1.10.18

MEMPERKUAT KEAMANAN MARITIM GUNA MENDUKUNG POROS MARITIM DUNIA



kedaulatan Indonesia atas wilayah maritimnya
harus ditegakkan tanpa dapat ditawar
(non-negotiable)
Menlu RI, Retno L. Marsudi (2014)


Pendahuluan

         Indonesia adalah negara kepulauan terbesar didunia yang mempunyai posisi strategis karena diapit oleh dua samudera dan dua benua.  Posisi strategis tersebut menempatkan Indonesia sebagai arena pertarungan kepentingan negara asing dalam rangka menanamkan pengaruhnya.  Kondisi seperti ini telah lama disadari oleh bangsa Indonesia, yang kemudian diterapkan dalam bentuk Wawasan Nusantara sebagai implementasi geopolitik dan geostrategi dalam menghadapi perkembangan lingkungan strategis.

      Perkembangan lingkungan strategis saat ini diwarnai dengan berbagai gejolak di kawasan.  Salah satu yang menonjol adalah isu “One Belt One Road” dan klaim Laut Cina Selatan oleh Tiongkok.  Menghadapi situasi semacam ini tentunya diperlukan kemampuan membaca, menganalisa dan mengevaluasi dari pemerintah Indonesia dalam rangka menerapkan kebijakan dalam rangka pembangunan nasionalnya.

        Indonesia terdiri dari lebih 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, dengan luas lautan dua pertiga dari luas daratan (luas daratan mencapai sekitar 2.012.402 km2  dan laut sekitar 5,8 juta km2). Sebagai negara kepulauan yang memiliki laut yang luas dan garis pantai yang panjang, sektor maritim dan kelautan menjadi sangat strategis bagi Indonesia ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, lingkungan, pertahanan dan keamanan. Pentingnya peran sektor maritim inilah yang kemudian mendorong Pemerintahan Presiden Joko Widodo mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

        Pencanangan Poros Maritim Dunia tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai sektor, salah satunya adalah keamanan maritim. Praktik penangkapan ikan ilegal atau illegal fishing merugikan Indonesia senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 260 triliun[1]. Data lain menyebutkan menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) sekitar 80 persen narkoba diselundupkan melalui laut. Hal itu terbukti saat TNI Angkatan Laut, BNN dan Bea Cukai sukses mencegah penyelundupan satu ton lebih sabu (serbuk metaamfetamine) dari kapal Sunrise Glory di perairan Kepulauan Riau awal Februari 2018[2]. Dari sini dapat terlihat bahwa wilayah maritim kita belum sepenuhnya aman dan bebas dari pelanggaran oleh pihak asing.

Permasalahannya: bagaimana mewujudkan keamanan wilayah laut Indonesia dalam rangka mendukung kebijakan Poros Maritim Dunia.


Konsep Keamanan Maritim

       Keamanan maritim Indonesia tidak terlepas dari kepentingan nasional yaitu tetap tegaknya NKRI; memastikan tetap berlanjutnya pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan demokratis dan turut menciptakan perdamaian dunia dan stabilitas regional.
Dalam hal keamanan maritim aktor yang melakukan sekuritisasi adalah Negara dalam hal ini adalah Indonesia sebagai sebuah Negara yang berdaulat. Sehingga sudah menjadi perannya untuk merespon ancaman maritim.

         Risiko dan ancaman di laut dapat dibedakan menjadi 2 jenis menurut asalnya. Jenis pertama dari risiko dan ancaman yang mampu mempengaruhi keamanan maritim timbul dari tindakan yang disengaja yang bersifat kriminal, seperti terorisme, penyelundupan, pembajakan, pertambahan penduduk, tindakan melawan warisan budaya bawah air, imigran gelap, ancaman dunia maya serta exploitasi SDA laut illegal. Sedangkan tipe kedua adalah risiko atau ancaman yang terjadi secara kebetulan atau tidak disengaja, dijelaskan oleh perilaku dan kondisi alam lingkungan, contohnya bencana alam dan kecelakaan maritim[3].

         Risiko dan ancaman tersebut apabila tidak bisa dicegah dapat menyebabkan kerugian bagi pengembangan sektor industri dan jasa maritim yang potensial. Tidak adanya jaminan keamanan maritim di sepanjang jalur pelayaran dan pelabuhan bongkar muat dapat menjadi faktor yang menyebabkan Indonesia dihindari sebagai transit point. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah aksi perompakan dan serangan bersenjata terhadap kapal juga dapat mengancam  citra Indonesia  sebagai  negara  maritim.  Artinya,  doktrin Poros Maritim Dunia menghadapi tantangan yang harus dijawab dengan sebuah konsep keamanan.

         Konsep Keamanan Maritim ditujukan untuk membentuk suatu tata kelola keamanan maritim yang dapat merespon peluang dan ancaman wilayah laut agar ketertiban di laut terpelihara dan terjamin dengan baik.  Dalam hal ini maka diperlukan tiga aspek utama, yaitu; (1) kerangka hukum yang berfungsi untuk menyediakan perangkat hukum dan aturan lain terkait dengan keamanan maritim; (2) sumber daya, yang meliputi kapabilitas dan sistem armada laut dan udara, serta personel dengan pengalaman dan pelatihan yang memadai;  dan (3) kelembagaan, meliputi hubungan dan koordinasi antar lembaga serta manajemen informasi[4].

         Ketiga  aspek tersebut merupakan prasyarat  untuk menjalankan  fungsi  penegakan hukum  di laut  dan perlindungan terhadap kedaulatan dan wilayah  yurisdiksi, termasuk  penyediaan jasa  keselamatan kapal  dan  kru  dari  ancaman  perompakan  dan  serangan  bersenjata  terhadap  kapal.  Dengan pemetaan  kapasitas  tata  kelola  keamanan  maritim  ini  diharapkan dapat membantu menentukan  pilihan  kebijakan  dan  strategi  yang mendukung Poros Maritim Dunia.

Diplomasi Maritim

        Diplomasi maritim merupakan pilar keempat dari lima pilar dalam mewujudkan Poros Maritim Dunia. Istilah “diplomacy” diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796, berdasarkan sebuah kata dari bahasa Prancis yaitu “diplomatie”.  Sedangkan, negara maritim adalah negara yang dikelilingi oleh laut dan menjadikan laut sebagai bagian dari sumber penghidupan, sehingga diplomasi maritim adalah negosiasi atau perundingan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih mengenai batas laut, kerjasama maritim serta pertahanan[5]. Diplomasi maritim dalam konteks Poros Maritim Dunia adalah bekerja sama di bidang kelautan. Hal ini ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo (2014); “Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut harus menyatukan, bukan memisahkan, kita semua”.

        Penjabaran diplomasi maritim diarahkan untuk kepentingan dalam dan luar negeri. Kepentingan dalam negeri, diarahkan agar terjadi perubahan mindset, dari yang semula land based oriented (orientasi daratan) menjadi maritime based oriented (orientasi maritim). Pada kepentingan luar negeri, diplomasi maritim diwujudkan melalui penguatan posisi tawar agar Indonesia mempunyai kemampuan dan kesanggupan untuk mengajak negara lain bernegosiasi.

      Berkaitan dengan hal ini maka sangat diperlukan adanya ketegasan pemerintah Indonesia berkaitan dengan kedaulatan negara, sehingga diplomasi yang dilaksanakan mempunyai arti dan disegani.  Hal ini selaras seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri RI, Retno L. Marsudi (2014); kedaulatan Indonesia atas wilayah maritimnya harus ditegakkan tanpa dapat ditawar (non-negotiable). Kedaulatan maritim menuntut kapasitas dan kapabilitas Indonesia dalam mengamankan wilayah perairan/laut dari ancaman dan gangguan eksternal.

    Untuk mendukung Diplomasi Maritim maka diperlukan kerjasama  antara Kementerian/Lembaga terkait dengan pemangku keamanan dalam hal ini adalah TNI. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Luar Negeri RI bertanggung jawab sebagai leading sector dalam mengkoordinasikan pelaksanaan diplomasi dengan negara lain. Kemlu perlu mengidentifikasi negara-negara yang paling berpotensi untuk diajak bekerja sama dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.  Berkaitan dengan TNI, kehadiran kekuatan militer dan kemampuan reaksi cepat dari para pemangku kepentingan keamanan maritim, menjadi syarat utama dari keberlangsungan kedaulatan negara. Peran TNI AL secara aktif dalam mendukung diplomasi maritim sesuai dengan teori Trinitas yang dikemukakan oleh Ken Booth (Navies and Foreign Policy, 1979), bahwa pada dasarnya semua Angkatan Laut di seluruh dunia memiliki tiga peran yaitu militer, polisional, diplomasi. Sedangkan peran TNI AU adalah pengerahan pesawat terbang TNI AU untuk menimbulkan efek gentar terhadap kemungkinan menyusupnya kapal-kapal/pesawat terbang asing secara ilegal.


Simpulan

         Perkembangan lingkungan strategis yang semakin dinamis perlu dibaca, dianalisa dan dievaluasi dalam rangka menerapkan kebijakan pembangunan nasional.  Pemerintahan Presiden Joko Widodo mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, kebijakan ini perlu didukung dengan menciptakan ketertiban di laut melalui tata kelola keamanan maritim serta didukung diplomasi yang kuat oleh para pemangku kepentingan melalui Diplomasi Maritim.

Saran

     Keamanan Maritim dapat terwujud apabila ada sinergitas dari para pemangku kepentingan, untuk itu pemerintah perlu membenahi perangkat hukum yang saling tumpang tindih di laut dan memperkuat sektor pertahanan dengan membangun TNI agar memiliki kekuatan yang menggentarkan.


[1] https://katadata.co.id/berita/2016/10/10/jokowi-indonesia-rugi-rp-260-triliun-akibat-pencurian-ikan
[2] https://news.detik.com/kolom/d-3886220/narkoba-dan-keamanan-laut
[3] Report on Oceans and the Law of the Sea,UN General Assembly, 2008
[4] Bateman, S., ‘Capacity Building for Maritime Security Cooperation: What Are We Talking About’ dalam P. Cozens, J. Mossop (eds) Capacity Building for Maritime Security Cooperation in the Asia-Pacific (Center for Strategic Studies, Wellington, 2005)
[5] http://maritimnews.com/diplomasi-maritim-untuk-kedaulatan-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda