29.7.25

SABHAWANA ; Penggalan Catatan dan Kenangan #1 CIAMPEA

 #1 : CIAMPEA : Kenangan Akhir Pekan dan Cepek - Cepek


"Langit Ciampea dan Kenangan yang Tak Pernah Tua"

Ada satu masa dalam hidupku yang selalu terasa hangat untuk dikenang - masa-masa SMA, semasa di SMA 3 Teladan Jakarta, masa ketika masih belia, dimana semangat muda dan rasa ingin tahu tak pernah habis. Saat itu aku adalah bagian dari Sabhawana, klub Pecinta Alam SMA 3 Jakarta. Nama itu, Sabhawana, seperti mantra magis yang langsung memanggil kembali kenangan-kenangan indah, petualangan tak kenal lelah, dan persahabatan yang tulus tanpa syarat.

 

Sabtu sore selalu punya aroma petualangan sendiri buatku. Di masa SMA dulu, saat seragam putih abu-abu masih melekat di badan dan pikiran kami belum dipenuhi soal-soal hidup yang rumit, yang ada adalah jalan-jalan ke alam bebas, pola pikir ini mungkin sedikit berbeda dengan anak-anak lain sesama SMA yang lebih memilih akhir pekan dengan nongkrong di Blok M atau nonton film.  Ya… aku lebih memilih kegiatan di alam bebas.

 

Hampir setiap akhir pekan, aku dan teman Sabhawana yang lain punya “ritual” yang tak tertulis tapi terpatri kuat di hati:  latihan panjat tebing ke Ciampea, Bogor. Tempat itu bukan sekadar tebing batu kapur yang curam, bukan hanya medan latihan. Ciampea adalah panggung tempat kami bertumbuh, tertawa, jatuh, bangkit, dan saling mengenal satu sama lain lebih dari sekedar teman sekolah.  Ciampea adalah tebing  cadas kapur yang menjadi saksi bisu dari setiap goresan luka, tawa, dan semangat muda yang membara dalam dada kami.

 

Perjalanan kami dimulai dari Stasiun KA Pasar Minggu. Dengan kereta ekonomi yang sering tak menyisakan ruang untuk bernapas, kereta yang panas dan pengap. Kami berdiri berdempetan sambil membawa ransel  yang lebih sering penuh logistik seadanya dan tali karmantel, carabiner dan sarung tangan untuk latihan panjat tebing. Tapi kami tak pernah mengeluh, tawa dan cerita silih berganti selama perjalanan, seakan mengusir letih dan bau peluh.

 

Sesampainya di Stasiun KA Bogor, kami menyambung perjalanan dengan angkot menuju Ciampea. Masih belum selesai - setelah turun dari angkot, kami masih harus berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer. Perjalanan yang lumayan panjang melintasi jalan setapak yang membelah perkebunan karet. Selama perjalanan sangat jarang kami bertemu atau berpapasan dengan orang lain, hanya sesekali kami bertemu dengan penduduk setempat yang sedang menyadap pohon karet. Yang bisa menghibur kami selama perjalanan adalah candaan atau sesekali tertawa melihat salah satu dari kami terpeleset atau membawa beban paling berat.

 

Tapi ada yang menarik dari kesemua cerita itu, yaitu bagaimana kami membiayai kegiatan akhir pekan tersebut.  Cerita yang ikonik dari semua ini adalah ritual "kenclengan cepek-cepek". Sebelum hari H, biasanya aku atau teman-teman keliling lapangan basket sekolah, menghampiri teman-teman yang sedang istirahat. “Bro, cepek-cepek dong buat ongkos!” kataku dengan senyum cengengesan. Ajaibnya, mereka selalu memberi. Seratus perak dari satu, dua, tiga orang… lama-lama bisa terkumpul dua ribu sampai tiga ribu rupiah atau bahkan lebih. Itu cukup untuk ongkos pulang pergi dan makan seadanya di warung. Entah bagaimana, dari hal kecil itu kami belajar arti gotong royong, solidaritas, dan tidak gengsi meminta bantuan selama dilakukan dengan niat baik dan niat jalan.

 

Latihan di Ciampea bukan sekadar olahraga, itu latihan hidup. Kami berangkat sabtu sore setelah pulang sekolah dan baru kembali minggu sore. Kami harus menginap, karena latihan panjat tebing baru bisa dilaksanakan esok harinya, dan karena kami sampai di Ciampea kadang sudah terlalu sore bahkan tak jarang sudah gelap. Tak ada penginapan layak di sana. Kalau cuaca tak bersahabat, kami tidur di warung penduduk, Warung Aki, satu-satunya warung yang ada di dekat tempat latihan. Tapi lebih sering kami tidur beralaskan ponco berbantalkan ransel di bawah langit malam, tanpa atap. Langit Ciampea saat itu… ah, begitu jernih. Bintang-bintang tampak begitu dekat, seperti bisa kami petik dengan tangan.

 

Tidur di bawah langit berbintang dengan suara jangkrik, dinginnya angin gunung, dan kelelahan yang menyenangkan - itulah versi bahagia kami. Tidak ada kasur, tidak ada bantal. Tapi kami tidur dengan damai.

 

Untuk makan, kami mengandalkan warung di kaki tebing. Menunya seringkali hanya nasi hangat, tahu dan tempe goreng, kadang telur dadar serta sayur bening. Tapi, di alam bebas, segala rasa jadi lebih nikmat, rasa makanan itu tak kalah dari masakan restoran. Dan kalau ingin mandi, kami turun ke Kali Ciampea. Airnya jernih, dingin dan segar. Bahkan aku masih ingat ada bagian yang merupakan sumber air panas alami. Kami sering berendam di sana sambil saling menyiram dengan penuh tawa.

 

Canda dan tawa adalah bagian tak terpisahkan dari kami. Bahkan ejekan pun terasa hangat, tidak pernah menyakitkan. Candaan khas Sabhawana itu keras tapi tidak tajam. Kami sering bilang, “No heart feeling, bro.” Dan memang benar. Justru dari candaan itulah kami belajar menertawakan diri sendiri dan memperkuat persahabatan kami. Tidak ada batas, tidak ada status. Mau anak orang kaya, anak pejabat, atau anak pasar, semua sama saat berhadapan dengan alam bebas, tali karmantel dan tebing setinggi belasan meter.

 

Ketika sinar matahari minggu sore menerpa Stasiun KA Pasar Minggu kami tiba kembali di Jakarta dengan badan lelah, tapi hati penuh. Penuh cerita, penuh tawa, penuh kenangan. Sekarang, ketika usia sudah tidak lagi muda dan tubuh tidak lagi sekuat dulu, kenangan itu tetap terasa hangat di hati. Kadang ketika kami bertemu Kembali - entah di reuni, pernikahan anak teman, atau sekadar janjian ketemuan - cerita itu kembali mengalir. Tentang nyangkut atau jatuh dari tebing, tentang senter yang kehabisan baterai di tengah malam, tentang siapa yang ngorok paling keras saat tidur dan banyak hal lainnya, dan tentu saja tentang sumbangan cepek-cepek yang legendaris yang sekarang menjadi kenangan indah bersama.

 

Dan ketika kami tertawa bersama, rasanya seperti waktu berhenti. Seakan kami kembali ke usia 17, membawa ransel besar, berjalan menembus gelap menuju kaki tebing, dengan semangat yang tak pernah padam.

 

Waktu boleh berlalu. Rambut mulai beruban, badan mulai pegal-pegal kalau naik bukit. Tapi kenangan itu - kenangan kami - tetap abadi.

 

DAMN, I LOVE THIS GENK.

SABHAWANA.

S 78514 H