24.8.09

TERORISME, part one

MENANGANI TERORISME, MENJADI KEWENANGAN SIAPA

Maraknya aksi terorisme di tanah air saat ini, disamping menimbulkan kecaman dan aksi-aksi kutukan terhadap tindakan mereka yang brutal dan tidak berperikemanusiaan, juga menimbulkan perdebatan tentang siapa saja yang berhak untuk menangani aksi terorisme.


Kalau jawabannya adalah seluruh komponen bangsa, memang betul demikian adanya, karena memang terorisme adalah musuh bersama, sehingga keberadaan terorisme dengan segala aksi teror dimanapun ia berada harus dilawan dan dibasmi sampai keakar-akarnya.


Namun dalam penanganannya dilapangan, masih menyisakan sedikit pertanyaan :

SIAPAKAH YANG PALING BERHAK UNTUK MENANGANI DAN MENUMPAS AKSI-AKSI TERORISME YANG ADA DI TANAH AIR SAAT INI ?


Pertanyaan ini terkesan semacam pertanyaan yang bodoh dihadapkan dengan pernyataan sebelumnya yang menyatakan bahwa terorisme adalah musuh bersama, sehingga penanganannya menjadi kewajiban seluruh komponen bangsa, namun ternyata apabila kita telisik lebih dalam, pertanyaan tersebut ada benarnya juga, kenapa demikian ?


Hal ini ternyata berawal dari operasi 18 jam yang digelar oleh Densus 88 Anti Teror Polri, dimana operasi tersebut di tayangkan secara live langsung dibeberapa mass media elektronik. Kesuksesan Densus 88 Anti Teror Polri ternyata kemudian menyisakan beberapa pertanyaan dan polemik di masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat menanyakan tentang lamanya waktu dan hasil yang diperoleh oleh Polri, dihadapkan dengan pengerahan sekian banyak Polisi (600 personel..?) dan munisi (600 pers x 5 btr x 18 jam = …..butir peluru ? ) serta waktu dengan hasil yang ternyata Cuma 1 (satu) orang yang ditembak mati (yang ternyata bukan NMT ??) dan ternyata tidak diketemukan adanya bomb di dalam rumah yang dikepung tersebut selama sekian jam.


Pertanyaan masyarakat yang kemudian berujung kepada keraguan boleh jadi karena masyarakat sekarang lebih pintar dan lebih melek tentang ilmu pengetahuan. Sajian live yang ditayangkan langsung oleh beberapa TV swasta menjadikan masyarakat dapat mengikuti secara langsung pula dari jam ke jam, dari menit ke menit serta dari satu adegan ke adegan lain, yang kemudian berakhir dengan diusungnya sesosok mayat dalam kantung mayat, yang ditengarai sebagai NMT yang kemudian ternyata bukan.


18 jam dengan sekian ratus personel Polisi dan ribuan amunisi yang terhambur, namun hanya 1 orang saja teroris yang tertangkap dan tertembak mati pula, menjadikan suatu pertanyaan besar bagi kalangan awam, apakah perlu selama itu ?..... Apakah perlu sejumlah besar polisi ?..... dan Apakah tidak mubazir ribuan munisi yang ditembakkan ?.... Kenapa tidak bisa ditangkap hidup-hidup ?.. toh teroris sudah terkepung dan tidak bisa melarikan diri kemana-mana. Kalau tertangkap hidup khan bisa di interogasi untuk mengetahui jaringannya yang lain. Kalau Cuma akhirnya tertembak mati juga kenapa perlu lama-lama dan sekian ratus orang serta sekian ribu peluru.


Ternyata dibalik kesukseskan Operasi Temanggung tersebut, menimbulkan banyak sekali Apa..?, Kenapa..? dan Kalau dari masyarakat awam.


Ujung dari berbagai pertanyaan yang tidak terjawab tersebut kemudian menimbulkan rasa sangsi disebagian masyarakat, Keberhasilan Polisi menggelar Operasi Temanggung memang perlu diapresiasi dan dihargai, namun menurut mereka hasil tersebut bisa saja akan lebih besar dan optimal hasilnya apabila komponen bangsa yang lain juga dilibatkan, terutama untuk yang bersifat penindasan di lapangan, masih ada satuan penindak yang dimiliki oleh TNI dapat dilibatkan, karena TNI juga memiliki Satuan Anti Teror di setiap matra yang juga mempunyai kemampuan untuk Penanggulangan Teror yang siap di kerahkan dengan spesialisasi dan keahliannya.


Ya…. Sebagian masyarakat, sebagian pengamat militer, kaum dan praktisi intelijen mengingatkan kembali akan arti Satuan Penanggulangan Teror milik TNI yang sampai saat ini tidak juga dikerahkan untuk kegiatan-kegiatan penanggulangan teror, padahal mereka telah berlatih dan mempersiapkan diri untuk diberi tugas dan tanggung jawab untuk turut serta menanggulangai aksi-aksi terorisme yang makin marak di tanah air.


Namun, ternyata tidak mudah untuk melibatkan Satuan Penanggulangan Teror TNI, karena pelibatan mereka membutuhkan adanya keputusan politik, karena pengerahan Satua Penanggulangan Teror adalah pengerahan aksi militer, dan biasanya aksi atau operasi militer mempunyai dampak bawaan yang tidak kecil pula.


Disamping, itu ternyata sementara ini kewenangan untuk mengatasi aksi terorisme di tanah air masih menjadi kewenangan dari Polisi karena UU No 15 tahun 2003 tentang Terorisme yang menjadi landasan aparat memerangi terorisme menyatakan bahwa aksi terorisme adalah tindakan kriminal atau pidana. Dasar inilah yang menjadikan kelegalan, keabsahan dan kewenangan sepenuhnya pihak Polri menangani aksi-aksi terorisme. UU ini menjadikan Polisi sebagai satu-satunya aparat yang berwenang dalam penyidikan dan penanganan aksi terorisme.


Sementara itu, UU No 34 tahun 2004 tentang TNI juga mengamanatkan tentang tugas OMSP dari TNI yang salah satunya adalah penanganan aksi terorisme…. Inilah yang kemudian menjadikan Satuan Penanggulangan Teror TNI masih eksist sampai saat ini, mereka terus berlatih dan berlatih dan menunggu untuk dipanggil menjalankan tugas untuk ikut menangani aksi terorisme.


Namun ternyata panggilan tugas itu tidaklah kunjung datang jua…. Karena alasan yuridis tentang penafsiran UU yang berbeda antara UU No 15 tahun 2003 dan UU no 34 tahun 2004 maka sampai saat ini terjadi kebuntuan dilapangan tentang siapa yang berwenang untuk menangani aksi teroris.


Disatu sisi Polisi mengantungi UU dan mempunyai kewenangan penuh menangani aksi terorisme (dan ini berhasil Polisi lakukan dengan berbagai macam penangkapan dan pengungkapan jaringan terorisme) di sisi yang lain Satuan Penanggulangan Teror TNI tetap berlatih dan siap untuk kapan saja dikerahkan guna mengamankan amanat UU juga.


Kita sadar dan mengetahui bahwa aksi terorisme tidak akan menunggu selesainya perdebatan tentang siapa yang paling berwenang atau siapa saja yang bisa dilibatkan dalam penanganan aksi terorisme. Teroris dengan aksi-aksi teror mereka akan tetap berlanjut dan mencarai kelengahan aparat untuk kembali menggelar aksi mereka. Namun penanganan 18 jam kembali membuahkan pertanyaan tersendiri di kalangan masyarakat tentang Densus 88 Anti Teror Polisi dan keberadaan Satuan Penanggulangan Teror TNI.


Padahal di dalam dunia yuridis kita mengenal yang namanya Asas Adagium
“Lex Posteriore derogat legi priori” yaitu asas yang mengatakan apabila ada pertentangan antara dua UU maka yang berlaku adalah UU yang terbit belakangan, dalam hal ini akankah UU No.15 tahun 2003 dapat di abaikan dan UU No. 34 tahun 2004 lebih dapat digunakan.


Wallahualam.

Salam,

Imung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda