19.2.19

MENINGKATKAN TOLERANSI MASYARAKAT - MENCEGAH KONFLIK SOSIAL


konflik mengacu pada perjuangan di antara pihak yang bersaingan,
berusaha untuk mencapai tujuan
berusaha untuk menghilangkan lawan
dengan membuat pihak lain
tidak berdaya
-        Gillin  -


Toleransi Masyarakat

Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan plural, hal ini bisa ditinjau baik dari sisi ras, budaya, etnis, bahasa, tradisi, maupun agama. Pluralisme bangsa Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor: 1) Kondisi wilayah bangsa Indonesia yang berbentuk kepulauan sehingga disebut negara kepulauan; 2) Bangsa Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudera; dan 3) Keadaan iklim dan cuaca yang memengaruhi perbedaan kesuburan tanah. Berdasarkan sensus demografi keagamaan yang terakhir (BPS:2010), menunjukkan data dari total 237.641.326 penduduk Indonesia mayoritas 87.8% adalah muslim diikuti Kristen-Katolik 10%, Hindu 2%, Budha 0.72%, Konghucu 0.05% dan lainnya 0.50%. Dari sini terlihat jelas pluralisme bangsa Indonesia.

Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak, adalah suatu paham yang mengakui bahwa terdapat berbagai paham atau entitas yang tidak tergantung yang satu dari yang lain[1]. Paham pluralisme melahirkan paham individualisme yang mengakui bahwa setiap individu berdiri sendiri lepas dari individu yang lain, memiliki ciri masing-masing yang harus dihormati dan dihargai seperti apa adanya. Demikian pula halnya dengan agama, dimana masing-masing ajaran mempunyai tata cara masing-masing dalam beribadah sehingga perlu dihormati dan dihargai. Saling menghormati dan menghargai inilah yang membentuk sikap toleransi dan kerukunan.

Kerukunan umat beragama di Indonesia dapat diukur dari tiga indikator, yaitu: Pertama, toleransi. Saling menghargai dan menerima adalah pengejawantahan dari toleransi. Kedua, kesetaraan. Antar satu pemeluk agama dengan yang lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara, serta adanya keinginan untuk saling melindungi dan menjaga; dan Ketiga, kerja sama. Cermin keaktifan satu umat bergama untuk bergabung dengan pihak yang lainnya tanpa harus mempermasalahkan perbedaan agama yang ada diantara mereka. Hasil penelitian yang dilakukan Balitbang Diklat Kemenag RI menunjukkan adanya peningkatan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Tahun 2015 angka kerukunan antar umat beragama adalah 75,36. Tahun 2016, angkanya adalah 75,47. Artinya, ada peningkatan sebesar 0,12[2].

Sullivan, Pierson dan Marcus sebagaimana dikutip Saiful Mujani, menjelaskan toleransi didefinisikan sebagai “kesediaan untuk menghargai, menerima atau menghormati segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang[3]. Maka toleransi dalam konteks agama berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap pemeluk agama yang berbeda oleh mayoritas pada suatu masyarakat.

Toleransi umat beragama di Indonesia merupakan peluang sekaligus tantangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan, karena di Indonesia kebebasan dalam menganut keyakinan atau kepercayaan telah diatur dalam UUD NRI 1945 pasal 28E ayat (1) dan pasal 29 ayat (2)[4]. Undang-undang telah mengatur kebebasan dalam beribadah dengan aman sesuai dengan keyakinan yang dianut, namun demikian konflik antar umat beragama pernah terjadi dan mengakibatkan bukan hanya korban materi, tetapi juga korban luka-luka dan korban jiwa.

Beberapa contoh konflik tersebut antara lain: 1) Konflik Poso (Islam-Nasrani,1998-2000); 2) Konflik Ambon (Islam-Nasrani,1999); 3) Konflik Tolikara (Islam-Nasrani,2015); 4) Konflik Aceh (Islam-Kristen,2015); dan 5) Konflik Lampung Selatan (Islam-Budha, 2012). Beberapa konflik tersebut menjadi bukti bangsa Indonesia masih sangat rentan akan konflik akibat perbedaan kepercayaan yang mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan NKRI. Kunci untuk menghindari konflik adalah toleransi dan sikap saling menghormati yang harus dijunjung tinggi sebagai upaya pengendalian timbulnya konflik. Karenanya toleransi membutuhkan kesadaran, semangat, gairah, perjuangan dalam bersikap toleran demi hidup bersama yang lebih baik[5].

Mencegah Konflik Sosial

Toleransi dan kerukunan merupakan pilar untuk menunjang ketahanan nasional dan wahana menyamakan persepsi serta memperkuat pemahaman wawasan kebangsaan. Kerukunan umat beragama yang dihasilkan dari sikap toleran menjadi begitu penting untuk mencapai persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI yang beragam adat istiadat, budaya dan agama. Keragaman apabila tidak bisa dikelola dapat menjadi sumber konflik sosial.

Konflik sosial merupakan pertentangan yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Robert M.Z.Lawang, konflik sosial merupakan alat untuk memperoleh hal-hal yang langka, seperti status, kekuasaan dan sebagainya[6]. Konflik sosial terjadi antar individu, antar kelompok, antar ras dan antarbudaya. Konflik sosial merupakan fenomena sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat dan merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat, namun ketika konflik sosial menjadi besar dan tidak terkendali, maka dampaknya adalah destruktif atau merugikan.

Salah satu jenis konflik sosial adalah konflik antar agama. Konflik jenis ini dilatarbelakangi oleh perbedaan agama antara yang satu dengan yang lain. Faktor penyebab konflik antar agama meliputi “faktor keagamaan” dan “faktor non keagamaan[7]. Faktor-faktor keagamaan selain doktrin keagamaan, yaitu: penyiaran agama; pendirian rumah ibadat; bantuan keagamaan luar negeri; perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda; pengangkatan anak; pendidikan agama; perayaan hari besar keagamaan; perawatan dan pemakaman jenazah; penodaan agama; kegiatan kelompok sempalan; dan transparansi informasi keagamaan. Sedangkan faktor non keagamaan, meliputi: kesenjangan ekonomi; kepentingan politik dan perbedaan nilai budaya. Faktor-faktor keagamaan dan non keagamaan ini seringkali menjadi pemicu timbulnya konflik sosial di suatu daerah, yang kemudian disebut konflik sosial bernuansa agama.

Disamping faktor penyebab, terdapat juga kendala-kendala yang harus diatasi dalam rangka mencegah timbulnya konflik sosial, yaitu: 1) Rendahnya sikap toleransi. Menurunnya sikap toleransi yang tidak mau menerima adanya perbedaan dan menganggap diri atau kelompoknya yang paling benar; 2). Kepentingan politik. Kepentingan politik seringkali muncul dan memperkeruh situasi; dan 3) Sikap fanatisme, pemahaman yang berlebihan tanpa mau beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi sosial budaya yang berlaku.

Dengan mengetahui faktor penyebab dan kendala yang mungkin timbul, maka Pemerintah dalam hal ini Kemenag RI dan para tokoh agama dapat mengambil langkah-langkah sebagai upaya untuk mencegah timbulnya konflik sosial bernuasa agama, yaitu: 1) Pemerintah harus bersikap adil dan netral, memandang sama semua warga negara; 2) Peningkatan peran institusi keagamaan sebagai wadah yang secara massif dan terstruktur mengenalkan dan menanamkan toleransi; 3) Pelibatan institusi pendidikan dalam meningkatkan wawasan kebangsaan dan keagamaan masyarakat; 4) Meningkatkan kegiatan kerjasama sosial kemanusiaan lintas agama, budaya, etnis dan profesi; 5) Pelibatan media massa dalam menyebar informasi kepada masyarakat yang sifatnya membangun toleransi dan pemberitaan yang kondusif.

Mengingat bangsa Indonesia multietnis dan pluralistik, maka potensi konflik dapat terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan cara pandang. Dihadapkan dengan persatuan dan kesatuan maka toleransi masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengelola dan menghindari terjadinya konflik.


[2] Balitbang Diklat Kemenag. 2016. Data Kerukunan Antar Umat Beragama Indonesia. Kemenag RI
[3] Saiful Mujani. 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; hal. 162
[4] UUD NRI 1945 dan amandemennya.
[6] Robert, M.Z., Lawang.1986. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka
[7] Prof. DR. H.M. Atho Mudzhar.2013. Merayakan Kebhinnekaan Membangun Kerukunan. Badan Litbang dan Diklat. Kemenag RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda