“kedaulatan Indonesia atas wilayah maritimnya
harus ditegakkan tanpa dapat
ditawar
(non-negotiable)”
Menlu
RI, Retno L. Marsudi (2014)
Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar didunia yang mempunyai posisi strategis karena diapit oleh dua samudera
dan dua benua. Posisi strategis tersebut
menempatkan Indonesia sebagai arena pertarungan kepentingan negara asing dalam
rangka menanamkan pengaruhnya. Kondisi
seperti ini telah lama disadari oleh bangsa Indonesia, yang kemudian diterapkan
dalam bentuk Wawasan Nusantara sebagai implementasi geopolitik dan geostrategi
dalam menghadapi perkembangan lingkungan strategis.
Perkembangan lingkungan strategis saat
ini diwarnai dengan berbagai gejolak di kawasan. Salah satu yang menonjol adalah isu “One Belt One Road” dan klaim Laut Cina
Selatan oleh Tiongkok. Menghadapi
situasi semacam ini tentunya diperlukan kemampuan membaca, menganalisa dan
mengevaluasi dari pemerintah Indonesia dalam rangka menerapkan kebijakan dalam
rangka pembangunan nasionalnya.
Indonesia terdiri dari lebih 17.504 pulau
dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, dengan luas lautan dua pertiga dari
luas daratan (luas daratan mencapai sekitar 2.012.402 km2 dan laut sekitar 5,8 juta km2). Sebagai negara kepulauan yang
memiliki laut yang luas dan garis pantai yang panjang, sektor maritim dan kelautan
menjadi sangat strategis bagi Indonesia ditinjau dari aspek ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, hukum, lingkungan, pertahanan dan keamanan. Pentingnya
peran sektor maritim inilah yang kemudian mendorong Pemerintahan Presiden Joko
Widodo mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Pencanangan Poros Maritim Dunia
tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai sektor, salah satunya adalah
keamanan maritim. Praktik penangkapan ikan ilegal atau illegal fishing merugikan Indonesia senilai US$ 20 miliar atau
sekitar Rp 260 triliun[1].
Data lain menyebutkan menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) sekitar 80 persen
narkoba diselundupkan melalui laut. Hal itu terbukti saat TNI Angkatan Laut,
BNN dan Bea Cukai sukses mencegah penyelundupan satu ton lebih sabu (serbuk
metaamfetamine) dari kapal Sunrise Glory di perairan Kepulauan Riau awal
Februari 2018[2].
Dari sini dapat terlihat bahwa wilayah maritim kita belum sepenuhnya aman dan
bebas dari pelanggaran oleh pihak asing.
Permasalahannya: bagaimana mewujudkan keamanan wilayah laut Indonesia dalam rangka
mendukung kebijakan Poros Maritim Dunia.
Konsep Keamanan
Maritim
Keamanan
maritim Indonesia tidak terlepas dari kepentingan nasional yaitu tetap tegaknya
NKRI; memastikan tetap berlanjutnya pembangunan nasional untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan demokratis dan turut menciptakan
perdamaian dunia dan stabilitas regional.
Dalam hal keamanan maritim aktor
yang melakukan sekuritisasi adalah Negara dalam hal ini adalah Indonesia
sebagai sebuah Negara yang berdaulat. Sehingga sudah menjadi perannya untuk
merespon ancaman maritim.
Risiko dan ancaman di laut dapat
dibedakan menjadi 2 jenis menurut asalnya. Jenis pertama dari risiko dan ancaman yang mampu
mempengaruhi keamanan maritim timbul dari tindakan yang disengaja yang bersifat
kriminal, seperti terorisme, penyelundupan, pembajakan, pertambahan penduduk,
tindakan melawan warisan budaya bawah air, imigran gelap, ancaman dunia maya
serta exploitasi SDA laut illegal. Sedangkan tipe kedua adalah risiko atau
ancaman yang terjadi secara kebetulan atau tidak disengaja, dijelaskan oleh
perilaku dan kondisi alam lingkungan, contohnya bencana alam dan kecelakaan maritim[3].
Risiko dan ancaman tersebut apabila tidak
bisa dicegah dapat menyebabkan kerugian bagi pengembangan sektor industri dan
jasa maritim yang potensial. Tidak adanya jaminan keamanan maritim di sepanjang
jalur pelayaran dan pelabuhan bongkar muat dapat menjadi faktor yang
menyebabkan Indonesia dihindari sebagai transit
point. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah aksi perompakan dan
serangan bersenjata terhadap kapal juga dapat mengancam citra Indonesia sebagai
negara maritim. Artinya, doktrin
Poros Maritim Dunia menghadapi tantangan yang harus dijawab dengan sebuah
konsep keamanan.
Konsep
Keamanan Maritim ditujukan untuk membentuk suatu tata kelola keamanan maritim
yang dapat merespon peluang dan ancaman wilayah laut agar ketertiban di laut terpelihara
dan terjamin dengan baik. Dalam hal ini
maka diperlukan tiga aspek utama, yaitu; (1) kerangka hukum yang berfungsi untuk menyediakan perangkat hukum dan
aturan lain terkait dengan keamanan maritim; (2) sumber daya, yang meliputi kapabilitas dan sistem armada laut dan
udara, serta personel dengan pengalaman dan pelatihan yang memadai; dan (3) kelembagaan, meliputi
hubungan dan koordinasi antar lembaga serta manajemen informasi[4].
Ketiga aspek tersebut merupakan prasyarat untuk menjalankan fungsi
penegakan hukum di laut dan perlindungan terhadap kedaulatan dan
wilayah yurisdiksi, termasuk penyediaan jasa keselamatan kapal dan
kru dari ancaman
perompakan dan serangan
bersenjata terhadap kapal.
Dengan pemetaan kapasitas tata
kelola keamanan maritim
ini diharapkan dapat membantu
menentukan pilihan kebijakan
dan strategi yang mendukung Poros Maritim Dunia.
Diplomasi Maritim
Diplomasi
maritim merupakan pilar keempat dari lima pilar dalam mewujudkan Poros Maritim
Dunia. Istilah “diplomacy”
diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796,
berdasarkan sebuah kata dari bahasa Prancis yaitu “diplomatie”. Sedangkan,
negara maritim adalah negara yang dikelilingi oleh laut dan menjadikan laut
sebagai bagian dari sumber penghidupan, sehingga diplomasi maritim adalah
negosiasi atau perundingan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih mengenai
batas laut, kerjasama maritim serta pertahanan[5].
Diplomasi maritim dalam konteks Poros Maritim Dunia adalah bekerja sama di bidang kelautan. Hal ini ditegaskan oleh Presiden
Joko Widodo (2014); “Bersama-sama kita
harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran
kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut harus
menyatukan, bukan memisahkan, kita semua”.
Penjabaran diplomasi maritim diarahkan untuk
kepentingan dalam dan luar negeri. Kepentingan dalam negeri, diarahkan agar
terjadi perubahan mindset, dari yang
semula land based oriented (orientasi
daratan) menjadi maritime based oriented
(orientasi maritim). Pada kepentingan luar negeri, diplomasi maritim diwujudkan
melalui penguatan posisi tawar agar Indonesia mempunyai kemampuan dan
kesanggupan untuk mengajak negara lain bernegosiasi.
Berkaitan
dengan hal ini maka sangat diperlukan adanya ketegasan pemerintah Indonesia
berkaitan dengan kedaulatan negara, sehingga diplomasi yang dilaksanakan
mempunyai arti dan disegani. Hal ini
selaras seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri RI, Retno L. Marsudi
(2014); “kedaulatan Indonesia atas wilayah
maritimnya harus ditegakkan tanpa dapat ditawar (non-negotiable)”.
Kedaulatan maritim menuntut kapasitas dan kapabilitas Indonesia dalam
mengamankan wilayah perairan/laut dari ancaman dan gangguan eksternal.
Untuk
mendukung Diplomasi Maritim maka diperlukan kerjasama antara Kementerian/Lembaga terkait dengan
pemangku keamanan dalam hal ini adalah TNI. Pemerintah dalam hal ini diwakili
oleh Kementerian Luar Negeri RI bertanggung jawab sebagai leading sector dalam mengkoordinasikan pelaksanaan diplomasi dengan
negara lain. Kemlu perlu mengidentifikasi negara-negara yang paling berpotensi
untuk diajak bekerja sama dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia. Berkaitan dengan TNI, kehadiran
kekuatan militer dan kemampuan reaksi cepat dari para pemangku kepentingan
keamanan maritim, menjadi syarat utama dari keberlangsungan kedaulatan negara.
Peran TNI AL secara
aktif dalam mendukung diplomasi maritim sesuai dengan teori Trinitas yang
dikemukakan oleh Ken Booth (Navies and
Foreign Policy, 1979), bahwa pada dasarnya semua Angkatan Laut di seluruh
dunia memiliki tiga peran yaitu militer, polisional, diplomasi. Sedangkan peran
TNI AU adalah pengerahan pesawat terbang TNI AU untuk menimbulkan efek gentar
terhadap kemungkinan menyusupnya kapal-kapal/pesawat terbang asing secara
ilegal.
Simpulan
Perkembangan
lingkungan strategis yang semakin dinamis perlu dibaca, dianalisa dan
dievaluasi dalam rangka menerapkan kebijakan pembangunan nasional. Pemerintahan Presiden Joko Widodo
mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, kebijakan ini perlu
didukung dengan menciptakan ketertiban di laut melalui tata kelola keamanan
maritim serta didukung diplomasi yang kuat oleh para pemangku kepentingan
melalui Diplomasi Maritim.
Saran
Keamanan
Maritim dapat terwujud apabila ada sinergitas dari para pemangku kepentingan,
untuk itu pemerintah perlu membenahi perangkat hukum yang saling tumpang tindih
di laut dan memperkuat sektor pertahanan dengan membangun TNI agar memiliki
kekuatan yang menggentarkan.
[1] https://katadata.co.id/berita/2016/10/10/jokowi-indonesia-rugi-rp-260-triliun-akibat-pencurian-ikan
[2] https://news.detik.com/kolom/d-3886220/narkoba-dan-keamanan-laut
[3] Report on Oceans and the Law of the Sea,UN General Assembly, 2008
[4] Bateman, S., ‘Capacity Building for Maritime Security Cooperation:
What Are We Talking About’ dalam P. Cozens, J. Mossop (eds) Capacity Building
for Maritime Security Cooperation in the Asia-Pacific (Center for Strategic
Studies, Wellington, 2005)
[5] http://maritimnews.com/diplomasi-maritim-untuk-kedaulatan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda