil perlu diperkuat agar pondasi
perekonomian Indonesia makin kuat, berdaulat dan mandiri. Hal ini diperlukan untuk menjawab tantangan
global di bidang perekonomian yang meliputi meningkatnya ketergantungan ekonomi
antar negara melalui peningkatan
volume dan keragaman
transaksi antar negara
(cross-border capital flows), pergerakan
tenaga kerja (human
movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat.[6]
Berkaca
kepada pengalaman negara lain, kita tidak ingin Indonesia gagal dalam
menerapkan kebijakan perekonomiannya, bukannya tampil mensejahterakan
rakyatnya, tapi yang ada negara menjadi lebih terpuruk ke jurang kemiskinan.
Negara di Dunia Ketiga sebagai contoh, kebijakan ekonominya dominan mengadopsi
teori-teori Barat. Seperti teori tahap-tahap
pertumbuhan ekonomi (The Stages of Economic
Growth Theories) yang bertumpu pada
asumsi-asumsi ekonomi neo-klasik, teori internasionalis-struktural (The Structural Internationalist Theories)
(Todaro,1977:87), dan teori keterbelakangan dan ketergantungan Marxis dan Neo-Marxis (Underdeveloped and Dependencia) (Clements,
1999: 59). Berbagai macam teori yang dipakai
ternyata belum mampu mengakhiri keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga. Hal ini karena pembangunan
ekonomi yang dilaksanakan tidak melihat dan berlandaskan kondisi historis dan
kultural setempat. Kalau ingin pembangunan ekonomi berlandaskan pada kondisi
historis dan kultural setempat, maka implementasi Wawasan Nusantara tepat untuk
dijadikan sebagai pedoman pembangunan ekonomi kita, karena Wawasan Nusantara adalah
cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungan keberadaannya dengan
memanfaatkan kondisi dan konstelasi geografi dengan menciptakan tanggung jawab,
motivasi, dan rangsangan bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan
nasional.[7] Cara
pandang tersebut berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 dengan memperhatikan
sejarah dan budaya.
Bung
Hatta sebagai salah satu Founding Father
sejak awal telah menawarkan konsep ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan pada
dasarnya sejalan dengan Pasal 33 UUD NRI 1945 bahwa perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Dalam ekonomi kerakyatan, kearifan lokal
harus dikedepankan dalam konsep pembangunan ekonomi Indonesia dalam rangka
memperkuat pondasi perekonomian nasional, karena ekonomi kerakyatan merupakan
cermin kepribadian bangsa Indonesia. Sejarah telah mencatat peran nyata ekonomi
kerakyatan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia pada saat terjadinya krisis
moneter tahun 1997, dimana sektor ekonomi riil yang berbasiskan
kerakyatan menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi saat itu. Para pelaku ekonomi
kerakyatan di bidang pertanian dan agribisnis seperti petani, UKM, dan peternak
menjadi sangat penting. Ketika usaha korporasi mengalami gulung tikar dan
jumlah pengangguran meningkat maka sektor riil kerakayatan inilah menjadi
tulung punggung perekonomian saat itu.
Agar konsep ekonomi kerakyatan dapat berjalan
seiring dengan konsep ekonomi kapitalis, maka dibutuhkan peran pemerintah sebagai
regulator untuk bisa adaptif mempertemukan dua konsep tersebut. Ada dua hal
yang bisa dilakukan, pertama; membuat
kebijakan yang bersifat preventif untuk melindungi sistem ekonomi kerakyatan
dan sekaligus pelaku ekonomi kerakyatan, dan yang kedua; mengembangkan potensi ekonomi kerakyatan di setiap daerah
untuk mampu berkembang menjadi keunggulan kompetitif yang siap bersaing
menghadapi arus globalisasi. Pengembangan yang dimaksud adalah pengembangan
ekonomi lokal berbasiskan sumberdaya dan kreatifitas, yaitu para pelaku ekonomi
kerakyatan harus bisa berkreasi se-kreatif mungkin agar produk yang dihasilkan
mempunyai daya saing komperatif dan kompetitif sehingga bisa menciptakan pasar
tersendiri, kemudian pada sisi kearifan lokal pemerintah pusat dan pemerintah
daerah harus bisa mendorong timbulnya produk unggulan yang bercirikan daerah
dengan konsepnya masing-masing (satu daerah menghasilkan satu produk unggulan),
dengan demikian maka eksistensi ekonomi kerakyatan sebagai cerminan
implementasi Wawasan Nusantara akan terjaga dan terlestarikan sehingga mampu
bersaing di tingkat global. Untuk itu
diperlukan perubahan mindset pelaku
ekonomi kerakyatan agar tidak lagi berorentasi pada pasar tradisional, tetapi
pengembangan wawasan ke arah pemasaran yang lebih luas yaitu pasar global yang
disertai dengan mengadopsi teknologi informasi dalam upaya membangun kinerja
dan membangun jaringan (networking) yang lebih luas.
Penutup
a. Simpulan.
Globalisasi
dan dampaknya merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari oleh semua bangsa
dan negara di dunia. Globalisasi di bidang ekonomi merupakan suatu proses
aktivitas ekonomi dan perdagangan,
dimana berbagai negara
di seluruh dunia menjadi
kekuatan pasar yang satu dan
semakin terintegrasi tanpa hambatan atau batasan teritorial
negara. Dalam menghadapi tantangan globalisasi dibutuhkan suatu konsep
pembangunan yang tepat berlandaskan kondisi historis dan kultural setempat.
Dalam konteks pembangunan Indonesia maka penerapan ekonomi kerakyatan merupakan
konsep yang tepat karena merupakan implementasi dari Wawasan Nusantara, dimana
ekonomi kerakyatan merupakan cermin kepribadian bangsa Indonesia.
b. Saran.
Pemerintah
selaku regulator, dihadapkan dengan sistem kapitalis yang dihasilkan dari
dampak globalisasi diharapkan mampu membangun ketahanan sistem perekonomian
dengan membuat kebijakan preventif berupa proteksi dan pengembangan potensi
ekonomi kerakyatan di setiap daerah.
[1]
https://news.detik.com/berita/3853195/jokowi-sumber-daya-alam-tak-jamin-kesejahteraan-bangsa
[2]
https://nasional.sindonews.com/read/1010858/18/potensi-indonesia-menjadi-kekuatan
[3]
https://www.liputan6.com/bisnis/read/812149/indonesia-punya-kekayaan-sda-hingga-rp-200-ribu-triliun
[4]
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/15/173657526/naik-10-persen-utang-luar-negeri-indonesia-capai-rp-4915-triliun
[5]
http://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2016/03/2-TAHUN-JOKOWI-JK-UPDATE-17-OKT-2016-KSP.pdf
[6]
http://docplayer.info/240896-Globalisasi-dan-pembangunan-ekonomi-indonesia.html
[7]
Bahan Ajar Bidang Studi Geopolitik & Wawasan Nusantara, hal 157
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda