konflik mengacu pada perjuangan di antara pihak yang
bersaingan,
berusaha untuk mencapai tujuan
berusaha untuk menghilangkan lawan
dengan membuat pihak lain
tidak berdaya
-
Gillin -
Toleransi Masyarakat
Indonesia adalah bangsa
yang majemuk dan plural, hal ini bisa ditinjau baik dari sisi ras, budaya, etnis, bahasa, tradisi, maupun agama. Pluralisme
bangsa Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor: 1) Kondisi wilayah bangsa Indonesia yang berbentuk kepulauan sehingga
disebut negara kepulauan; 2) Bangsa
Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudera; dan 3) Keadaan iklim dan cuaca yang memengaruhi
perbedaan kesuburan tanah. Berdasarkan sensus demografi keagamaan yang
terakhir (BPS:2010), menunjukkan data dari total 237.641.326 penduduk
Indonesia mayoritas 87.8% adalah muslim diikuti Kristen-Katolik 10%, Hindu 2%,
Budha 0.72%, Konghucu 0.05% dan lainnya 0.50%. Dari sini terlihat jelas
pluralisme bangsa Indonesia.
Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak, adalah suatu paham yang mengakui bahwa
terdapat berbagai paham atau entitas yang tidak tergantung yang satu dari yang
lain[1]. Paham pluralisme
melahirkan paham individualisme yang mengakui bahwa setiap individu berdiri
sendiri lepas dari individu yang lain, memiliki ciri masing-masing yang harus
dihormati dan dihargai seperti apa adanya. Demikian pula halnya dengan agama,
dimana masing-masing ajaran mempunyai tata cara masing-masing dalam beribadah
sehingga perlu dihormati dan dihargai. Saling menghormati dan menghargai inilah
yang membentuk sikap toleransi dan kerukunan.
Kerukunan umat beragama
di Indonesia dapat diukur dari tiga indikator, yaitu: Pertama, toleransi. Saling menghargai dan
menerima adalah pengejawantahan dari
toleransi. Kedua, kesetaraan. Antar satu pemeluk agama
dengan yang lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara,
serta adanya keinginan untuk saling melindungi dan menjaga; dan Ketiga,
kerja sama. Cermin keaktifan satu
umat bergama untuk bergabung dengan pihak yang lainnya tanpa harus
mempermasalahkan perbedaan agama yang ada diantara mereka. Hasil
penelitian yang dilakukan Balitbang Diklat Kemenag RI menunjukkan adanya
peningkatan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Tahun 2015 angka
kerukunan antar umat beragama adalah 75,36. Tahun 2016, angkanya adalah 75,47.
Artinya, ada peningkatan sebesar 0,12[2].
Sullivan, Pierson dan
Marcus sebagaimana dikutip Saiful Mujani, menjelaskan toleransi didefinisikan sebagai “kesediaan untuk menghargai, menerima atau
menghormati segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang”[3]. Maka toleransi dalam konteks agama
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap pemeluk
agama yang berbeda oleh mayoritas pada suatu masyarakat.
Toleransi umat beragama
di Indonesia merupakan peluang sekaligus tantangan untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan, karena di
Indonesia kebebasan dalam menganut keyakinan atau kepercayaan telah diatur dalam
UUD NRI 1945 pasal 28E ayat (1) dan pasal 29 ayat (2)[4].
Undang-undang telah mengatur kebebasan dalam
beribadah dengan aman sesuai dengan keyakinan yang dianut, namun demikian konflik antar umat beragama pernah
terjadi dan mengakibatkan bukan
hanya korban materi,
tetapi juga korban luka-luka dan korban jiwa.
Beberapa
contoh konflik tersebut antara lain: 1) Konflik Poso (Islam-Nasrani,1998-2000);
2) Konflik Ambon (Islam-Nasrani,1999); 3) Konflik Tolikara (Islam-Nasrani,2015);
4) Konflik Aceh (Islam-Kristen,2015); dan 5) Konflik Lampung Selatan (Islam-Budha,
2012). Beberapa konflik tersebut menjadi bukti bangsa Indonesia masih
sangat rentan akan
konflik akibat perbedaan kepercayaan yang
mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan NKRI.
Kunci untuk menghindari konflik adalah toleransi
dan sikap saling
menghormati yang harus
dijunjung tinggi sebagai upaya pengendalian timbulnya konflik. Karenanya toleransi membutuhkan
kesadaran, semangat, gairah,
perjuangan dalam bersikap toleran demi hidup bersama yang lebih baik[5].
Mencegah Konflik Sosial
Toleransi
dan kerukunan merupakan pilar untuk menunjang ketahanan
nasional dan wahana
menyamakan persepsi serta memperkuat pemahaman wawasan kebangsaan. Kerukunan
umat beragama yang dihasilkan dari sikap toleran menjadi
begitu penting untuk mencapai persatuan dan
kesatuan dalam bingkai NKRI yang beragam adat istiadat, budaya dan agama. Keragaman apabila tidak bisa dikelola dapat menjadi
sumber konflik sosial.
Konflik sosial merupakan pertentangan
yang terjadi dalam masyarakat. Menurut
Robert M.Z.Lawang, konflik sosial merupakan alat untuk
memperoleh hal-hal yang langka, seperti status, kekuasaan dan sebagainya[6].
Konflik sosial terjadi antar individu, antar kelompok, antar ras dan
antarbudaya. Konflik sosial
merupakan fenomena sosial
yang mewarnai kehidupan masyarakat dan merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat, namun ketika konflik sosial menjadi
besar dan tidak terkendali, maka dampaknya adalah destruktif atau merugikan.
Salah
satu jenis konflik sosial adalah konflik antar agama. Konflik jenis ini
dilatarbelakangi oleh perbedaan agama antara yang satu dengan yang lain. Faktor penyebab konflik antar agama
meliputi “faktor keagamaan” dan “faktor non keagamaan”[7]. Faktor-faktor
keagamaan selain doktrin keagamaan, yaitu: penyiaran
agama; pendirian rumah ibadat; bantuan keagamaan luar negeri; perkawinan antar
pemeluk agama yang berbeda; pengangkatan anak; pendidikan agama; perayaan hari
besar keagamaan; perawatan dan pemakaman jenazah; penodaan agama; kegiatan
kelompok sempalan; dan transparansi informasi keagamaan. Sedangkan faktor non keagamaan, meliputi:
kesenjangan ekonomi; kepentingan politik dan perbedaan nilai budaya. Faktor-faktor keagamaan dan non keagamaan ini seringkali menjadi pemicu timbulnya konflik
sosial di suatu daerah, yang kemudian disebut konflik sosial bernuansa agama.
Disamping
faktor penyebab, terdapat juga kendala-kendala yang harus diatasi dalam rangka
mencegah timbulnya konflik sosial, yaitu: 1) Rendahnya sikap toleransi. Menurunnya
sikap toleransi yang tidak mau menerima adanya perbedaan dan menganggap diri
atau kelompoknya yang paling benar; 2). Kepentingan politik. Kepentingan
politik seringkali muncul dan memperkeruh situasi; dan 3) Sikap fanatisme, pemahaman
yang berlebihan tanpa mau beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi sosial
budaya yang berlaku.
Dengan
mengetahui faktor penyebab dan kendala yang mungkin timbul, maka Pemerintah
dalam hal ini Kemenag RI dan para tokoh agama dapat mengambil langkah-langkah sebagai
upaya untuk mencegah timbulnya konflik sosial bernuasa agama, yaitu: 1)
Pemerintah harus bersikap adil dan netral, memandang sama semua warga negara; 2)
Peningkatan peran institusi keagamaan sebagai wadah yang
secara massif dan terstruktur
mengenalkan dan menanamkan toleransi; 3)
Pelibatan institusi pendidikan dalam meningkatkan wawasan kebangsaan dan
keagamaan masyarakat; 4) Meningkatkan kegiatan kerjasama sosial kemanusiaan
lintas agama, budaya, etnis dan profesi; 5) Pelibatan media
massa dalam menyebar informasi kepada masyarakat
yang sifatnya membangun toleransi dan pemberitaan yang kondusif.
Mengingat
bangsa Indonesia multietnis dan pluralistik, maka potensi konflik dapat terjadi
karena adanya perbedaan kepentingan dan cara pandang. Dihadapkan dengan persatuan
dan kesatuan maka toleransi masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengelola dan
menghindari terjadinya konflik.
[2] Balitbang Diklat Kemenag. 2016. Data Kerukunan Antar Umat Beragama Indonesia.
Kemenag RI
[3] Saiful Mujani. 2007. Muslim
Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca
Orde Baru,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; hal. 162
[6] Robert, M.Z., Lawang.1986. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta:
Penerbit Karunika Universitas Terbuka
[7] Prof. DR. H.M. Atho Mudzhar.2013. Merayakan Kebhinnekaan Membangun
Kerukunan. Badan
Litbang dan Diklat. Kemenag RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda