27.8.25

SABHAWANA : #3. GELADI MEDAN I : CIAMPEA


Catatan Batin Geladi Medan I – Ciampea, 1984

 

Ada masa dalam hidupku yang selalu kembali, meski puluhan tahun sudah berlalu. Masa ketika aku masih remaja, dengan ransel seadanya, sepatu pinjaman, dan semangat yang belum tahu arah.  Masa ketika aku berdiri di halaman SMA 3 Jakarta, pada satu sore bulan September 1984, bersama teman-teman yang kini entah dimana, memulai perjalanan yang ternyata tak sekadar perjalanan biasa.

 

Aku masih bisa mendengar riuh suara itu. Terngiang jelas di dalam hati, suara ransel diseret, tawa canggung Caang, panggilan tegas Senior, hingga teriakan “SABHAWANA!” yang menggelegar menembus langit senja.  Itu bukan sekadar teriakan, tapi semacam janji yang kami ikrarkan: janji untuk ditempa, diuji, dan tumbuh bersama.

 

Sore itu lapangan basket penuh dengan ransel yang bentuknya aneh-aneh. Ada yang terlalu besar, ada yang gembung ke samping, ada juga yang tampak kosong karena pemiliknya hanya membawa sedikit bawaan. Aku sendiri merasa kikuk, membawa ransel biasa yang tidak tahu harus diisi apa. Ketika senior datang dengan Jaket Merah dan Syal Merah, rasanya kami sedang menyaksikan “sesuatu” masuk ke arena. Mereka berjalan santai, rapi, dengan bawaan ringkas. Dalam hati aku membatin: Kapan ya aku bisa seperti mereka?”

 

Menjelang Magrib, kegiatan dihentikan. Kami bergegas menuju Masjid Sekolah untuk sholat berjamaah. Usai itu, suasana berubah hening dan khidmat saat kami berdiri melingkar, menggelar Upacara khas Sabhawana. Teriakan “SABHAWANA!” dari pengurus disambut kompak oleh kami semua, menggelegar memecah gelap malam SMA 3 Jakarta. Energi itu yang kemudian kami bawa naik ke atas truk, berdesakan antara Saang, senior, Pengurus, dan Alumni, tanpa jarak, tanpa sekat - kebersamaan yang tak terlupakan.

 

Malam itu, di atas truk terbuka, aku belajar arti kebersamaan.  Dingin menusuk, jalan berdebu, tubuh berdesakan - tapi hangat terasa, karena kami saling menopang.  Tak ada lagi siapa Junior, siapa Senior. Yang ada hanyalah sekumpulan anak muda yang sedang melangkah menuju sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

 

Perjalanan menuju Ciampea memakan waktu panjang. Truk terbuka membuat angin malam menyapu wajah, dingin tapi penuh cerita. Jalan raya Bogor yang padat terasa tak ada ujungnya. Ada yang bercanda, bernyanyi, ada yang tertidur sambil bersandar di ransel, sementara yang lain hanya memandangi lampu jalanan yang berlarian mundur.

 

Sekitar pukul 11 malam, kami tiba. Pengecekan regu dilakukan, lalu perjalanan malam dimulai. Perjalanan Panjang dengan ransel berat  dan hujan rintik adalah ujian pertama. Lelah, kantuk, dan rasa ingin berhenti begitu nyata.  Namun langkah kecil itu terus maju, ditemani suara nyanyian parau.  Aku sadar, sering kali dalam hidup kita ingin stop – berhenti – menyerah, tapi justru pada saat itulah kekuatan dibentuk : setapak demi setapak – mesti dalam hati masih menyisakan keraguan .

 

Menjelang dini hari, tibalah kami di Base Camp latihan Mountaineering. Meski badan terasa penat, kami masih harus mendirikan bivak. Teori yang kami dapat di kelas ternyata jauh berbeda dengan praktik di lapangan. Karena kantuk, banyak bivak berdiri asal-asalan. Begitu selesai, kami rebah, membuka sepatu basah, menjadikan ransel bantal, lalu terlelap. Suara hutan perlahan diganti oleh dengkuran para Caang yang kelelahan.  Pelan tapi pasti seiring mata yang tak tahan menahan kantuk dan Lelah kesadaran tentang arti kenyamanan timbul. Kenyamanan tidak selalu datang dari kasur empuk atau selimut hangat, tapi dari rasa syukur yang sederhana - rasa lega setelah berjuang menyelesaikan satu etape dalam suatu perjalanan.

 

Pagi buta, Senior membangunkan kami. Udara dingin menusuk, tapi tidak ada alasan untuk menolak. Sholat subuh berjamaah dilanjut senam pagi. Air wudhu dari sungai yang sedingin es seketika mengusir kantuk, menumbuhkan semangat baru.  Seiring cahaya Mentari mulai menembus kabut tipis di pinggiran sungai, asap tipis tak mau kalah membumbung ke udara dari kompor kecil. Momen ini yang selalu membuatku tersenyum. Geliat kegiatan pagi, asap dari kompor tabung kecil, dan suara teman-teman yang mencoba memasak. Ada yang sibuk menghangatkan badan, ada yang mengaduk nasi di misting sambil menggerutu, ada juga yang panik karena sardennya gosong.

 

Aku sendiri masih ingat rasa susu kental manis yang kucampur dengan air panas - rasanya seperti minuman termahal di dunia. Nikmat sekali, apalagi diminum di udara dingin bersama teman-teman yang sama-sama kedinginan. Yang masakannya gagal, tak ada masalah, tinggal nimbrung ke kelompok lain. Semua berbagi, semua tertawa. Saat itu aku benar-benar merasa: “Beginilah keluarga.”

 

Usai sarapan pagi, kami bersiap dengan kegiatan yang sesungguhnya, yaitu Latihan Mountaineering. Penyeberangan basah di sungai menjadi tantangan pertama. Air deras membuat tali sulit kencang. Kami harus menyeberang satu per satu, merasakan derasnya arus, menahan tubuh agar tidak hanyut. Lalu tibalah saat ujian nyali: menuruni tebing dengan tali karmantel. Ketika tiba giliran turun tebing, aku benar-benar gemetar. Dari bawah tebing, terlihat orang-orang kecil seperti semut. Saat Senior memasangkan tali ke pinggangku, aku berusaha terlihat tenang, padahal jantung berdegup kencang.

Langkah pertama ke belakang itu rasanya seperti melangkah ke jurang. Tapi begitu tubuh menempel di tebing dan mulai turun perlahan, rasa takut itu pelan-pelan berubah jadi percaya diri. Walau demikian ketakutan itu tidak benar-benar lenyap, tapi aku belajar berdamai dengannya. Sejak hari itu aku tahu: keberanian bukan ketiadaan rasa takut, melainkan keberanian untuk tetap melangkah meski takut ada di depan mata.

 

Pagi bergulir dengan cepat, siang datang dan tak terasa kegiatan turun tebing berakhir dengan lengkapnya kami semua sudah merasakan tantangan yang sebenarnya dari tebing dan ketinggian, dari bagaimana berdamai dengan rasa takut, dari bagaimana percaya dengan alat peralatan yang kami pakai dan bertambahnya pengalaman kami tentang alam dan kehidupan. 

 

Seperti biasa, sebelum semua kegiatan berakhir, kami melaksanakan evaluasi dengan upacara melingkar.  Dari hasil evaluasi, kami mendapatkan hukuman.  Semua push-up di tanah becek. Tangan penuh lumpur, seragam kotor, tapi wajah-wajah tetap tersenyum. Rasanya aneh, dihukum tapi bahagia. Mungkin karena kami tahu, itu bukan sekadar hukuman - itu cara kami ditempa. Aku jadi paham, kadang kebersamaan dalam susah payah justru lebih indah daripada kebersamaan dalam senang.

 

Hukuman push-up di tanah becek menjadi penutup yang justru manis. Kami semua jatuh bangun bersama, menertawakan kelelahan bersama. Disiplin ternyata bukan cambuk yang menyakitkan, melainkan cermin kasih sayang yang keras. Itu cara alam, melalui tangan para senior - mengajarkan kami untuk menjadi lebih siap menghadapi dunia.

 

Sorenya, kami kembali ke truk. Tubuh lelah, kaki lecet, tapi hati penuh semangat. Sepanjang perjalanan pulang, ada yang tertidur pulas, ada yang masih bercanda, ada juga yang diam sambil menatap langit. Aku sendiri hanya bisa tersenyum dalam hati, merasa bangga sudah melewati semua ini.


Dan ketika menjelang malam kami kembali ke SMA 3 Jakarta, aku berdiri sejenak menatap halaman gelap itu. Ada sesuatu yang berbeda di dalam diriku. Aku bukan lagi anak yang sama seperti sebelum berangkat. Kami berpisah satu per satu, pulang ke rumah masing-masing. Aku pulang dengan tubuh yang lelah, kaki yang lecet, tapi jiwa yang tumbuh. Ada satu moment yang kuingat, sesaat sebelum meninggalkan halaman Sekolah, aku menoleh sebentar ke gedung sekolah yang gelap, dan berkata dalam hati: “Ini baru permulaan.”

 

Kini, setelah waktu berjalan begitu jauh, aku mengerti makna semua itu. Geladi Medan I bukanlah sekadar kegiatan outdoor. Ia adalah perjalanan batin. Ia mengajariku arti kesabaran, kebersamaan, keberanian, disiplin, dan rasa syukur. Ia membentuk sebagian dari siapa aku hari ini.

 

Dan setiap kali aku membuka foto lama, atau menyebut nama Sabhawana, suara itu kembali terdengar di telingaku: teriakan lantang di halaman SMA 3 Jakarta, nyanyian sumbang di tengah malam, tawa di sekitar api dan bisikan hati yang tak pernah pudar.

“Inilah bagian dari dirimu. Inilah kenangan yang akan selalu hidup, meski waktu terus berjalan.”

 

SABHAWANA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda