Catatan Batin Geladi Medan I – Ciampea, 1984
Ada masa dalam hidupku yang
selalu kembali, meski puluhan tahun sudah berlalu. Masa ketika aku masih remaja, dengan ransel seadanya, sepatu pinjaman, dan
semangat yang belum tahu arah. Masa
ketika aku berdiri di halaman SMA 3 Jakarta, pada satu sore bulan September
1984, bersama teman-teman yang kini entah dimana, memulai perjalanan yang
ternyata tak sekadar perjalanan biasa.
Aku masih bisa mendengar riuh
suara itu. Terngiang jelas di dalam hati, suara ransel diseret, tawa canggung Caang, panggilan tegas Senior, hingga
teriakan “SABHAWANA!” yang menggelegar menembus langit senja. Itu bukan sekadar teriakan, tapi semacam
janji yang kami ikrarkan: janji untuk ditempa, diuji, dan tumbuh bersama.
Sore itu lapangan basket penuh
dengan ransel yang bentuknya aneh-aneh. Ada yang terlalu besar, ada yang
gembung ke samping, ada juga yang tampak kosong karena pemiliknya hanya membawa
sedikit bawaan. Aku sendiri merasa kikuk, membawa ransel biasa yang tidak tahu
harus diisi apa. Ketika senior datang dengan Jaket Merah dan Syal Merah, rasanya kami sedang
menyaksikan “sesuatu” masuk ke arena. Mereka berjalan santai, rapi, dengan
bawaan ringkas. Dalam hati aku membatin: “Kapan ya aku bisa seperti
mereka?”
Menjelang Magrib, kegiatan
dihentikan. Kami bergegas menuju Masjid Sekolah untuk sholat berjamaah. Usai
itu, suasana berubah hening dan khidmat saat kami berdiri melingkar, menggelar Upacara
khas Sabhawana. Teriakan “SABHAWANA!” dari pengurus disambut kompak oleh
kami semua, menggelegar memecah gelap malam SMA 3 Jakarta. Energi itu yang
kemudian kami bawa naik ke atas truk, berdesakan antara Saang, senior, Pengurus,
dan Alumni, tanpa jarak, tanpa sekat - kebersamaan yang tak terlupakan.
Malam itu, di atas truk terbuka,
aku belajar arti kebersamaan. Dingin
menusuk, jalan berdebu, tubuh berdesakan - tapi hangat terasa, karena kami
saling menopang. Tak ada lagi siapa Junior,
siapa Senior. Yang ada hanyalah sekumpulan anak muda yang sedang melangkah menuju sesuatu
yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Perjalanan menuju Ciampea memakan
waktu panjang. Truk terbuka membuat angin malam menyapu wajah, dingin tapi
penuh cerita. Jalan raya Bogor yang padat terasa tak ada ujungnya. Ada yang
bercanda, bernyanyi, ada yang tertidur sambil bersandar di ransel, sementara
yang lain hanya memandangi lampu jalanan yang berlarian mundur.
Sekitar pukul 11 malam, kami
tiba. Pengecekan regu dilakukan, lalu perjalanan malam dimulai. Perjalanan Panjang
dengan ransel berat dan hujan rintik
adalah ujian pertama. Lelah, kantuk, dan rasa ingin berhenti begitu nyata. Namun langkah kecil itu terus maju, ditemani
suara nyanyian parau. Aku sadar, sering
kali dalam hidup kita ingin stop – berhenti – menyerah, tapi justru pada saat
itulah kekuatan dibentuk : setapak demi setapak – mesti dalam hati masih
menyisakan keraguan .
Menjelang dini hari, tibalah kami
di Base Camp latihan Mountaineering. Meski badan terasa penat, kami masih harus
mendirikan bivak. Teori yang kami dapat di kelas ternyata jauh berbeda dengan
praktik di lapangan. Karena kantuk, banyak bivak berdiri asal-asalan. Begitu
selesai, kami rebah, membuka sepatu basah, menjadikan ransel bantal, lalu
terlelap. Suara hutan perlahan diganti oleh dengkuran para Caang yang
kelelahan. Pelan tapi pasti seiring mata
yang tak tahan menahan kantuk dan Lelah kesadaran tentang arti kenyamanan
timbul. Kenyamanan tidak selalu datang dari kasur empuk atau selimut hangat, tapi
dari rasa syukur yang sederhana - rasa lega setelah berjuang menyelesaikan satu
etape dalam suatu perjalanan.
Pagi buta, Senior membangunkan
kami. Udara dingin menusuk, tapi tidak ada alasan untuk menolak. Sholat subuh
berjamaah dilanjut senam pagi. Air wudhu dari sungai yang sedingin es seketika
mengusir kantuk, menumbuhkan semangat baru.
Seiring cahaya Mentari mulai menembus kabut tipis di pinggiran sungai,
asap tipis tak mau kalah membumbung ke udara dari kompor kecil. Momen ini yang selalu membuatku tersenyum. Geliat kegiatan pagi, asap dari
kompor tabung kecil, dan suara teman-teman yang mencoba memasak. Ada yang sibuk
menghangatkan badan, ada yang mengaduk nasi di misting sambil menggerutu, ada
juga yang panik karena sardennya gosong.
Aku sendiri masih ingat rasa susu
kental manis yang kucampur dengan air panas - rasanya seperti minuman termahal
di dunia. Nikmat sekali, apalagi diminum di udara dingin bersama teman-teman
yang sama-sama kedinginan. Yang masakannya gagal, tak ada masalah, tinggal
nimbrung ke kelompok lain. Semua berbagi, semua tertawa. Saat itu aku
benar-benar merasa: “Beginilah keluarga.”
Usai sarapan pagi, kami bersiap dengan
kegiatan yang sesungguhnya, yaitu Latihan Mountaineering. Penyeberangan basah
di sungai menjadi tantangan pertama. Air deras membuat tali sulit kencang. Kami
harus menyeberang satu per satu, merasakan derasnya arus, menahan tubuh agar
tidak hanyut. Lalu tibalah saat ujian nyali: menuruni tebing dengan tali
karmantel. Ketika tiba giliran turun tebing, aku benar-benar gemetar. Dari
bawah tebing, terlihat orang-orang kecil seperti semut. Saat Senior memasangkan
tali ke pinggangku, aku berusaha terlihat tenang, padahal jantung berdegup
kencang.
Langkah pertama ke belakang itu rasanya seperti melangkah ke jurang. Tapi begitu tubuh menempel di tebing dan mulai turun perlahan, rasa takut itu pelan-pelan berubah jadi percaya diri. Walau demikian ketakutan itu tidak benar-benar lenyap, tapi aku belajar berdamai dengannya. Sejak hari itu aku tahu: keberanian bukan ketiadaan rasa takut, melainkan keberanian untuk tetap melangkah meski takut ada di depan mata.
Pagi bergulir dengan cepat, siang
datang dan tak terasa kegiatan turun tebing berakhir dengan lengkapnya kami
semua sudah merasakan tantangan yang sebenarnya dari tebing dan ketinggian,
dari bagaimana berdamai dengan rasa takut, dari bagaimana percaya dengan alat
peralatan yang kami pakai dan bertambahnya pengalaman kami tentang alam dan
kehidupan.
Seperti biasa, sebelum semua
kegiatan berakhir, kami melaksanakan evaluasi dengan upacara melingkar. Dari hasil evaluasi, kami mendapatkan
hukuman. Semua push-up di tanah becek.
Tangan penuh lumpur, seragam kotor, tapi wajah-wajah tetap tersenyum. Rasanya
aneh, dihukum tapi bahagia. Mungkin karena kami tahu, itu bukan sekadar hukuman
- itu cara kami ditempa. Aku jadi paham, kadang kebersamaan dalam susah payah
justru lebih indah daripada kebersamaan dalam senang.
Hukuman push-up di tanah becek
menjadi penutup yang justru manis. Kami semua jatuh bangun bersama, menertawakan kelelahan bersama. Disiplin ternyata bukan cambuk yang menyakitkan, melainkan cermin kasih sayang
yang keras. Itu cara alam, melalui tangan para senior - mengajarkan kami untuk menjadi
lebih siap menghadapi dunia.
Sorenya, kami kembali ke truk.
Tubuh lelah, kaki lecet, tapi hati penuh semangat. Sepanjang perjalanan pulang,
ada yang tertidur pulas, ada yang masih bercanda, ada juga yang diam sambil
menatap langit. Aku sendiri hanya bisa tersenyum dalam hati, merasa bangga
sudah melewati semua ini.
Dan ketika menjelang malam kami
kembali ke SMA 3 Jakarta, aku berdiri sejenak menatap halaman gelap itu. Ada
sesuatu yang berbeda di dalam diriku. Aku bukan lagi anak yang sama seperti
sebelum berangkat. Kami berpisah satu per satu, pulang ke rumah masing-masing. Aku pulang dengan tubuh yang lelah, kaki yang lecet, tapi jiwa yang tumbuh. Ada
satu moment yang kuingat, sesaat sebelum meninggalkan halaman Sekolah, aku
menoleh sebentar ke gedung sekolah yang gelap, dan berkata dalam hati: “Ini
baru permulaan.”
Kini, setelah waktu berjalan
begitu jauh, aku mengerti makna semua itu. Geladi Medan I bukanlah sekadar kegiatan outdoor. Ia adalah perjalanan batin. Ia mengajariku arti kesabaran, kebersamaan, keberanian, disiplin, dan rasa
syukur. Ia membentuk sebagian dari siapa aku hari ini.
Dan setiap kali aku membuka foto
lama, atau menyebut nama Sabhawana, suara itu kembali terdengar di
telingaku: teriakan lantang di halaman SMA 3 Jakarta, nyanyian sumbang di
tengah malam, tawa di sekitar api dan bisikan hati yang tak pernah pudar.
“Inilah bagian dari dirimu. Inilah
kenangan yang akan selalu hidup, meski waktu terus berjalan.”
SABHAWANA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas perhatian anda, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda