#1 : CIAMPEA : Kenangan Akhir Pekan dan Cepek - Cepek
"Langit Ciampea dan Kenangan yang Tak Pernah
Tua"
Ada satu masa dalam hidupku yang
selalu terasa hangat untuk dikenang - masa-masa SMA, semasa di SMA 3 Teladan
Jakarta, masa ketika masih belia, dimana semangat muda dan rasa ingin tahu tak
pernah habis. Saat itu aku adalah bagian dari Sabhawana, klub Pecinta Alam SMA
3 Jakarta. Nama itu, Sabhawana, seperti mantra magis yang
langsung memanggil kembali kenangan-kenangan indah, petualangan tak kenal
lelah, dan persahabatan yang tulus tanpa syarat.
Sabtu sore selalu punya aroma
petualangan sendiri buatku. Di masa SMA dulu, saat seragam putih abu-abu masih
melekat di badan dan pikiran kami belum dipenuhi soal-soal hidup yang rumit,
yang ada adalah jalan-jalan ke alam bebas, pola pikir ini mungkin sedikit
berbeda dengan anak-anak lain sesama SMA yang lebih memilih akhir pekan dengan
nongkrong di Blok M atau nonton film.
Ya… aku lebih memilih kegiatan di alam bebas.
Hampir setiap akhir pekan, aku
dan teman Sabhawana yang lain punya “ritual” yang tak tertulis tapi terpatri
kuat di hati: latihan panjat tebing ke
Ciampea, Bogor. Tempat itu bukan sekadar tebing batu kapur yang curam, bukan
hanya medan latihan. Ciampea adalah panggung tempat kami bertumbuh, tertawa,
jatuh, bangkit, dan saling mengenal satu sama lain lebih dari sekedar teman
sekolah. Ciampea adalah tebing cadas kapur yang menjadi saksi bisu dari
setiap goresan luka, tawa, dan semangat muda yang membara dalam dada kami.
Perjalanan kami dimulai dari
Stasiun KA Pasar Minggu. Dengan kereta ekonomi yang sering tak menyisakan ruang
untuk bernapas, kereta yang panas dan pengap. Kami berdiri berdempetan sambil
membawa ransel yang lebih sering penuh
logistik seadanya dan tali karmantel, carabiner dan sarung tangan untuk latihan
panjat tebing. Tapi kami tak pernah mengeluh, tawa dan cerita silih berganti
selama perjalanan, seakan mengusir letih dan bau peluh.
Sesampainya di Stasiun KA Bogor,
kami menyambung perjalanan dengan angkot menuju Ciampea. Masih belum selesai - setelah
turun dari angkot, kami masih harus berjalan kaki sejauh kurang lebih lima
kilometer. Perjalanan yang lumayan panjang melintasi jalan setapak yang
membelah perkebunan karet. Selama perjalanan sangat jarang kami bertemu atau
berpapasan dengan orang lain, hanya sesekali kami bertemu dengan penduduk
setempat yang sedang menyadap pohon karet. Yang bisa menghibur kami selama
perjalanan adalah candaan atau sesekali tertawa melihat salah satu dari kami
terpeleset atau membawa beban paling berat.
Tapi ada yang menarik dari
kesemua cerita itu, yaitu bagaimana kami membiayai kegiatan akhir pekan
tersebut. Cerita yang ikonik dari semua
ini adalah ritual "kenclengan cepek-cepek". Sebelum hari H, biasanya
aku atau teman-teman keliling lapangan basket sekolah, menghampiri teman-teman
yang sedang istirahat. “Bro, cepek-cepek dong buat ongkos!” kataku dengan senyum
cengengesan. Ajaibnya, mereka selalu memberi. Seratus perak dari satu, dua,
tiga orang… lama-lama bisa terkumpul dua ribu sampai tiga ribu rupiah atau
bahkan lebih. Itu cukup untuk ongkos pulang pergi dan makan seadanya di warung.
Entah bagaimana, dari hal kecil itu kami belajar arti gotong royong,
solidaritas, dan tidak gengsi meminta bantuan selama dilakukan dengan niat baik
dan niat jalan.
Latihan di Ciampea bukan sekadar
olahraga, itu latihan hidup. Kami berangkat sabtu sore setelah pulang sekolah
dan baru kembali minggu sore. Kami harus menginap, karena latihan panjat tebing
baru bisa dilaksanakan esok harinya, dan karena kami sampai di Ciampea kadang
sudah terlalu sore bahkan tak jarang sudah gelap. Tak ada penginapan layak di
sana. Kalau cuaca tak bersahabat, kami tidur di warung penduduk, Warung Aki, satu-satunya
warung yang ada di dekat tempat latihan. Tapi lebih sering kami tidur
beralaskan ponco berbantalkan ransel di bawah langit malam, tanpa atap. Langit
Ciampea saat itu… ah, begitu jernih. Bintang-bintang tampak begitu dekat,
seperti bisa kami petik dengan tangan.
Tidur di bawah langit berbintang
dengan suara jangkrik, dinginnya angin gunung, dan kelelahan yang menyenangkan
- itulah versi bahagia kami. Tidak ada kasur, tidak ada bantal. Tapi kami tidur
dengan damai.
Untuk makan, kami mengandalkan
warung di kaki tebing. Menunya seringkali hanya nasi hangat, tahu dan tempe
goreng, kadang telur dadar serta sayur bening. Tapi, di alam bebas, segala rasa
jadi lebih nikmat, rasa makanan itu tak kalah dari masakan restoran. Dan kalau
ingin mandi, kami turun ke Kali Ciampea. Airnya jernih, dingin dan segar.
Bahkan aku masih ingat ada bagian yang merupakan sumber air panas alami. Kami
sering berendam di sana sambil saling menyiram dengan penuh tawa.
Canda dan tawa adalah bagian tak
terpisahkan dari kami. Bahkan ejekan pun terasa hangat, tidak pernah
menyakitkan. Candaan khas Sabhawana itu keras tapi tidak tajam. Kami sering
bilang, “No heart feeling, bro.” Dan memang benar. Justru dari candaan itulah
kami belajar menertawakan diri sendiri dan memperkuat persahabatan kami. Tidak
ada batas, tidak ada status. Mau anak orang kaya, anak pejabat, atau anak
pasar, semua sama saat berhadapan dengan alam bebas, tali karmantel dan tebing
setinggi belasan meter.
Ketika sinar matahari minggu sore
menerpa Stasiun KA Pasar Minggu kami tiba kembali di Jakarta dengan badan
lelah, tapi hati penuh. Penuh cerita, penuh tawa, penuh kenangan. Sekarang,
ketika usia sudah tidak lagi muda dan tubuh tidak lagi sekuat dulu, kenangan
itu tetap terasa hangat di hati. Kadang ketika kami bertemu Kembali - entah di
reuni, pernikahan anak teman, atau sekadar janjian ketemuan - cerita itu
kembali mengalir. Tentang nyangkut atau jatuh dari tebing, tentang senter yang
kehabisan baterai di tengah malam, tentang siapa yang ngorok paling keras saat
tidur dan banyak hal lainnya, dan tentu saja tentang sumbangan cepek-cepek yang
legendaris yang sekarang menjadi kenangan indah bersama.
Dan ketika kami tertawa bersama, rasanya seperti waktu
berhenti. Seakan kami kembali ke usia 17, membawa ransel besar, berjalan
menembus gelap menuju kaki tebing, dengan semangat yang tak pernah padam.
Waktu boleh berlalu. Rambut mulai beruban, badan mulai
pegal-pegal kalau naik bukit. Tapi kenangan itu - kenangan kami - tetap abadi.
DAMN, I LOVE THIS GENK.
SABHAWANA.
S 78514 H