29.1.10

CP: PSA - 01 TRAGEDI MY LAI


Jauh sebelum Tragedi My Lai mencuat kepermukaan dan mempermalukan US Army khususnya Divisi Amerikal atau Divisi Infantri ke-23 Perang Dunia II, Mayor Colin Powell Perwira G-3 yang baru menjabat di Divisi tersebut pada suatu sore di pertengahan Maret 1969 dikagetkan dengan kedatangan seorang staf Inspektur Jenderal MAVC ( Military Assistance Command in Vietnam ) yang menanyakan tentang kejadian menonjol dari laporan harian operasi dari Divisi Infanteri ke-23 selama bertugas di Vietnam.


Sebagai seorang Perwira G-3 yang mengurusi perencanaan dan operasi, Mayor Colin Powell tidak bisa berkata tidak, kecuali mengatakan “ Ya “ ketika dirinya ditanya apakah ia menyimpan atau menjaga catatan-catatan harian operasi dari Divisi, terutama tentang laporan harian pada bulan Maret 1968 yang menerangkan tentang keberhasilan pasukan yang ditandai dengan angka-angka yang tak biasaanya dari musuh yang dibunuh pada hari kapanpun pada periode tersebut, demikian seperti yang diungkapkan pada buku, Colin Powell, Perjalanan Seorang Amerika yang ditulis oleh Joseph E. Persico.


Colin Powell tidak bisa menolak dengan alasan pada periode tersebut ia belum bergabung dengan Divisi Amerikal. Powell tiba di Vietnam pada pertengahan Juli 1968 pada penugasan yang ke dua di Vietnam, dengan tugas sebagai Perwira Pelaksana dari Batalyon ke -3, Infantri ke 11, dan dua bulan kemudian pada bulan Agustus 1968 dirinya diminta Mayjen Charles M. Gettys, Komandan Divisi Amerikal menjadi Perwira G-3 Divisi, sambil menunggu pejabat yang sebenarnya Letkol Richard D. Lawrence yang harus terlebih dahulu melengkapi 3 bulan masa tugasnya sebagai Komandan Squadron Persenjataan.


Setelah membolak balik laporan tahun lalu, Powell akhirnya menemukan laporan tanggal 16 Maret 1968 dari Kompi Charlie Brigade 11 yang telah melaporkan hasil pertempuran dengan jumlah mayat sebanyak 128 musuh tewas di Batangan Peninsula.


Mengacu pada kondisi saat itu, dimana kegiatan patroli dan pertempuran yang dilaksanakan oleh prajurit US Army merupakan pekerjaan yang berat dan suram, maka perolehan angka korban musuh dengan jumlah tersebut adalah “sesuatu yang besar”.


Menyadari bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi, sambil meningkatkan kehati-hatian dan rasa ingin tahu yang meningkat, Powell minta izin untuk melaporkan pengecekan hal tersebut kepada Staf Kepala Divisi, yang kemudian ia mendapat jawaban yang singkat “ Kerja sama dengan dia “. Akhirnya catatan tanggal 16 Maret 1968 tersebut dibacakan dan dimasukkan kedalam rekaman.


Pengawasan dari staf Inspektur Jenderal MAVC tersebut menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi Powell, sama halnya ketika Perwira tersebut datang dan kemudian pergi lagi tanpa memberikan komentar apapun.


Baru kemudian pada musim gugur 1969, terkuak rahasia ada apa dibalik kunjungan staf Inspektur Jenderal MAVC ke Divisi Amerikal yang menanyakan kejadian yang telah terjadi tepat setahun yang lalu. Dunia dibuat tersentak dengan berita kekejaman prajurit Amerika di Batangan Peninsula, tepatnya di desa Son My di kampung yang dinamai sebagai My Lai 1, 2, 3 dan 4 yang dijuluki "Pinkville" oleh tentara Amerika karena daerah tersebut tercetak dalam warna merah jambu di peta mereka.


Daerah Batang Peninsula merupakan suatu daerah yang mempunyai reputasi panjang bagi kekerasan dan kepahitan pertempuran jauh sebelum tentara Amerika terlibat dalam perang Vietnam. Batang Peninsula merupakan lobang neraka bagi tentara Perancis yang masuk terlebih dahulu ke Vietnam . Demikian pula halnya dengan prajurit Amerika, setiap saat US Army mengirim pasukan kesana, mereka harus siap untuk menghadapi lusinan operasi amputasi anggota tubuh akibat kecelakaan traumatis dari ranjau-ranjau dan perangkap-perangkap yang dipasang oleh pihak Vietcong atau VC beserta simpatisannya yaitu penduduk desa yang pro terhadap mereka.


Pada hari naas tersebut, yaitu pagi hari 16 Maret 1968, Kompi Charlie dari Brigade -11 memasuki Desa Son My. Namun para pemberontak VC yang mereka cari telah meninggalkan kampung tersebut. Salah satu peleton yang dipimpin oleh Letnan William Calley, kemudian menggiring penduduk menjadi satu kumpulan dari ratusan pria, wanita, anak-anak, bahkan bayi bayi dari dusun My Lai kedalam sebuah parit, untuk kemudian dibunuh dengan cara ditembaki dengan senjata otomatis. Sebagian dari penduduk tersebut sebelum dibunuh ada yang disiksa atau diperkosa.


Peristiwa tersebut dilaporkan oleh Kompi Charlie dari Brigade 11 sebagai sebuah keberhasilan operasi dengan hasil 128 mayat musuh. Memang pada masa perang Vietnam, keberhasilan prajurit Amerika dalam pertempuran dinyatakan dengan “ hitung mayat “, bukannya seberapa banyak atau seberapa luas wilayah atau lokasi strategis yang berhasil mereka kuasai.


Hal tersebut tidak terlepas dari awal-awal masuknya Amerika ke Vietnam untuk berperang melawan VC, mereka sempat frustasi menghadapi tentara VC yang menerapkan taktik gerilya, yaitu Hit and Run. Hampir setiap hari tentara Amerika diganggu dan ditembaki oleh VC dari balik kegelapan semak belukar atau hutan, dan sebagai respon wajar mereka membalas menembak, tetapi kontak tembak yang terjadi tidak menghasilkan apapun bagi prajurit Amerika selain munisi mereka yang habis terbuang, dan kadangkala korban luka gugur pada pihak mereka sendiri.


Amerika pada awal mereka masuk ke Vietnam, bagai berperang dengan hantu, mereka hanya bertempur dengan suara tembakan dengan hasilnya kemudian hanyalah jejak-jejak VC yang melarikan diri kedalam hutan, atau kalau mereka beruntung hanya menemukan jejak ceceran darah yang menghilang kedalam hutan. Jejak ceceran darah itupun belum bisa dipastikan adalah jejak darah dari pemberontak VC yang tertembak melarikan diri atau bisa jadi hanya sekedar darah hewan sebagai trik tipuan penyesatan untuk memancing prajurit Amerika masuk lebih dalam kedalam hutan.


Sangat jarang dan susah sekali bagi prajurit Amerika pada saat itu untuk menentukan keberhasilan pertempuran atau kontak tembak, sedangkan mereka harus mempertanggungjawabkan munisi yang telah dikeluarkan. Kalaupun pihak pemberontak VC ada yang benar-benar terkena tembakan yang mengakibatkan luka atau mati, kebiasaan dari pemberontak VC adalah berupaya semaksimal mungkin untuk membawa rekan mereka yang tertembak walaupun sudah mati kedalam hutan dan tidak ditinggalkan demikian saja. Sehingga hal tersebut menyulitkan bagi US Army untuk menghitung kemenangan mereka dalam pertempuran. Inilah yang membuat frustasi Amerika baik prajuritnya dilapangan maupun petinggi petinggi US.Army yang berada di balik meja.


Mengacu kepada kondisi tersebut, maka lahirlah kebijakan US. Army untuk menentukan keberhasilan suatu pertempuran dengan cara “hitung mayat”. Sistem ini lahir akibat desakan Pentagon terhadap US. Army yang telah menanamkan modal kehidupan yaitu “manusia/prajurit” dan milyaran dollar yang dihamburkan untuk membiayai sebuah peperangan. Pentagon dan US. Army telah hampir putus asa menentukan suatu alat ukur yang dapat dipakai untuk menentukan keberhasilan tujuan militer mereka.


Sistem hitung mayat sendiri menimbulkan kelicikan tersendiri bagi prajurit Amerika untuk melaporkan keberhasilan mereka. Seringkali mereka memberikan perhitungan yang tidak valid, dan lebih banyak hanya berdasarkan perkiraan yang dilebih-lebihkan. Hal ini senada seperti yang tertuang dalam buku Powell ( Perjalanan Seorang Amerika, 2001: 191) :


Setiap malam, kompi akan membuat suatu catatan angka.

“ Berapa banyak peleton anda mendapatkannya ? ”

“ Saya tidak tahu, kami yakin melihatnya dua.

“ Oh, ya. Jika kamu melihat dua, ada kemungkinan delapan. “

“ Jadi bilang saja sepuluh


Bahkan seorang, profesor hukum di Universitas Missouri-Kansas City - Doug Linder mengatakan dikalangan G.I. tersebar lelucon bahwa "apapun yang mati dan bukan putih adalah VC" dengan tujuan sekedar menghitung mayat semata ( wikipedia )

Pada penyelidikan lebih lanjut, kemudian terungkap bahwa korban tewas pada peristiwa My Lai berjumlah 347 bukannya 128 orang seperti yang dilaporkan dalam catatan operasi harian Kompi Charlie, namun sumber yang lain menyatakan korban tewas yang sebenarnya adalah 504 orang.

Pada 17 Maret 1970, US. Army melalui suatu pengadilan militer mendakwa 14 perwiranya telah menyembunyikan informasi yang berkaitan dengan Tragedi My Lai, namun kebanyakan dari dakwaan ini kemudian dibatalkan.

Letnan William Calley pada 1971, dinyatakan bersalah telah melakukan pembunuhan terencana dengan memerintahkan penembakan dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun dua hari kemudian campur tangan politis terjadi dalam kasus ini, Presiden Richard Nixon mengurangi hukuman Calley menjadi 3 tahun dan memerintahkan ia dibebaskan dari penjara.

Letnan William Calley kemudian hanya menjalani tahanan rumah selama 3½ tahun di markasnya di Fort Benning, Georgia, dan kemudian diperintahkan bebas oleh seorang hakim federal.

Dalam kasus ini Letnan William Calley mengklaim bahwa dirinya hanya sekedar mengikuti perintah dari Kapten Ernest Medina yang menyangkal telah memberikan perintah. Dalam kasus ini Kapten Ernest Medina dibebaskan dari tuduhan pembunuhan yang tidak direncanakan dalam tindakannya membiarkan kematian dari beberapa ratus orang penduduk Vietnam yang tidak berdosa.

Banyaknya Perwira US.Army yang semula dituduh terlibat dalam kasus Tragedi My Lai, kemudian dibebaskan. Hal tersebut tidak terlepas dari :….. “ bahwasanya pada mulanya Brigade Infanteri ke 11 sebenarnya telah dianugerahi sebuah Pujian Khusus untuk keberhasilannya “menewaskan 128 musuh”, sebelum kemudian kebenaran yang sebenarnya menyeruak kepermukaan.


Hal lainnya adalah bahwasanya gerakan ke Desa Son My telah direncanakan dan dibriefingkan terlebih dahulu oleh pejabat militer Amerika. Bahkan pada malam menjelang serangan itu, Kompi Charlie telah diberi masukan dan dinasihati oleh komando militer AS bahwa warga yang benar-benar sipil di My Lai akan meninggalkan rumah mereka untuk pergi ke pasar pada pukul 7 pagi hari berikutnya.


Dari briefing tersebut maka Kompi Charlie dapat menyimpulkan bahwa semua orang yang masih tinggal di rumah di Desa Son My pastilah Viet Cong atau simpatisan aktif Viet Cong. Tugas yang diberikan komando sudah sangat jelas, yaitu “hancurkan desa’. Pada saat briefing-pun, Kapten Ernest Medina sempat diberi pertanyaan apakah perintah itu termasuk membunuh kaum perempuan dan anak-anak; mereka yang hadir dalam briefing itu belakangan memberikan jawaban yang berbeda-beda tentang tanggapan Kapten Ernest Medina.


Dan kemungkinan hal lain yang tidak kalah penting yang mempengaruhi pembebasan tersebut, yaitu mengenai tuntutan keberhasilan suatu misi atau tugas dari pasukan yang ditandai dengan jumlah mayat. Sistem hitung mayat, dalam kasus ini patutlah juga dipersalahkan, karena dapat menjadi suatu motivasi tertentu dari para prajurit dilapangan untuk berbuat apapun demi mencapai atau dicap berhasil dalam tugas.


Entah sekarang Kasus My Lai ini dianggap keberhasilan atau sebuah tragedi bagi US. Army, namun kejadian tersebut sungguh suatu ironi yang patut kita renungkan, akankah nilai suatu keberhasilan akan mengalahkan hati nurani dan prinsip dasar kemanusiaan.


Wallahualam.


Lesson to learn yang patut kita petik dari Tragedi My Lai antara lain adalah :


Satu, suatu operasi militer yang telah direncanakan dengan matangpun, kadangkala tidak berhasil atau membawa dampak sampingan yang merugikan perorangan maupun satuan. Karenanya perlu adanya ketegasan dari unsur pimpinan atau si pemberi perintah tentang batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dilapangan.


Kedua, perang yang berlarut dan berlangsung lama, biasanya menyebabkan prajurit melaksanakan tugas tidak dengan benar. Kejenuhan dilapangan biasa diletupkan prajurit dengan tindakan yang tidak terkontrol mana kala amarah datang pada saat misi berjalan tidak sesuai dengan rencana.


Ketiga, prajurit muda haruslah selalu didampingi dan diawasi oleh prajurit yang lebih senior dan berpengalaman. Pada kasus perang Vietnam, karena kebutuhan tentara yang banyak terutama pada level Bintara atau NCO, maka US.Army mengambil kebijakan dengan menciptakan bintara secara langsung, yaitu dengan cara ambil seorang prajurit, berikan sedikit latihan, goyang satu-dua kali, maka sudah layak menjadi seorang NCO. Seberapa baik dan gagahnya anak muda, tetaplah mereka prajurit hijau yang tidak berpengalaman. Salah satu hasil evaluasi US.Army bahwa terlalu banyak keterlibatan Perwira dan Bintara yang belum siap berperang yang diberi tanggung jawab melebihi pengalaman mereka, itulah yang menggiring mereka dalam penghancuran moral, disiplin dan penilaian profesional untuk menilai mana yang baik dan benar.


Keempat, Keberhasilan suatu misi harus ditentukan semenjak awal dengan terang benderang dan dapat dipertanggungjawabkan dari aspek hukum dan moral. Penerapan sistem keberhasilan suatu misi yang tidak tepat, akan menyebabkan prajurit dilapangan akan memaksakan diri untuk mencapai keberhasilan dengan berbagai macam cara atau bahkan menghalalkan segala cara. Sistem penentuan keberhasilan suatu misi yang tidak tepat dihadapkan pada misi atau tugas atau perang yang sedang dihadapi akan mudah menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dari mulai manipulasi data sampai dengan rekayasa kejadian bahkan laporan palsu yang sekedar untuk mendapatkan pujian atau menghindari dari hukuman atau celaan karena satuan tersebut dicap sebagai satuan yang tidak berhasil menjalankan tugas.


Semoga kasus diatas dapat kita jadikan sebagai pelajaran dan guru yang baik dalam menjalankan tugas-tugas kita dimasa depan.


Disarikan dari beberapa bab Buku : Colin Powell, Perjalanan Seorang Amerika dan beberapa sumber lain ( wikipedia ).

bersambung ke CP: PSA - 02


Salam,

Imung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda