#2 : GELADI MEDAN 1 : Mountaineering – teori di kelas
Aku masih ingat dengan jelas,
awal tahun pertama di SMA 3 Jakarta. SMA Teladan, saat itu aku adalah seorang
siswa kelas 1 yang masih bingung membedakan antara kantin dan koperasi, antara
guru fisika dan guru kimia. Namun satu hal pasti - aku langsung jatuh hati pada
satu hal sejak awal: SABHAWANA, klub pecinta alam dengan JAKET MERAH
kebanggaannya.
Bergabung dengan Sabhawana bukan
perkara mudah. Sebagai anak baru, aku harus melalui serangkaian pelatihan dasar
selama hampir setahun. Kami disebut Caang - singkatan dari Calon
Anggota. Jumlah kami puluhan, mungkin lebih dari lima puluh orang.
Kebanyakan anak kelas 1, tapi ada juga beberapa yang dari kelas 2, mungkin yang
baru merasa siap setelah melihat kerasnya pembinaan Sabhawana.
Minggu pagi, yang seharusnya hari
libur, dinikmati dengan santai dan bangun lebih siang, tetapi tidak begitu
bagiku. Ketika sebagian orang lain masih
lelap, aku sudah mandi dan bersiap ke sekolah. Ya.. harus ke Sekolah untuk
mengikuti kegiatan Sabhawana. Aku tinggal di daerah Cilandak – Jakarta Selatan
dan harus naik Kopaja P19 jurusan Ragunan Belakang - Tanah Abang. Bus
itu... ah, walaupun hari minggu, selalu penuh sesak, pengap, dan bising. Tapi
justru di situlah terasa semangatnya. Dengan ongkos pelajar atau kupon khusus
yang dibeli di Terminal Blok M, perjalanan pagi ke Setiabudi Jakarta Selatan
menjadi bagian dari kisah panjang ini.
Setibanya di sekolah, kami - Caang,
Pengurus, dan Senior yang lain - berkumpul di lapangan basket. Kami membentuk
lingkaran, tangan bersilang di pundak teman di samping. Salah satu senior akan
memulai dengan meneriakkan, “SABHAWANA!” dan kami akan membalas,
serempak, lantang, menggema, “SABHAWANA!”.
Itu bukan sekadar seruan. Itu seperti sumpah diam-diam dalam hati kami.
Sumpah bahwa kami siap belajar, siap lelah, siap kuat.
Kegiatan teori mountaineering
diadakan setiap hari Minggu. Materinya diberikan oleh kakak-kakak kelas - senior
Sabhawana. Kami belajar dasar-dasar tali-temali, mendirikan bivak, mengenal
alat-alat mountaineering seperti karabiner, webbing, sarung tangan, tali
karmantel, piton, eight desender, harness, dll. Di masa itu, harness masih
barang mewah. Sebagai gantinya, kami membuat sendiri menggunakan webbing dan
ikatan simpul yang kami pelajari berulang-ulang di kelas. Karabiner pun
bentuknya masih oval sederhana, dan harganya lumayan mahal waktu itu.
Sarung tangan? Bukan seperti yang
dijual murah di toko daring zaman sekarang. Kami memakai sarung tangan kulit
tebal, yang bekas pun jadi, dan bentuknya hampir persis sama dengan yang
dipakai pekerja bengkel atau tukang las. Tapi tidak ada keluhan. Kami bangga
memakainya, karena itu lambang keseriusan kami.
Setelah beberapa minggu belajar
teori, tibalah hari kami mempraktekannya di lapangan, di lingkungan sekitar SMA
3 Jakarta. Kegiatan ini adalah praktek lapangan pertama kami – untuk mengetahui
sejauh mana kami menguasai semua yang telah kami pelajari di ruang kelas. Untuk
praktek turun tebing, kami memanfaatkan Tower SMA.
Ya Tower itu bentuknya seperti Menara,
letaknya di belakang sekolah, dekat area kelas IPS. SMA 3 waktu itu terbagi
jadi tiga jurusan: Fisika dan Kimia yang ada di gedung utama tiga lantai, dan
IPS yang menempati bangunan dua lantai di sisi lain. Di situlah kami latihan rapelling,
turun tebing dengan tali. Tapi waktu itu, belum ada tali karmantel untuk
latihan rutin. Hanya tali nilon putih yang seratnya kadang terasa kasar di
kulit. Tali karmantel disimpan untuk digunakan di medan sebenarnya agar lebih
awet.
Setiap sore, dua kali seminggu,
kami ikut pembinaan fisik. Setelah pulang sekolah, kami ganti baju, dan
mulai berlari keliling lapangan atau mengitari ruas jalan di sekitar sekolah.
Setelah itu, push-up, sit-up, penguatan kaki dan lengan. Latihan fisik ini
berat, tapi dilakukan bersama-sama, jadi tetap terasa menyenangkan. Kadang kami
tertawa saat ada yang kehabisan napas duluan, atau saat wajah merah padam tapi
tetap berusaha.
Akhir setiap kegiatan teori
maupun praktek, kami selalu kembali ke lapangan basket, membentuk lingkaran,
mengadakan upacara penutupan. Kadang senior meneriakkan, “Tambahan!” dan
menyampaikan peringatan atau nasihat. Jika sudah tak ada yang bicara, Senior
berseru, “Pas!” Dan jika ada yang melanggar aturan kecil - datang
terlambat, tidak bawa peralatan, atau lupa istilah - hukuman ringan seperti
push-up atau sit up 20 kali sudah menanti. Tapi hebatnya, senior juga ikut
push-up bersama. Inilah yang membangun rasa hormat dan kekeluargaan. Tidak ada yang dihukum
sendirian. Semua dilalui bersama.
Geladi Medan I menjadi titik awal
kami benar-benar menyentuh dunia luar. Membawa ransel besar, memakai Sepatu bot
turun ke alam dengan segala keterbatasan tapi dengan semangat yang membara.
Kami belajar memasang bivak, mengikat simpul-simpul yang dulu hanya ada di
papan tulis, dan yang paling mendebarkan: rapelling dari tebing
sungguhan, bukan sekadar menara sekolah.
Di sinilah kami jatuh cinta. Pada
alam. Pada persahabatan. Pada kelelahan yang mendewasakan. Di sinilah Sabhawana bukan lagi sekadar nama klub, tapi menjadi rumah kedua. Tempat kami tumbuh, belajar, dan saling mengenal bukan dari nama, tapi dari
semangat dan keringat yang kami bagi bersama.
Di antara semua pengalaman selama
masa SMA-ku, tidak ada yang sebanding dengan apa yang kudapatkan dari
Sabhawana. Lebih dari sekadar klub pecinta alam, Sabhawana adalah sekolah
kehidupan. Di sanalah aku - dan kami semua - belajar hal-hal yang tak diajarkan
dalam buku pelajaran. Tentang tanggung jawab, kedisiplinan, rasa hormat,
kebersamaan, dan kekeluargaan.
Sebagai Caang, posisi kami memang
paling bawah dalam hirarki Sabhawana. Ada 2 pasal mendasar dalam
Sabhawana. Pasal 1, semua Senior pasti
benar dan Pasal 2, apabila ada senior yang salah, tinjau kembali Pasal 1. Unik dan membingungkan, tapi ya itulah jiwa
dan tradisi Sabhawana. Tapi sekali lagi itu bukan berarti kami dianggap rendah.
Sebaliknya, justru dalam proses itulah kami dilatih menjadi individu yang
tangguh dan mandiri. Semua ada prosesnya, semua ada tahapannya. Kami tidak
dimanjakan, tapi juga tidak pernah dibiarkan sendiri.
Dari kegiatan mingguan, kami
belajar bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Membawa perlengkapan pribadi, datang tepat waktu, menjaga kerapihan atribut,
hingga memperhatikan kelengkapan kelompok saat berkegiatan. Jika satu lupa atau
lalai, seluruh kelompok ikut menerima konsekuensinya. Bukan untuk menghukum,
tapi untuk mengingatkan bahwa kami semua saling terikat. Satu orang
salah, yang lain ikut memperbaiki. Bukan saling menyalahkan, tapi saling
menopang.
Dalam setiap sesi teori, kami
tidak hanya menyimak materi mountaineering. Kami juga belajar cara
mendengarkan, menghargai orang yang bicara, dan bagaimana menyampaikan pendapat
tanpa menjatuhkan. Senior adalah guru sekaligus saudara, mereka tegas,
tapi penuh kasih. Mereka menyebut kami "Caang" bukan dengan nada
merendahkan, tapi sebagai panggilan sayang yang membentuk identitas baru: bahwa
kami adalah calon bagian dari mereka.
Dan itu berlaku dua arah. Kami
menghormati mereka bukan karena mereka lebih tua, tapi karena mereka sudah
melewati jalan yang sama. Mereka mengajarkan bahwa menjadi senior bukan berarti
boleh semena-mena. Mereka memberi contoh, turun tangan saat kami lelah, ikut
push-up saat kami dihukum, membantu mengikat bivak kami yang masih berantakan
tanpa mencela.
Dalam tradisi Sabhawana, senior
dihormati, yunior dihargai. Ini bukan sekadar slogan, tapi diterapkan
setiap minggu. Nilai itu tertanam tanpa perlu dikhotbahkan. Ketika kami
melakukan di alam bebas atau geladi medan, senior selalu jadi yang paling sibuk,
paling akhir, dan paling pertama bangun. Mereka yang paling dulu mengecek
kondisi kami, yang memastikan makan kami siap, dan mampu melaksanakan kegiatan.
Dari sinilah muncul rasa yang
lebih besar: jiwa korsa, rasa memiliki, dan kekeluargaan yang tinggi.
Kami merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Kami bukan lagi hanya siswa SMA, tapi keluarga besar Sabhawana.
Kebersamaan itu melebur batas
antar angkatan. Saat ini pun, bertahun-tahun setelah lulus, ikatan itu tidak
pernah luntur. Kami masih menyapa satu sama lain dengan semangat yang sama.
Masih menertawakan cerita-cerita lama: tentang siapa yang lecet, siapa yang
gagap waktu laporan, siapa yang lupa bawa peralatan, siapa yang ngorok paling
keras atau bahkan siapa yang kesasar dan ketinggalan paling belakang. Dan
setiap kali bertemu, walau kami sudah menjadi orang tua, aparat pemerintah,
atau pegawai swasta - kami tetap menyebut satu sama lain: “Kakak Halimun, ya…
Halimun adalah nama Angkatan 7 – Angkatan kami.
Kenangan itu tidak hanya
tertinggal, tapi menjadi pondasi. Kami yang dulu belajar mengikat simpul
dan menggulung tali, kini tahu bagaimana menyelesaikan masalah hidup dengan
tenang. Kami yang dulu rela berkeringat demi latihan fisik sore hari, kini tak
mudah menyerah menghadapi tantangan karier. Kami yang dulu diminta datang
pagi-pagi untuk apel dan berpelukan dalam lingkaran, kini tahu pentingnya
merangkul, bukan menjatuhkan.
Sabhawana bukan sekadar klub.
Sabhawana adalah tempat kami ditempa menjadi manusia. Dan aku bersyukur - sungguh
bersyukur - pernah menjadi bagian dari keluarga ini. Karena Sabhawana-lah, aku
menjadi pribadi yang berani melangkah ke dunia, penuh rasa hormat, dan tidak
pernah berjalan sendiri.
Sekarang, puluhan tahun telah
berlalu. Tapi kenangan itu masih hangat. Masih bisa kurasakan aroma tanah pagi
hari, suara tali yang bergesek di karabiner, dan teriakan senior memanggil,
“ Siapa Kita?” Dan kami, akan menjawab dengan keras dan bangga SABHAWANA