9.8.25

SABHAWANA : #2. GELADI MEDAN 1


#2 : GELADI MEDAN 1 : Mountaineering – teori di kelas

 

Aku masih ingat dengan jelas, awal tahun pertama di SMA 3 Jakarta. SMA Teladan, saat itu aku adalah seorang siswa kelas 1 yang masih bingung membedakan antara kantin dan koperasi, antara guru fisika dan guru kimia. Namun satu hal pasti - aku langsung jatuh hati pada satu hal sejak awal: SABHAWANA, klub pecinta alam dengan JAKET MERAH kebanggaannya.

 

Bergabung dengan Sabhawana bukan perkara mudah. Sebagai anak baru, aku harus melalui serangkaian pelatihan dasar selama hampir setahun. Kami disebut Caang - singkatan dari Calon Anggota. Jumlah kami puluhan, mungkin lebih dari lima puluh orang. Kebanyakan anak kelas 1, tapi ada juga beberapa yang dari kelas 2, mungkin yang baru merasa siap setelah melihat kerasnya pembinaan Sabhawana.

 

Minggu pagi, yang seharusnya hari libur, dinikmati dengan santai dan bangun lebih siang, tetapi tidak begitu bagiku. Ketika sebagian orang lain  masih lelap, aku sudah mandi dan bersiap ke sekolah. Ya.. harus ke Sekolah untuk mengikuti kegiatan Sabhawana. Aku tinggal di daerah Cilandak – Jakarta Selatan dan harus naik Kopaja P19 jurusan Ragunan Belakang - Tanah Abang. Bus itu... ah, walaupun hari minggu, selalu penuh sesak, pengap, dan bising. Tapi justru di situlah terasa semangatnya. Dengan ongkos pelajar atau kupon khusus yang dibeli di Terminal Blok M, perjalanan pagi ke Setiabudi Jakarta Selatan menjadi bagian dari kisah panjang ini.

 

Setibanya di sekolah, kami - Caang, Pengurus, dan Senior yang lain - berkumpul di lapangan basket. Kami membentuk lingkaran, tangan bersilang di pundak teman di samping. Salah satu senior akan memulai dengan meneriakkan, “SABHAWANA!” dan kami akan membalas, serempak, lantang, menggema, “SABHAWANA!”.
Itu bukan sekadar seruan. Itu seperti sumpah diam-diam dalam hati kami.
Sumpah bahwa kami siap belajar, siap lelah, siap kuat.

 

Kegiatan teori mountaineering diadakan setiap hari Minggu. Materinya diberikan oleh kakak-kakak kelas - senior Sabhawana. Kami belajar dasar-dasar tali-temali, mendirikan bivak, mengenal alat-alat mountaineering seperti karabiner, webbing, sarung tangan, tali karmantel, piton, eight desender, harness, dll. Di masa itu, harness masih barang mewah. Sebagai gantinya, kami membuat sendiri menggunakan webbing dan ikatan simpul yang kami pelajari berulang-ulang di kelas. Karabiner pun bentuknya masih oval sederhana, dan harganya lumayan mahal waktu itu.

 

Sarung tangan? Bukan seperti yang dijual murah di toko daring zaman sekarang. Kami memakai sarung tangan kulit tebal, yang bekas pun jadi, dan bentuknya hampir persis sama dengan yang dipakai pekerja bengkel atau tukang las. Tapi tidak ada keluhan. Kami bangga memakainya, karena itu lambang keseriusan kami.

 

Setelah beberapa minggu belajar teori, tibalah hari kami mempraktekannya di lapangan, di lingkungan sekitar SMA 3 Jakarta. Kegiatan ini adalah praktek lapangan pertama kami – untuk mengetahui sejauh mana kami menguasai semua yang telah kami pelajari di ruang kelas. Untuk praktek turun tebing, kami memanfaatkan Tower SMA.

 

Ya Tower itu bentuknya seperti Menara, letaknya di belakang sekolah, dekat area kelas IPS. SMA 3 waktu itu terbagi jadi tiga jurusan: Fisika dan Kimia yang ada di gedung utama tiga lantai, dan IPS yang menempati bangunan dua lantai di sisi lain. Di situlah kami latihan rapelling, turun tebing dengan tali. Tapi waktu itu, belum ada tali karmantel untuk latihan rutin. Hanya tali nilon putih yang seratnya kadang terasa kasar di kulit. Tali karmantel disimpan untuk digunakan di medan sebenarnya agar lebih awet.

 

Setiap sore, dua kali seminggu, kami ikut pembinaan fisik. Setelah pulang sekolah, kami ganti baju, dan mulai berlari keliling lapangan atau mengitari ruas jalan di sekitar sekolah. Setelah itu, push-up, sit-up, penguatan kaki dan lengan. Latihan fisik ini berat, tapi dilakukan bersama-sama, jadi tetap terasa menyenangkan. Kadang kami tertawa saat ada yang kehabisan napas duluan, atau saat wajah merah padam tapi tetap berusaha.


Akhir setiap kegiatan teori maupun praktek, kami selalu kembali ke lapangan basket, membentuk lingkaran, mengadakan upacara penutupan. Kadang senior meneriakkan, “Tambahan!” dan menyampaikan peringatan atau nasihat. Jika sudah tak ada yang bicara, Senior berseru, “Pas!” Dan jika ada yang melanggar aturan kecil - datang terlambat, tidak bawa peralatan, atau lupa istilah - hukuman ringan seperti push-up atau sit up 20 kali sudah menanti. Tapi hebatnya, senior juga ikut push-up bersama. Inilah yang membangun rasa hormat dan kekeluargaan. Tidak ada yang dihukum sendirian. Semua dilalui bersama.

 

Geladi Medan I menjadi titik awal kami benar-benar menyentuh dunia luar. Membawa ransel besar, memakai Sepatu bot turun ke alam dengan segala keterbatasan tapi dengan semangat yang membara. Kami belajar memasang bivak, mengikat simpul-simpul yang dulu hanya ada di papan tulis, dan yang paling mendebarkan: rapelling dari tebing sungguhan, bukan sekadar menara sekolah.

 

Di sinilah kami jatuh cinta. Pada alam. Pada persahabatan. Pada kelelahan yang mendewasakan. Di sinilah Sabhawana bukan lagi sekadar nama klub, tapi menjadi rumah kedua. Tempat kami tumbuh, belajar, dan saling mengenal bukan dari nama, tapi dari semangat dan keringat yang kami bagi bersama.

 

Di antara semua pengalaman selama masa SMA-ku, tidak ada yang sebanding dengan apa yang kudapatkan dari Sabhawana. Lebih dari sekadar klub pecinta alam, Sabhawana adalah sekolah kehidupan. Di sanalah aku - dan kami semua - belajar hal-hal yang tak diajarkan dalam buku pelajaran. Tentang tanggung jawab, kedisiplinan, rasa hormat, kebersamaan, dan kekeluargaan.

 

Sebagai Caang, posisi kami memang paling bawah dalam hirarki Sabhawana. Ada 2 pasal mendasar dalam Sabhawana.  Pasal 1, semua Senior pasti benar dan Pasal 2, apabila ada senior yang salah, tinjau kembali Pasal 1.  Unik dan membingungkan, tapi ya itulah jiwa dan tradisi Sabhawana. Tapi sekali lagi itu bukan berarti kami dianggap rendah. Sebaliknya, justru dalam proses itulah kami dilatih menjadi individu yang tangguh dan mandiri. Semua ada prosesnya, semua ada tahapannya. Kami tidak dimanjakan, tapi juga tidak pernah dibiarkan sendiri.

 

Dari kegiatan mingguan, kami belajar bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Membawa perlengkapan pribadi, datang tepat waktu, menjaga kerapihan atribut, hingga memperhatikan kelengkapan kelompok saat berkegiatan. Jika satu lupa atau lalai, seluruh kelompok ikut menerima konsekuensinya. Bukan untuk menghukum, tapi untuk mengingatkan bahwa kami semua saling terikat. Satu orang salah, yang lain ikut memperbaiki. Bukan saling menyalahkan, tapi saling menopang.

 

Dalam setiap sesi teori, kami tidak hanya menyimak materi mountaineering. Kami juga belajar cara mendengarkan, menghargai orang yang bicara, dan bagaimana menyampaikan pendapat tanpa menjatuhkan. Senior adalah guru sekaligus saudara, mereka tegas, tapi penuh kasih. Mereka menyebut kami "Caang" bukan dengan nada merendahkan, tapi sebagai panggilan sayang yang membentuk identitas baru: bahwa kami adalah calon bagian dari mereka.

 

Dan itu berlaku dua arah. Kami menghormati mereka bukan karena mereka lebih tua, tapi karena mereka sudah melewati jalan yang sama. Mereka mengajarkan bahwa menjadi senior bukan berarti boleh semena-mena. Mereka memberi contoh, turun tangan saat kami lelah, ikut push-up saat kami dihukum, membantu mengikat bivak kami yang masih berantakan tanpa mencela.

 

Dalam tradisi Sabhawana, senior dihormati, yunior dihargai. Ini bukan sekadar slogan, tapi diterapkan setiap minggu. Nilai itu tertanam tanpa perlu dikhotbahkan. Ketika kami melakukan di alam bebas atau geladi medan, senior selalu jadi yang paling sibuk, paling akhir, dan paling pertama bangun. Mereka yang paling dulu mengecek kondisi kami, yang memastikan makan kami siap, dan mampu melaksanakan kegiatan.

 

Dari sinilah muncul rasa yang lebih besar: jiwa korsa, rasa memiliki, dan kekeluargaan yang tinggi. Kami merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Kami bukan lagi hanya siswa SMA, tapi keluarga besar Sabhawana.

 

Kebersamaan itu melebur batas antar angkatan. Saat ini pun, bertahun-tahun setelah lulus, ikatan itu tidak pernah luntur. Kami masih menyapa satu sama lain dengan semangat yang sama. Masih menertawakan cerita-cerita lama: tentang siapa yang lecet, siapa yang gagap waktu laporan, siapa yang lupa bawa peralatan, siapa yang ngorok paling keras atau bahkan siapa yang kesasar dan ketinggalan paling belakang. Dan setiap kali bertemu, walau kami sudah menjadi orang tua, aparat pemerintah, atau pegawai swasta - kami tetap menyebut satu sama lain: “Kakak Halimun, ya… Halimun adalah nama Angkatan 7 – Angkatan kami.

 

Kenangan itu tidak hanya tertinggal, tapi menjadi pondasi. Kami yang dulu belajar mengikat simpul dan menggulung tali, kini tahu bagaimana menyelesaikan masalah hidup dengan tenang. Kami yang dulu rela berkeringat demi latihan fisik sore hari, kini tak mudah menyerah menghadapi tantangan karier. Kami yang dulu diminta datang pagi-pagi untuk apel dan berpelukan dalam lingkaran, kini tahu pentingnya merangkul, bukan menjatuhkan.

 

Sabhawana bukan sekadar klub. Sabhawana adalah tempat kami ditempa menjadi manusia. Dan aku bersyukur - sungguh bersyukur - pernah menjadi bagian dari keluarga ini. Karena Sabhawana-lah, aku menjadi pribadi yang berani melangkah ke dunia, penuh rasa hormat, dan tidak pernah berjalan sendiri.

 

Sekarang, puluhan tahun telah berlalu. Tapi kenangan itu masih hangat. Masih bisa kurasakan aroma tanah pagi hari, suara tali yang bergesek di karabiner, dan teriakan senior memanggil,
Siapa Kita?” Dan kami, akan menjawab dengan keras dan bangga SABHAWANA


29.7.25

SABHAWANA ; Penggalan Catatan dan Kenangan #1 CIAMPEA

 #1 : CIAMPEA : Kenangan Akhir Pekan dan Cepek - Cepek


"Langit Ciampea dan Kenangan yang Tak Pernah Tua"

Ada satu masa dalam hidupku yang selalu terasa hangat untuk dikenang - masa-masa SMA, semasa di SMA 3 Teladan Jakarta, masa ketika masih belia, dimana semangat muda dan rasa ingin tahu tak pernah habis. Saat itu aku adalah bagian dari Sabhawana, klub Pecinta Alam SMA 3 Jakarta. Nama itu, Sabhawana, seperti mantra magis yang langsung memanggil kembali kenangan-kenangan indah, petualangan tak kenal lelah, dan persahabatan yang tulus tanpa syarat.

 

Sabtu sore selalu punya aroma petualangan sendiri buatku. Di masa SMA dulu, saat seragam putih abu-abu masih melekat di badan dan pikiran kami belum dipenuhi soal-soal hidup yang rumit, yang ada adalah jalan-jalan ke alam bebas, pola pikir ini mungkin sedikit berbeda dengan anak-anak lain sesama SMA yang lebih memilih akhir pekan dengan nongkrong di Blok M atau nonton film.  Ya… aku lebih memilih kegiatan di alam bebas.

 

Hampir setiap akhir pekan, aku dan teman Sabhawana yang lain punya “ritual” yang tak tertulis tapi terpatri kuat di hati:  latihan panjat tebing ke Ciampea, Bogor. Tempat itu bukan sekadar tebing batu kapur yang curam, bukan hanya medan latihan. Ciampea adalah panggung tempat kami bertumbuh, tertawa, jatuh, bangkit, dan saling mengenal satu sama lain lebih dari sekedar teman sekolah.  Ciampea adalah tebing  cadas kapur yang menjadi saksi bisu dari setiap goresan luka, tawa, dan semangat muda yang membara dalam dada kami.

 

Perjalanan kami dimulai dari Stasiun KA Pasar Minggu. Dengan kereta ekonomi yang sering tak menyisakan ruang untuk bernapas, kereta yang panas dan pengap. Kami berdiri berdempetan sambil membawa ransel  yang lebih sering penuh logistik seadanya dan tali karmantel, carabiner dan sarung tangan untuk latihan panjat tebing. Tapi kami tak pernah mengeluh, tawa dan cerita silih berganti selama perjalanan, seakan mengusir letih dan bau peluh.

 

Sesampainya di Stasiun KA Bogor, kami menyambung perjalanan dengan angkot menuju Ciampea. Masih belum selesai - setelah turun dari angkot, kami masih harus berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer. Perjalanan yang lumayan panjang melintasi jalan setapak yang membelah perkebunan karet. Selama perjalanan sangat jarang kami bertemu atau berpapasan dengan orang lain, hanya sesekali kami bertemu dengan penduduk setempat yang sedang menyadap pohon karet. Yang bisa menghibur kami selama perjalanan adalah candaan atau sesekali tertawa melihat salah satu dari kami terpeleset atau membawa beban paling berat.

 

Tapi ada yang menarik dari kesemua cerita itu, yaitu bagaimana kami membiayai kegiatan akhir pekan tersebut.  Cerita yang ikonik dari semua ini adalah ritual "kenclengan cepek-cepek". Sebelum hari H, biasanya aku atau teman-teman keliling lapangan basket sekolah, menghampiri teman-teman yang sedang istirahat. “Bro, cepek-cepek dong buat ongkos!” kataku dengan senyum cengengesan. Ajaibnya, mereka selalu memberi. Seratus perak dari satu, dua, tiga orang… lama-lama bisa terkumpul dua ribu sampai tiga ribu rupiah atau bahkan lebih. Itu cukup untuk ongkos pulang pergi dan makan seadanya di warung. Entah bagaimana, dari hal kecil itu kami belajar arti gotong royong, solidaritas, dan tidak gengsi meminta bantuan selama dilakukan dengan niat baik dan niat jalan.

 

Latihan di Ciampea bukan sekadar olahraga, itu latihan hidup. Kami berangkat sabtu sore setelah pulang sekolah dan baru kembali minggu sore. Kami harus menginap, karena latihan panjat tebing baru bisa dilaksanakan esok harinya, dan karena kami sampai di Ciampea kadang sudah terlalu sore bahkan tak jarang sudah gelap. Tak ada penginapan layak di sana. Kalau cuaca tak bersahabat, kami tidur di warung penduduk, Warung Aki, satu-satunya warung yang ada di dekat tempat latihan. Tapi lebih sering kami tidur beralaskan ponco berbantalkan ransel di bawah langit malam, tanpa atap. Langit Ciampea saat itu… ah, begitu jernih. Bintang-bintang tampak begitu dekat, seperti bisa kami petik dengan tangan.

 

Tidur di bawah langit berbintang dengan suara jangkrik, dinginnya angin gunung, dan kelelahan yang menyenangkan - itulah versi bahagia kami. Tidak ada kasur, tidak ada bantal. Tapi kami tidur dengan damai.

 

Untuk makan, kami mengandalkan warung di kaki tebing. Menunya seringkali hanya nasi hangat, tahu dan tempe goreng, kadang telur dadar serta sayur bening. Tapi, di alam bebas, segala rasa jadi lebih nikmat, rasa makanan itu tak kalah dari masakan restoran. Dan kalau ingin mandi, kami turun ke Kali Ciampea. Airnya jernih, dingin dan segar. Bahkan aku masih ingat ada bagian yang merupakan sumber air panas alami. Kami sering berendam di sana sambil saling menyiram dengan penuh tawa.

 

Canda dan tawa adalah bagian tak terpisahkan dari kami. Bahkan ejekan pun terasa hangat, tidak pernah menyakitkan. Candaan khas Sabhawana itu keras tapi tidak tajam. Kami sering bilang, “No heart feeling, bro.” Dan memang benar. Justru dari candaan itulah kami belajar menertawakan diri sendiri dan memperkuat persahabatan kami. Tidak ada batas, tidak ada status. Mau anak orang kaya, anak pejabat, atau anak pasar, semua sama saat berhadapan dengan alam bebas, tali karmantel dan tebing setinggi belasan meter.

 

Ketika sinar matahari minggu sore menerpa Stasiun KA Pasar Minggu kami tiba kembali di Jakarta dengan badan lelah, tapi hati penuh. Penuh cerita, penuh tawa, penuh kenangan. Sekarang, ketika usia sudah tidak lagi muda dan tubuh tidak lagi sekuat dulu, kenangan itu tetap terasa hangat di hati. Kadang ketika kami bertemu Kembali - entah di reuni, pernikahan anak teman, atau sekadar janjian ketemuan - cerita itu kembali mengalir. Tentang nyangkut atau jatuh dari tebing, tentang senter yang kehabisan baterai di tengah malam, tentang siapa yang ngorok paling keras saat tidur dan banyak hal lainnya, dan tentu saja tentang sumbangan cepek-cepek yang legendaris yang sekarang menjadi kenangan indah bersama.

 

Dan ketika kami tertawa bersama, rasanya seperti waktu berhenti. Seakan kami kembali ke usia 17, membawa ransel besar, berjalan menembus gelap menuju kaki tebing, dengan semangat yang tak pernah padam.

 

Waktu boleh berlalu. Rambut mulai beruban, badan mulai pegal-pegal kalau naik bukit. Tapi kenangan itu - kenangan kami - tetap abadi.

 

DAMN, I LOVE THIS GENK.

SABHAWANA.

S 78514 H